Oleh: Dr Leo Sutrisno
Dear Setyawati, anakku.
Dalam sebulan terakhir ini, ibumu ‘memaksakan diri’ untuk masuk kerja. Walau, sesunguhnya tubuhnya sangat lemah. Mandi dan berganti pakaian pun harus bapak bantu. Katanya, tak enak makan gaji tiap bulan tanpa kerja.
Bapak mengawani tiap hari, menggunakan jasa transportasi ‘online’. Selain untuk membantu naik-turun kendaraan dan tangga rumah sakit, juga menjaga agar ibumu tidak merasa sendirian.
Di perjalanan, kami bercerita segala macam keadaan sehari-hari tidak terkecuali hal-hal yang berbau politik terkini. Di antaranya adalah pemilu yang kabarnya riuh-rendah.
Kami juga berbicara tentang sejumlah kawan yang dipanggil Tuhan di masa pandemi Covid-19 lalu. Termasuk kawan baik ibumu di FK dulu. Mereka adalah sepasang suami-istri dan kedua anaknya yang juga dokter. Keluarga ini ‘tumpes kelor’ di masa pandemi Covid-19.
Covid-19 memang tidak pilih-pilih. Siapa saja dapat dilibas. Kita bersyukur, walau ibumu harus isoman sampai empat kali selama masa pandemi, tetapi Tuhan masih mengijinkan meneruskan perjalanan hidup ini.
Suasana hati ibu tak dapat terbayangkan, saat itu. Hidup kost, suspect Covid-19. Sementara bapak dan abangmu di Yogya.
Syukur dan terima kasih kepada rekan sejawat serta staf RS yang selalu memantau perkembangan kesehatan ibumu.
Dear Setyawati, anakku.
Di malam hari, menjelang tidur, beberapa malam terakhir ini, ibumu minta diputarkan ‘gendhing-gendhing’ gamelan Jawa, khususnya gendheran. Katanya, mendengar irama gender, hatinya menjadi tenang dan damai.
Para penziarah rohani, mengatakan bunyi irama gender yang ning-neng-nung-nang itu mampu membuat hati menjadi tenang dan hening. Dalam keheningan hati itu, katanya, tumbuh suasana doa. Dan, dalam doa berkembang iman. Dalam iman ada pengharapan.
Di malam-malam seperti ini, ibumu mendaraskan Doa Penyerahan, dalam bahasa Jawa yang isinya seperti berikut ini.
‘Bunda Maria, Sang Sekar Melati, ajarilah kami berdoa rosario. Yakinkan kami bahwa doa rosario-mu, akan dapat mengheningkan dan mendiamkan diri kami.’
‘Buatlah kami percaya, bahwa dalam keheningan dan diri yang mau diam itulah rahmat Tuhan akan datang berlimpah-limpah’.
‘Namun, seperti dirimu, kami juga ingin belajar, bahwa Tuhan tidak dapat kami paksa datang, semau kami’.
‘Kami harus sabar menanti, sampai Tuhan sendiri yang datang mengunjungi kami. Baru, bila kami tekun menanti Tuhan, hidup kita akan menjadi berarti.’
“Kasabarna manah kawula mawi wijining kasabaran angrantu, dhuh Ibu Maria, satemah gesang kawula mboten tanpa tanja, senajan kawula kepeksa ngalami gesang
ingkang kadosipun muspra ing donya menika. Amin”
(Ajarilah kami sabar menanti, Bunda Maria, agar hidup kami tidak menjadi sia-sia. Meskipun, kami harus mengalami banyak kesia-siaan hidup di dunia ini. Amin)
Di akhir doanya, ibu berbisik lirih,
‘Ibu Maria Perawan terpuji, pandanglah kami yang menyandang sedih, raga sukma kami haus lapar, rindu akan jalan kebenaran, pulang pada kemuliaan sejati’.
Napasnya menyelinap di antara dua belas kali dentingan di malam yang sunyi. (Bersambung)
Green Silva, 29 April 2023