Dear Setyawati, anakku
Sudah dua hari ibu berada di kamar 802 setelah menjalani operasi besar itu. Jarum infus masih tertancap di kedua tangannya. Syukurlah wajahnya sudah semakin cerah.
Kawan-kawan sejawatnya silih berganti menjenguk. Ada yang dari patologi klinis, patologi anatomi, bedah umum, bedah digestif, dan ongkologi. Ada juga beberapa dokter umum yang jaga. Beberapa dokter umum kawan SMA abangmu yang berkerja di rumah sakit ini juga menjenguk.
Bapak tidak banyak menangkap apa yang mereka perbincangan dengan ibu. Banyak digunakan istilah teknis medis. Beberapa istilah yang dapat bapak tangkap merujuk pada aktivitas CA dan terapinya.
Yang bapak catat adalah sebagian besar mereka selalu membesarkan hati ibu . Kata ‘Semangat, Dok!’ tak pernah terlewatkan.
Jam kunjungan hari ini sudah habis. Para sahabat satu per satu meningalkan kamar. Kini, tinggalah ibu, abang, dan bapak.
Ibu tersenyum ketika abangmu mencium dahi dan memencet hidungnya. Bapak mengusap-usap kakinya, walau pun sesungguhnya tak perlu.
Walau sudah lewat pukul 18:oo, ibu mengajak kami berdoa Malaekat Tuhan. Abangmu yang mendaraskan. Ia mulai dengan: ‘Maria diberi kabar oleh…dst.
Dan, ditutup dengan: “Kami mohon:… – di bagian ini, dengan lirih, ibumu turut mendaraskannya- “Curahkanlah rahmat-Mu ke dalam hati kami, supaya karena sengsara dan salib-Nya, kami dibawa kepada kebangkitan yang mulia. Sebab Dialah Tuhan, pengantara kami. Amin”.
Di ahkir doa, ibumu mengajak menyanyikan lagu, ‘Ndhèrèk Dèwi Maria’, sebuah lagu yang legendaris tetapi tak tercatat siapa pengubahnya.
Ndhèrèk Dèwi Maria, temtu ‘geng kang manah.
Boten yèn kuwatosa, Ibu njangkung tansah.
Kanjeng Ratu ing swarga, amba sumarah samya.
Sang Dèwi, sang Dèwi, mangèstonana. (2x)
…/..
Nadyan manah getera, dipun godha sétan.
Nanging batos èngetnya, wonten pitulungan.
Wit sang Putri Maria mangsa téga anilar.
Sang Dèwi, sang Dèwi, mangèstonana. (2x)
../..
Menggah saking apesnya, ngantos kèlu sétan.
Boten yèn ta ngantosa, klantur babar pisan.
Ugeripun nyenyuwun, Ibu tansah tetulung.
Sang Dèwi, sang Dèwi, mangèstonana. (2x)
Pesan lagu ini adalah sikap total berserah diri kepada Bunda Maria membuat yang bersangkutan akan bebas dari rasa khawatir dan takut. Sebab, Bunda Maria pasti memberi pertolongan dan pendampingan.
Hati bapak bergetar, bukan karena makna lagu ini. Tetapi karena lagu ini biasa digunakan sebagai pengiring keberangkatan jenasah dari rumah duka menuju peristirahatan yang terakhir.
Apakah ini sebuah pesan halus ibumu, ‘Ndhuk’?
Alfonsus Maria de Liguori (Kematian itu indah, 2001,hal 1) mengutip ujaran St. Agustinus, “Segala sesuatu dalam hidup kita, baik atau buruk, tidak pasti, kecuali kematian”.
Kita semua, memang, tahu pasti akan ‘mati’. Tetapi! Tetapi kapan? Itu yang membuat hati bapak bergetar. Secepat itukan perjalanan ibu?
Barang kali, ibumu menambahkan, di dalam hati:
“Tuhanku yang baik, bila suatu saat nanti, dalam perjalanan ini,
ragaku tak mampu lagi menahan berat salib ini….
ijinkanlah aku meletakkan salib ini di pundak-Mu, walau sebentar saja.
(Dan,ls) Berjanjilah Engkau akan terus berjalan bersamaku”
Kutipan ini diambil dari buku, ‘Ketika Salib terasa berat’ (Dr. Josef Susanto, PR, 2017, hal 3) dan bapak tambahkan menjelang dikirim. Karena, ada tanda check list ibumu. Buku tersebut tersimpan di laci meja kerjanya.
Leo Sutrisno
Pontianak, kamar 802, 21 Feb pkl 00:00