Kalo diceritain kayak kisah khayalan. Kayak too good to be true, tapi memang kejadian nyata, ya mau gimana lagi.
Beberapa hari yang lalu di room WA kordinasi dengan SIDAQ, kami lagi bahas Marbot Camp yang akan diselenggarakan oleh Masjid Sejuta Pemuda. InsyaAllah saya diminta ngisi di Marbot Camp. Maka ramailah grup WA ini, karena kordinasi masalah poster event.
Kami lagi ngecandain Ustadz Anggy A.F. Sulaiman yang masih ngedesain poster sampai tengah malam, ternyata langsung dibalas seperti yang saya letakkan di postingan.
Ustadz Anggy langsung curhat, lagi ngurusin banyak orang-orang yang tiba-tiba datang ke Masjid Sejuta Pemuda, dengan beragam masalahnya.
Banyak banget “orang kebingungan” yang datang ke Masjid Sejuta Pemuda Sukabumi. Silakan dibaca aja dibawah ya. Gak sanggup saya ngetik ulangnya, gak tega.
Ya begitulah keadaan kaum muslimin hari ini. Tidak semua kaum muslimin, bisa hidup dengan penuh naungan, ada support system keluarga, bisa ada se rupiah dua rupiah untuk makan. Ada hunian untuk berteduh.
Segmen kaum muslimin yang bingung itu banyak. Banyak sekali. Tapi bingung mau mengadu kepada siapa. Saudara jauh, adapun punya saudara, sudah sering terkecewakan, mau ngadu ke orang kaya, udah ngerti respond nya kayak apa. Berat jadi orang bingung.
Maka seperti yang diingatkan Kiyai Een Adi Pratama Larisindo di grup kordinasi ini, Masjid harus jadi tempat kembali. Kalo gak ke masjid, ummat ini mau kemana lagi.
Entitas keluarga personal itu ada batasnya. Sedermawan apapun sebuah keluarga, kalo rumahnya didatangin dhuafa tiap pagi, ya ada batas gak nyamannya juga. Dan sekuat apa lapang dadanya orang kaya mau ngurusin faqir miskin terus menerus? Ngopeni saudara sendiri aja bosen kok.
Di sinilah urgensi hadirnya Masjid yang menjadi asset bersama, masjid menjadi titik back up bersama. Kedermawanan orang kaya bisa lebih optimal jika diwakilkan oleh Masjid. Memang konsepnya dari dulu begitu, masjid jadi basis kepedulian.
Ngasuh ummat dengan ragam permasalahan seperti ini, bukan hanya butuh uang. Sebanyak apapun uang, kalo DNA kepeduliannya gak ada, waktunya gak ada, kasih sayangnya gak ada, ya bubar juga itu pelayanan.
Kalo ngelihat chatnya ustadz Anggy, memang kayak khayalan, apa iya Ustadz Anggy dan kawan-kawan takmir Masjid Sejuta Pemuda (MSP) sebegitunya ngurusin ummat.
Ya memang harus ketemu sih, i’tikaf di MSP sepekan aja, tongkrongin aja MSP tukuh hari penuh. Jadi bisa merasakan sendiri, bagaimana pengasuhan ummat itu terjadi.
Itulah yang saya sampaikan di paragraf sebelumnya, gak cuma gerak pake duit, tapi MSP ini membangun kasih sayang, menyediakan waktu, memberikan ruang konseling, kaum muslimin ditatap satu-satu. Disinilah para takmir masjid harus mengupgrade diri.
Saya ngebayangin nya aja gak sanggup, hands up deh kalo saya pribadi, saya cuma bisa menuliskan, gak sesholih dan gak sesabar kawan-kawan MSP.
Kembali ke Narasi : “Masjid Tempat Kembali”. Inilah ruang kosong dalam tubuh ummat. Sebagian besar masjid hanya berfungsi sebagai venue ibadah, gak ubahnya auditorium untuk dipake sholat. Sudah. Berhenti disitu saja kebanyakan.
Institusi Masjid yang seharusnya berfungsi untuk melayani ummat, masih jauh dari harapan. Walau satu dua masjid mulai insyaf dan bergerak memperbaiki fungsinya.
Kita harus berani melakukan otokritik pada internal kaum muslimin. Pada bagaimana masjid dikelola, pada bagaimana isu-isu keummatan dihadirkan. Kita harus berani membongkar bagaimana Nabi Muhammad menjalankan fungsi Masjid Nabawi di fase Madaniyah.
Hari ini isu ikhtilaf fiqh lebih hangat dibahas sampai berbalas-balas poster, geger lini masa. Tetapi isu kaum muslimin yang mau bunuh diri, isu anak yatim yang gak ada tempat bernaung, isu kaum muslimin yang sukses lulus kuliah tapi gagal dapat pekerjaan, ini tenggelam tak terbahas, seakan sudah menjadi NORM, seakan sudah menjadi “wajar”.
Masjid Tempat Kembali. MTK.
Ada sejuta titik masjid di negeri ini. Dan semuanya adalah akad wakaf kaum muslimin. Artinya asset yang sudah dimiliki Allah, yang fungsinya harusnya dikembalikan pada ummat, difungsikan lagi untuk melayani ummat.
Ada sejuta titik masjid di negeri ini, yang seharusnya menjadi sejuta titik baitul maal, sejuta titik penghimpunan zakat, sejuta titik penghimpunan infaq, sejuta titik penghimpunan beras, sejuta titik kordinasi asset wakaf ummat.
Ada sejuta titik masjid di negeri ini, yang seharusnya bisa jadi sejuta titik kutab, sejuta titik madrasah, sejuta titik pelayanan kesehatan, sejuta titik penyediaan hunian, sejuta titik konseling permasalahan ummat.
Ada sejuta titik masjid di negeri ini, yang seharusnya bisa menjadi sejuta titik pasar kaum muslimin, sejuta titik HUB kekuatan ummat Islam, sejuta titik platform syirkah, sejuta titik pergerakan wakaf tunai untuk modal kerja kaum muslimin.
Masjid tempat kembalinya ummat, masjidlah tempat ummat ini mengadu, masjidlah tempat ummat ini mengarahkan batin untuk kembali kepada Allah.
Seperti akar katanya, Mim Sa Ja Da, Masjid, ia adalah tempat menyujudkan diri kepada Allah. Tempat meruntuhkan ego, tempat membesarkan nama Allah. Maka besarkan nama Allah ditengah hati ummat yang sedang berputus asa. Maka hebatkan Rumah Allah, ditengah rumah lainnya tak memberi tempat.
Masjid tempat kembali, inilah yang seharusnya ada di jiwa para takmir masjid. Menjadi Takmir Masjid bukan hanya menjadi pengurus masjidnya, tetapi kembalilah pada makna “memakmurkan”. Takmir Masjid bukan hanya sebatas building management, bukan hanya sebatas organizer event ibadah. Takmir adalah sel kecil pengasuh ummat di cluster terdekatnya.
Masjid tempat kembali, bukalah “pintu” masjid untuk ummat yang kebingungan.
Pintu masjidnya.
Pintu hatinya.
Pintu cintanya.
Pintu kasih sayangnya.
Pintu kas infaqnya juga… dibuka.