Oleh: Khairul Fuad
Kota Pontianak ibu kota Provinsi Kalimantan Barat memiliki julukan kesohor, kota seribu surau dan seribu parit. Julukan seribu surau masih bisa terlihat dan rasakan sampai sekarang, bahkan bisa jadi berubah seribu masjid karena status surau dulu sudah berubah masjid. Akan tetapi, julukan seribu parit tampaknya telah tereduksi seiring perkembangan masa, terutama proses pembangunan. Jika masih terlihat, justru beberapa sisa-sisa kejayaan parit pada masa lalu.
Keberadaan parit tidak lepas pendudukan kolonialisme Belanda. Tampaknya, pada masa kolonial pembangunan parit-parit (kanal) merujuk rupabumi Kota Pontianak berawa sekaligus dekat dengan Sungai Kapuas. Buktinya, masyarakat Pontianak akrab menyebutkan jalur air apapun dengan nama parit, apalagi jika jalurnya mirip sungai. Yang pasti parit istilah yang sangat akrab di tengah masyarakat, seperti Parit Wan Saleh (Parwasal).
Terlepas kaitan dengan kolonialisme Belanda, keberadaan parit-parit, khususnya di Kota Pontianak didukung dengan keberadaan manuskrip. Diketemukan bahwa parit dipandang sebagai infrastruktur tata-ruang Kota Pontianak, seperti keberadaan jalan yang dibangun Bina Marga waktu itu atau PUPR sekarang ini. Keberadaan parit sangat vital sebagai akses dan kebutuhan masyarakat Pontianak dan sekitarnya waktu itu sekaligus batas wilayah.
Sementara itu, manuskrip dapat dikatakan sebagai catatan lama yang ditulis tangan (kodeks) dalam bentuk naskah pada lembaran atau kertas khusus. Di dalam manuskrip tersebut dapat diketahui informasi atau pengetahuan masa lalu yang dapat dimanfaatkan pada masa sekarang ini. Manuskrip dapat juga dijadikan pijakan bahwa etika dan norma masyarakat sekarang ini ternyata bersumber dari pengetahuan yang telah digunakan masyarakat sebelumnya.
Dengan kata lain, Kota Pontianak dengan julukan kota seribu parit tidak hanya terlihat pada data empirik lapangan, tetapi juga didukung data manuskrip. Meskipun, terlihat secara empirik hanya beberapa parit yang masih mengular, cenderung sisa-sisa dari kejayaannya dulu. Lain halnya, data manuskrip memberi tahu bahwa parit dapat dikatakan sebagai bagian terkait-erat dengan sebuah wilayah karena dijadikan batas-batas kepemilikan dan luas tanah.
Data manuskrip yang dimaksud merupakan manuskrip tunggal secara isi meskipun datanya terbilang lebih dari satu. Secara keseluruhan, data manuskrp tersebut berisi tentang surat perjanjian terkait jual-beli dan hibah tanah di Kota Pontianak, sekaligus mengindikasikan terkait kepemilikan tanah. Tulisan yang digunakan adalah tulisan Arab Melayu, tulisan Jawi atau sering masyarakat sebut Arab gundul. Tulisan Arab berbahasa Melayu dan tidak berharakat.
Di sisi lain, Arab Melayu merupakan khazanah Melayu, termasuk bagian Tamaddun Melayu, yang sekiranya perlu revitalisasi. Mengembalikan daya hidupnya tidak sekadar mempertahankan warisan, tetapi juga menggali tradisi warisannya yang dijangkarkan melalui Arab Melayu. Khazanah tersebut tidak luput juga dalam konteks Melayu Kalimantan Barat, termasuk Melayu serantau, baik pada persamaan tradisi maupun perbedaan wilayah.
Terkait tulisan Arab Melayu tentu tidak lepas dengan bahan, berupa kertas sebagai media penulisan pada manuskrip tersebut. Kertas yang digunakan adalah kertas papirus (cyperus papyrus), yaitu alang-alang air yang tumbuh di Eropa Selatan dan Afrika Utara, digunakan sebagai bahan kertas pada zaman dahulu (KBBI Luring). Saat kebetulan bertemu kerabat Keraton Kadariah Pontianak dan ditanyakan, dijawab bahwa kertas yang dimaksud adalah papyrus kertas Eropa.
Dari data manuskrip tersebut didapati istilah Parit Kongsi yang tampaknya berada di beberapa wilayah di Kota Pontianak. Asumsinya, Parit Kongsi merupakan parit yang mempertemukan beberapa tempat yang saling berdekatan, terkait dengan kata kongsi yang berarti persekutuan. Akan tetapi, istilah ini perlu data pembanding, baik berupa manuskrip lain maupun narasumber terkait sejarah parit di Kota Pontianak.
Keberadaan Parit Kongsi terdapat di berbagai wilayah Kota Pontianak dan sekitarnya, didukung sebutan nama setelahnya. Misalnya, Parit Kongsi Leban, Parit Kongsi Haji Daris, dan. Parit Kongsi Lintang. Dengan demikian, Parit Kongsi memiliki kriteria-kriteria konvensi masyarakat itu sendiri. Kemungkinan juga sesuai asumsi di atas bahwa Parit Kongsi memiliki fungsi-fungsi tertentu yang memberikan manfaat pada dua atau lebih wilayah yang berbeda.
Namun demikian, terdapat parit-parit dengan toponimi nama orang, wilayah atau tanaman. Misalnya, Parit Timur Wak Siyakup, Parit Wak Sibaluh, Parit Orang Cina, Parit Tanjung Bunga, Parit Matayak, Parit Keladi, Parit Keramat, dan sebagainya. Toponimi parit setidaknya masih dikenal sampai sekarang ini, Parit Haji Husain (Paris) dan Parit Tokaya. Toponimi parit-parit tersebut tampaknya menjadi cerminan realitas internal masyarakat sekitar parit.
Kota Pontianak kota seribu parit hakikatnya masih mengular panjang di manuskrip-manuskrip meskipun sebenarnya hanya mengular di beberapa wilayah saja. Data tersebut menunjukkan bahwa keberadaan parit memang vital sekaligus vitalitas bagi daya dukung kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Upaya terkait parit kemungkinan sebatas konservasi yang masih terdapat keberadaannya sampai sekarang ini, apalagi terdesak dengan pembangunan infrastruktur jalan darat. Jika mengandai vitalitas parit sampai sekarang, Kota Pontianak akan bertambah julukan, Venesia dari Timur dan sampan pun akan terkenal sebagaimana gondola.
Sudut Rumah 260222.(*Penulis civitas BRIN)