Oleh : Eka Hendry Ar*
Alden adalah seorang siswa kelas 3 SD, anaknya lumayan gempal dan lucu. Tahun lalu ia menyelesaikan 1 bulan penuh puasa, mudah-mudahan tahun ini juga demikian. Semenjak lebih dari 100 hari sebelum ramadhan ia selalu bertanya kepada search engine Google, “berapa hari lagi puasa google?. Sampai menjelang 2 hari menjelang puasa, Alden ketika ditanya berapa hari lagi puasa?, “2 hari lagi”, jawabnya tegas.
Persoalan menghitung hari lagi puasa ala. Alden, sebenarnya terkait dengan sebuah motif. Pada tahun-tahun sebelumnya, hasil “tanggokan” atau ang pao, lumayan banyak. Dapat dari kedua orangtuanya, dari paman, tante dan kakeknya. Rupanya tahun ini, Alden ingin membeli HP baru. Dalihnya satu hp buat belajar, satu buat game. Karena harapan inilah, membuat Alden termasuk diantara anak-anak yang bergembira akan datangnya puasa.
Alden adalah satu contoh ekspresi beragama dari jutaan anak-anak Muslim lainnya. Mereka berpuasa karena tujuan yang praktis. Ini tentu saja tidak salah, bahkan sebuah kabar baik. Bahwa masih banyak anak-anak yang berpuasa dari sejak dini. Kalau puasa ala bocah ini dilakukan oleh orang dewasa barangkali baru kurang tepat, bukan salah sepenuhnya.
Alden tahan berjuang tidak makan dan minum. Bahkan tidak lagi turun bermain di lapangan. Perjuangan itu hanya untuk mendapatkan handphone baru. Sebentuk hajat yang sederhana, dari pengorbanan yang tidak mudah. Padahal barangkali di mata Tuhan pahalanya bisa seluas langit dan bumi. Tapi para bocah hanya berharap butiran pasir dari kemaha luasan rahmat Tuhan.
Jika peristiwa di atas dianalogikan kepada orang dewasa yang tentunya telah berlaku hukum padanya, maka akan menjadi ibrah yang menarik. Berpuasa dengan harapan balasan praktis, mendapatkan materi, hitungan matematis pahala, maka secara hakikat tak lebih dari puasa bocah. Tentu saja harapan ini tiada salah, dan tiada pula bertentangan dengan syari’at. Namun, ini bisa mengecilkan hakekat puasa dan harapan kepada Tuhan yang Maha Luas karunia-Nya.
Sejatinya, bukankah kita sedang mengharap kepada Tuhan yang merajai alam semesta. Allah yang maha kaya, Rabb yang maha pengasih dan penyayang.Mengapa puasa sebagai perjuangan yang berat, bahkan bisa disebut sebagai jihad akbar melawan hawa nafsu, lantas hanya berharap mendapatkan ganjaran yang bendawi, ganjaran praktis maupun untung langsung seperti pedagang yang menjual barang demi keuntungan.
Mengapa kita tidak meminta hadiah yang lebih berarti, bahkan dari dunia dan seisinya. Apakah hadiah itu? Hadiah itu adalah ridha dan kasih sayang-Nya. Mengapa demikian, karena seorang hamba yang mendapatkan ridha dan kasih-Nya tentunya tanpa hijab mendapatkan semua karunia-Nya. Sekira kita memintan ilmu, bukankah Ia adalah raja segala ilmu (al-‘Alim). Sekiranya kita meminta harta, bukankah Ia Tuhan yang maha Kaya (al-Ghani). Sekiranya kita meminta perlindungan, bukankah Allah adalah maha hidup (al-Hayu) yang senantiasa terjaga. Tiada sesuatu mudharat dapat menimpa kita kecuali atas perkenan-Nya.
Jadi, kalau sudah sedemikian rupa, akankah puasa kita hanya berharap sebuah imbalan yang kecil, seperti puasa para bocah.
*Dosen IAIN Pontianak dan
Ketua Bidang Keilmuan, Riset dan PT KAHMI Wilayah Kalbar