in

Puasa Mengasah Autentitas Kesholehan

Cukilan Hikmah dari Jalaluddin Rumi dan Abu Nawas

Oleh : Eka Hendry Ar.*

Tulisan ini akan bercerita tentang pengalaman 2 tokoh sufi. Pertama dari Maulana Jalaluddin Rumi dan Abu Nawas.  Kedua cerita ini,  tidak ada sangkut paut langsung dengan puasa ramadhan. Namun dari segi ibrah-nya relevan dengan etos puasa Ramadhan.  

Cerita pertama tentang Abu Nawas. Suatu pagi, sambil berjalan ia tersenyum-senyum melihat ke dalam topi.  Sesampai di pasar,  ia masih tersenyum-senyum melihat ke dalam topinya.  Tentu saja ini menjadi perhatian para pedagang di pasar.  Lama-kelamaan ada yang penasaran.   Seorang pedagang sayur datang, dan bertanya: “Apa yang membuatmu tersenyum-senyum melihat isi topi mu? Rupanya pedagang lain juga penasaran juga,  akhirnya ramai yang mendekat. “Aku sedang melihat para bidadari di surga,” jawab Abu Nawas. Cuma, hanya orang-orang yang beriman dan orang sholeh saja yang dapat melihatnya, terang Abu Nawas.  

Si Tukang sayur semakin penasaran, ia minta izin untuk melihat. Sesaat kemudian, dilihatnya tidak ada apa-apa, namun karena tidak mau dianggap tidak sholeh dan tidak beriman, maka sambil berteriak ia berujar, “iya.. iya, aku melihat para bidadari di surga.” Tentu saja, ini semakin membuat penasaran pedagang lainnya.

Satu persatu mereka melihat ke dalam topi tersebut, teryata tidak ada apa-apa. Tapi karena tidak mau dianggap tidak beriman atau tidak sholeh,  maka mereka mengatakan melihat para bidadari yang cantik di surga.  Sampai kemudian ada seorang pedagang lain yang melihat,  dan ketika ia tidak melihat apa-apa.  Lantas dia berujar, “kalian semua berbohong, karena tidak ada apa-apa ternyata di dalam.  Sudah-sudah jangan mengada-ngada, jangan ikut berbohong hanya takut dibilang tidak beriman.” Akhirnya semuanya bubar dengan raut muka merah padam karena malu.  

Cerita kedua datang dari Maulana Rumi.  Suatu waktu, saat Rumi berbincang-bincang dengan gurunya Syam Tabriz.  Tiba-tiba Syam menyuruh Rumi membelikan arak untuknya.  Tentunya,  Rumi terkejut,  antara percaya dan tidak.  Masak sang Guru menyuruhnya membeli arak.  Rumi berkecamuk,  apa benar Syam memintanya membeli arak.  Bukankah arak adalah minuman haram. Sementara aku adalah ulama yang dihormati oleh banyak murid, Rumi membatin.  Rumi mencoba mengkonfirmasi lagi, barangkali sang guru sedang bercanda.  Tapi ternyata, sang guru bersungguh-sungguh minta dibelikan. Bahkan dengan sedikit mengancam bahwa jika Rumi tidak mau, maka ia juga tidak mau lagi menjadi gurunya. 

Baca Juga:  Rektor Minta Mahasiswa Pahami Lingkungan KKL

Akhirnya Rumi pergi ke kedai minuman keras,  dan diam-diam ia membeli sebotol arak. Arak itu ia sembunyikan di balik jubahnya. Dilalah, meski sudah berusaha sembunyi-sembunyi,  ternyata ada yang masih melihat Rumi membeli arak.  Orang-orang yang melihat Rumi membeli arak tentu juga heran, kok seorang ulama yang disegani dan banyak sekali pengikut, ternyata seorang pemabuk. 

Akhirnya Rumi dibuntuti beberapa orang. Sesampainya di rumahnya, sontak orang-orang yang membuntuti Rumi menghentikan langkah Rumi dan mencoba menginterogasi apa yang ia bawa.  Tentu saja Rumi tidak bisa berkelit,  bahwa memang benar ia membawa sebotol arak dalam jubahnya.  

Setelah mengetahui bahwa betul Rumi membeli arak, orang-orang tersebut lantas memaki-maki dan ada yang memukul Rumi. Mereka kecewa berat, ternyata seorang yang selama ini dipuji dihormati, ternyata hanyalah seorang pemabuk.   Melihat Rumi dianiaya,  lantas Syam datang dan menghentikan ulah orang-orang tersebut.  Syam berkata bahwa yang dibawa Rumi adalah air putih. Karena karomah Syam, arak itu berubah menjadi air putih biasa.  

Sesaat kemudian, Rumi masih dalam suasana kesal, Syam lantas mengatakan. Lihat Rumi,  hanya dengan satu teriakan habis semua kehormatan yang selama ini engkau bangun.  Kau dikatakan pemabuk, padahal aku tahu engkau tidak seperti yang mereka tuduhkan.  Tapi coba engkau renungi. Nama besarmu, kehormatan dan loyalitas dari para murid atau pengikutmu, hanya dalam sesaat sirna. Hanya dengan tuduhan bahwa engkau pemabuk, meskipun mereka tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi, lantas runtuhlah semua kebanggaanmu.   

Baca Juga:  Mahasiswa KKL, Buatlah Proker yang Bernilai Bagi Masyarakat

Lebih lanjut Syam Tabriz menerangkan, bahwa inilah kalau kita mengandalkan pandangan dan penilaian dari manusia, bukan bersandar kepada pandangan Allah SWT.  Demikian kurang lebih i’tibar yang dimaksudkan Syam Tabiriz.  

Dari kedua hikayat di atas mengajarkan betapa banyak manusia yang lebih mementingkan penilaian orang lain, ketimbang penilaian Allah SWT.  Meskipun terkadang harus menyembunyikan kebenaran atau membohongi diri sendiri. Sebagai seorang ulama sufi,  tentu tindakan Abu Nawas, sengaja untuk menguji prilaku manusia.  

Kemudian pada hikayat Maulana Rumi dan Syam Tabriz mengajarkan ibrah bahwa manusia hendaknya menggantungkan sepenuhnya kepada penilaian Allah. Manusia harus berbuat seikhlas mungkin, dan tidak menjalankan agama berdasarkan penilaian manusia semata.  Karena penilaian manusia cepat berubah, sumir dan sarat vested interest.  

Benang merah dari kedua i’tibar di atas, bahwa ketergantungan kepada penilaian manusia seringkali membuat manusia bertindak irasional dan cenderung menutup pintu kebenaran.  Manusia takut dikatakan tidak sholeh, tidak beriman, tidak intelek, tidak kharismatik atau tidak gaul dlsb.  Sehingga ia berusaha memantas-mantaskan diri agar sesuai dengan standar citra publik. Padahal penilaian manusia juga kadang dangkal dan peripheral,  sebatas penghakiman atas apa yang mereka lihat dan persepsikan. Kadang tak lepas dari kepentingan.  Sehingga antara senang dan benci sangatlah tipis.  Jadi,  jika manusia menyandarkan pada penilaian di mata makhluk,  maka bersiap-siap kita kan kecewa.  Semestinya dalam beragama, ketaatan kepada Allah harus authentik,  atau ikhlas semata karena Allah.  

Momentum puasa ramadhan merupakan kawah candradimuka melatih sikap beragama autentik.  Yaitu beragama secara tulus dan ikhlas semata mengharap ridho Allah SWT.  Ketulusan puasa seseorang hanya diketahui oleh yang bersangkutan dengan Tuhannya.  Kita bisa berpura-pura di hadapan manusia, namun tidak demikian di hadapan Allah.  Seseorang bisa berdrama seolah berpuasa di depan orang lain,  sementara saat sendiri ternyata tidak puasa. 

Baca Juga:  Mahasiswa KKL, Buatlah Proker yang Bernilai Bagi Masyarakat

Oleh karenanya, puasa yang dilakukan dengan keimanan dan keikhlasan akan melatih watak dan prilaku autentik manusia.Tidak perlu kepura-puraan,  tidak perlu lip service dan tidak berbuat baik karena tergantung pada persepsi orang lain.. 

Nilai autentik ini relevan dengan prilaku beragama kontemporer. Di mana prilaku beragama tidak kedap dari pengaruh pencitraan atau imagologi.  Beragama tidak lahir dari kesadaran instrinsik,  melainkan karena stimulus eksternal,  seperti trend,  budaya populer dan citra (imej) sehingga lebih mementingkan  simbol-simbol dan  performa fisik ketimbang esensi dan substansinya.

Beragama direduksi sebatas fungsi pragmatis, yang memberikan keuntungan praktis dan material.  Seorang tokoh agama agar diterima atau mendapat pengikut yang banyak, membuat citra beragamanya yang sesuai dengan ekspektasi audiens. Tidak jarang, citra yang dibangun menyalahi prinsip-prinsip beragama. Yang penting pengikut tetap banyak,  kalau perlu tidak harus berprinsip.  

Termasuk pribadi kita sendiri, tidak jarang kita mementingkan penilaian orang lain,  ketimbang berprilaku autentik sesuai dengan apa yang kita yakini.  Keshalehan kita hanya sekedar citra agar sesuai dengan selera banyak orang.  Lambat laun standar publik tentang keshalehan beragama yang mendikte prilaku kita, bukan lagi dipandu oleh syari’at.  Padahal boleh jadi apa yang menjadi cara pandang publik belum tentu sebuah kebenaran,  seperti cerita bidadari dalam topi Abu Nawas di atas. 

Akhirnya,  melalui momentum puasa ramadhan semoga kita dapat mengembangkan prilaku beragama yang autentik, yang lahir dari internalisasi terhadap nilai keimanan dan keikhlasan kepada Allah SWT. Beragama secara autentik akan membuat kita mampu menilai antara kebenaran dan kebatilan,  antara esensi dan simbol-simbol, keaslian dan kepalsuan serta tidak tergantung pada justifikasi publik untuk memilih jalan kebaikan dan kebenaran.

(*Direktur Rumah Moderasi IAIN Pontianak / Ketua Bidang Keilmuan, Riset dan PT KAHMI Wilayah Kalbar)

Written by teraju.id

25 Tahun MABM, Sinergi dan Kolaborasi Kunci Membangun Kalbar

Ngabuburit Sambil ‘Nga Book Read’