Masih ingat beberapa tahun yg lalu, para selebriti negeri ini bikin prank-prank-an antar sesama seleb? Yaitu buka tas dan isi dompet mereka. Lalu ketahuanlah mereka punya duit berapa? Punya deposito berapa? Punya berapa rumah, mobil, jam mewah, dll. Dari yang asli kaya, sampai yang dibuat-buat agar nampak kaya. Intinya adalah pamer kekayaan, yang diukur dari kepemilikan.
Kita sebagai orang awam, hanya bisa bengong terlongong-longong kayak orang bego.
Prank berikutnya, seorang anak seleb, bakar sepatu ayahnya yg berharga 200 juta rupiah (!!!). Ayahnya udah panik, dan tahunya si anak lagi bikin konten prank di Youtube. Karena yang dibakar ternyata sepatu lain yang bentuknya mirip, dan “hanya” berharga 3 jutaan saja.
Beberapa minggu yang lalu, seorang predator remaja keluar dari penjara. Disambut megah bak pemenang medali olimpiade. Naik mobil Porsche merah, dikalungi bunga seraya melambai-lambaikan tangannya ke para fans penyambutnya. Stasiun-stasiun TV menggeruduknya, dan segera saja dia ditawari job dan wawancara.
Saat masyarakat memprotes, segera para penyanyi dangdut pasang badan membela sang predator. Dengan alasan HAM, dengan dukungan nama dan popularitas mereka yang sudah kadung menjulang di kalangan penyuka musik ini. Lagi… pameran popularitas, kekayaan, pengaruh, seraya melupakan trauma psikologis korban-korban sang predator. Yang seumur hidupnya akan menderita batinnya.
Semua itu didukung oleh media elektronik, yang haus akan rating. Karena hanya dengan rating saja, maka dompet dan pundi-pundi kekayaan sang pemilik akan semakin menumpuk. Jadi tak heran kalau nyaris di semua statsiun TV, artis yang nongol ya di seputar itu itu saja. Miskin dengan terobosan yang menyegarkan. Kecuali tayangan, obrolan, celotehan, candaan yang klise dan basi. Apalagi film2 sinetron bikinannya yang nyaris tanpa ruh dan nilai berarti. Jauh banget kualitasnya dibanding dengan sekuel si doel anak sekolahan umpamanya.
Yang jelas, kemuakan itu semakin menumpuk…
Akhirnya, nonton TV dan media elektronik lainnya, dibatasi hanya untuk mencari warta berita terup-date. Selebihnya buat nonton Persib, nonton Motogp,… Cuma itu.
Sampai minggu kemaren, terobosan itu muncul.
Mat Peci, seorang youtuber menangkap kejadian yang “aneh”. Tepat di pelataran depan masjid kubah biru Ciater ada seorang remaja belasan tahun, yang menyambut dan mempersilahkan para jamaah yang mau shalat dengan wajah berseri dan sikap santun.
Seraya menunjukan tempat wudhu bagi pria, toilet bagi wanita, dan merapikan sandal dan sepatu yang mereka pakai di pelataran depan masjid. Semua dilakukan dengan wajar dan apa adanya saja.
Mat Peci tergerak hatinya, ingin membantu sang remaja dengan membuka donasi terbuka untuk para donatur, sehingga bisa membantunya secara ekonomi. Sampai mendapatkan kenyataan bahwa sang remaja itu, yang bernama Fahad Fathulah Soelaeman. Nama panggilannya Raja, berusia 17 th, kelas 3 SMK, ternyata adalah anak dari pemilik dari Mesjid megah kubah biru, serta hotel dan resort Lembah Sari Mas … Remaja ini bukan anak sultan kaleng-kaleng, tapi sultan beneran he he.
Tayangannya di tiktok, segera saja dibanjiri para likers. Dalam beberapa hari saja, tercatat lebih dari 35 juta orang. Sedang di youtube lebih dari sejuta viewer. Nama Raja sang sultan bukan kaleng2 ini, segera saja viral di mana-mana di seluruh Indonesia.
Alasan kenapa kok dia mau-maunya menjadi penyambut tamu di masjid, sambil membereskan sepatu dan sandal pengunjung. Padahal tidak dibayar, tidak disuruh, katanya … Tamu hotel saja diterima dengan ramah dan baik oleh resepsionis, apalagi yang ke masjid. Mereka semua adalah tamu-tamunya Allah, Yang Maha Mulia …
Penulis ketika pertama melihat tayangan itu di Youtube, tak terasa mata ini basah, menangis terharu. Karena Raja sudah penulis kenal dengan sangat baik. Bahkan saat dia masih balita, karena penulis sohib kental ayahnya, yaitu pak Monty Sulaiman sejak tahun 2006. Yang memang pemilik dari masjid kubah biru dan hotel Lembah Sari Mas.
Penulis tahu persis, Raja yang masih bocah. Badan nya agak kurusan, berkulit agak gelap dengan rambut keriting. Dia anak ekstrovert. Bagaimana setiap kali penulis dan teman-teman berkunjung dan ngobrol dengan pak Monty, selalu datang dan menyalami tamu-tamu ayahnya. Kadang dia duduk di kursi sebelah, sambil ikut mendengarkan diskusi kami.
Raja masih di SD, ketika dia berkata ingin handphone pada sang ayah, seharga beberapa ratus ribu kalau enggak salah. Sebelum di jawab, Raja sudah mendahului, bahwa uangnya enggak minta dari ortunya, karena dia sudah punya tabungan sendiri. Jelas ortunya bengong, karena selama ini Raja enggak pernah minta uang jajan, jadi anak ini punya uang darimana?
Usut punya usut, ternyata Raja sejak usia 10 tahun, sudah rajin membereskan sendal-sendal di masjid. Sambil menyiapkan payung-payung bagi jamaah yang kehujanan. Dari situlah Raja kadang mendapatkan tip dari jamaah yang tergerak hatinya, atas service- pelayanan dari bocah kurus ini. Mereka tak tahu, bocah kurus ini sebenarnya anak sultan… he he
Itulah hebatnya Raja, anak sultan yang jauh dari kesan sombong dan mengada-ada. Apa yang dilakukannya semata karena Allah saja. Bukan demi konten layaknya anak selebriti di awal tulisan ini. Yang tujuannya hanya untuk mengejar popularitas belaka. Bahkan Raja tak pernah mengekspos siapa dirinya.
Jika para seleb di TV itu kekayaannya paling dikitaran M rupiah saja, sedang ortunya Raja sudah nyampe di tingkat sekian T. Di Ciater saja, Resort Lembah Sari Mas didirikan di tanah seluas 11,5 Ha, di mana di atasnya berdiri setidaknya 60 bungalow, masjid kubah biru, Blue Dome College, dll. Belum lagi di tempat-tempat lainnya. Jelas… dia bukan sultan kaleng-kaleng.
Sesungguhnya, apa yang dilakukan Raja tak muncul dengan begitu saja. Dia mendapatkan contoh ril dari ortunya sendiri. Sebuah konsep keteladanan, yang oleh sang anak kemudian dijadikan sumber bagi identifikasi dan inspirasi dirinya.
Penulis sudah selama 15 tahun kenal baik, bahkan sobat kental dengan pak Monty. Kami seringkali berfikir dengan frekwensi yang sama. Obrolan, diskusi, itikaf, bikin kelas untuk para dosen, ustadz, mahasiswa seraya mengisi program di lokasi usaha beliau. Bahkan sampai mendirikan yayasan dalam bidang pendidikan dan pelatihan serta training manajemen untuk kalangan pengusaha.
Bulan lalu, kami bicara dan mendiskusikan program untuk menolong para anak-anak autis. Termasuk webinar dengan para aktifis bidang ini dari UI dan IPB. Menciptakan terobosan, mencari cara untuk membuat terapi khusus untuk anak autis. Plus dengan kesejahteraan mereka secara ekonomi, terutama setelah ortu-ortu anak autis ini meninggal. Mereka ini harus punya jaminan ekonomi yang diusahakan sendiri, tanpa ketergantungan pada Negara dan donasi… Insya Allah.
Pak Monty sang ayah memberikan keteladanan ini…
Bahwa jiwa sosial sekalipun perlu didukung oleh kegiatan ekonomi yang berbasis profesionalisme. Namun jiwanya tetap harus konsisten dan konsekuen, bahwa living is only giving, living is only forgiving.
Seperti juga yang menjadi motto Raja sang sultan beneran: Habluminallah, yang di aplikasikan dalam bentuk nyata habluminanas dan habluminalalam.
Anak ku Raja… Breakthrough dan tetaplah di jalan itu, seraya mampu menginspirasi semua anak dan remaja di negeri ini.
(Yayat Hidayat)