Sore itu, seperti biasa, saya mengantar istri ke tempat praktek. Yang tidak biasa adalah mengambil jalan pulang yang memutar karena di tempat biasanya terjadi kecalakaan. Di sana macet tak bergerak.
Sekitar tiga ratusan meter dari rumah, ada orang yang mencegat saya.
“Tolong Bang antar aku ke kompleks Pemda. Aku tunggu anak jemput tetapi tak muncul. Aku takut keburu magrib”. Ucapnya tanpa memberi kesempatan saya merespons.
Ia langsung duduk diboncengan dan minta helm. Sebenarnya, saya keberatan menyerahkan helm itu. Karena, ini helm istri yang tidak pernah dipinjamkan kepada orang lain. Termasuk saya sendiri.
“Maaf, saya tak tahu, kompleks Pemda yang mana, Pak?” Tanya saya.
Di depan rumah, saya menoleh. Syukurlah, anak tidak terlihat di teras.
“Pokoknya, perempatan depan belok kiri, nanti kuberi” Tukasnya.
“Tampaknya, Bapak terburu-buru” Ucap saya asal tebak.
“Betul. Siang tadi, sekitar pukul 15, baru turun di bandara. Di perjalanan Pak Bupati meminta aku langsung ke rumahnya. Kopor aku suruh bawa ke rumah anak, di kompleks Pemda itu” Katanya bertubi-tubi.
“Syukur tak banyak orang. Jadi, pembicaraan lancar. Ini tadi, aku langsung minta pamit. Takut tak keburu mengejar Bus yang akan ke Kuching” lanjutnya.
“Bus apa, Pak?” Tanya saya,
“Eva. Cucu saya, besok ulang tahun. Ia minta di antar ke Kuching. Bapaknya tak sempat. Akulah gantinya”
“Oh. Berapa usia?” Potong saya.
“Tujuh belas! Jadi, yang berangkat nanti, dia, mamanya dan aku. Hanya satu malam di sana terus balik. Lewat atas dan aku dar Kuching langsung Jakarta. Di Cengkareng menunggu Pak Bupati. Terus bersama-sama ke Bali. Ada rapat dinas” Tuturnya tanpa titik tanpa koma.
“Waaahhh. Maraton, ya Pak?!” Sambung saya.
“Itulah, Bang. Demi tanggung jawab kepada orang banyak”
“Betul, Pak. Maaf, ini terus kemana kita?” Tanya saya.
“Pertigaan kedua dari sini, belok kiri. Bujur terus. Rumah paling ujung sebelah kanan. Ngomong-omong. Bang kerja apa selain ngojeg ini” Tanyanya,
“Saya?: Saya, Pak. Maaf, pendidik Pak” Jawab saya agak tergagap.
“Oooh. Bagus! Daripada sare-sore tak ada kegiatan, baik diisi jadi tukang ojeg. Tidak perlu jadwal ketat. Dapat untuk beli rokok” Katanya.
“Ya, Pak” Ucap saya dengan mengangguk.
“Ya, ya, ya. Stop! Berhenti di sini. Itu rumah anak. Ini untuk beli bensin. Sepuluh cukup, belum?” Tanyanya.
“Lebih dari cukup, Pak. Terima kasih. Saya lanjut. Maaf, Helm, Pak!”
….
Saya cepat-cepat menyingkir dari tempat itu, sebelum pemilik rumah ke luar. Ia kolega saya.
Bapak tadi ikut mata kuliah saya di S2. Tetapi, baru masuk satu kali. Saya ingat suaranya yang khas, ‘agak gagap’.
membuat bapak tadi yakin bahwa saya tukang ojeg yang kebetulan lewat dan dia sangat memerlukan.
….
“Nih ada uang Rp 10.000 untuk beli minum sana!”
“Terima kasih, Pak.”
“Itu uang kaget. Ada yang ngojeg ke saya. Tak saya tolak.”
“Ha, ha, ha,. Pak-pak. Ada-ada saja. Gara-gara motor jadhul. Gantilah mobil. Biar ini saya yang pakai” Katanya
“Untung Bapak terima. Kalau diditolak, cerita jadi panjang. Heboh”
“Sudah stop! Ngelantur. Aku pulang!” Potong saya.
‘Siap! Pak! Hati-hati. Terima kasih” Ujarnya.
Salam setangkai bunga mawar
Leo Sutrisno
Jumat, 4 Oktober 2024.
Buah renungan Peristiwa Sedih, Misteri 2 (Mat 27:24-126): PURITY/KEMURNIAN, TULUS HATI