Di suatu senja yang temaram, ketika warna merah berpintal dengan warna kuning, seorang suci melintas di pelataran sebuah taman bunga mawar. Ia merasakan setetes air mata jatuh di jubah coklatnya.
Ia menengadah, mencari pemilik tetes air mata tadi. Matanya tertutuju pada seekor burung gagak yang bertengger di sebuah ranting pohon Bewuk (Fagus sylvatica).
“Hai Saudaraku, apa gerangan engkau menangis?”
“Aku sedih Bapa, merenungi nasib ini”
“Hallo, heh. Apa pasalnya?”
“Aku sedih, Bapa. Aku selalu dijauhi kawan burung yang lain. Manusia pun, bahkan, menganggapku sebagai burung penyihir, dll. Sungguh tidak adil!” Lanjunya.
“Terus, apa yang engkau inginkan Saudaraku?”
“Aku ingin berubah, Bapa” Jawan gagak.
“Aku mohon saranmu, Bapa!.”
“Baik. Istirahatlah yang cukup sebentar malam agar besuk badanmu segar kembali. Besok pagi pergilah ke danau. Di sana banyak kemungkinan yang dapat engkau pilih”
….
Kala bola merah mulai menyembul di ufuk timur, si gagak sudah di tepian danau itu, perhatiannya tertuju pada seekor angsa.
“Hai, kawan. Apa kabar. Lama kau tidak menengokku. Bagaimana keadaanmu” Sapa angsa.
“Tidak sedang baik-baik saja” Jawab gagak datar.
“Hah, Tidak baik-baik saja?! Apa yang terjadi” lanjut angsa.
“Aku iri padamu. Bulu putih yang kau miliki membuat nyaman bagi semua yang dekatmu. Engkau sungguh bahagia. Kau bebas kemana saja”
“Kawan! Apa yang kau bilang? Aku bahagia? Tidak! Kawan. Aku sudah bosan dengan warna putih mulus ini, Tak ada manusia yang mengajakku bermanin-main. Aku mendambakan memiliki bulu warna-warni seperti burung parkit”
“Oooh begitu?!. Maaf, Sampai jumpa!”
….
Ketika si parkit melihat seekor gagak terbang mendekat ia segera mencari tempat berlindung.
“Hai kawan, jangan berlari sembunyi. Aku tak akan mengganggumu” Tegur gagak seramah mungkin.
“Oooh. Ada apa kawan, menemuiku?” Tanya parkit setengah menyelidik.
“Alangkah bahagianya seandainya buluku yang membuatmu ketakutan ini. Sungguh membahagiakan punya bulu warna-warni”
“Haaahhhh. Bahagia!, Katamu?! That’s not true, friend. Justru, karena ini hidupku terturung dalam sangkar. Aku ingin seperti yang dimiliki merak. Kepakkan ekornya selalu membuat setiap menusia kagum, kawan!”.
“Oooohhhh, begitu, ya. Aku pergi. Sampai jumpa kelak!” Ujar gagak
…..
Di sebuah kebun binatang gagak itu mendengar tepuk tangan manusia yang meriah dan berkepanjangan.
“Tabe, kawan. Sungguh bahagia hatimu. Semua orang bertepuk tangan kepadamu. Bentangan bulu ekormu membuat manusia terkagum-kagum” sapa gagak.
“Sangkamu aku bahagia, kawan?!” Celetuk si merak.
“No, friend. Aku tersiksa. Aku harus selalu menjauhi mereka dan waspada. Tangannnya banyak yang usil mencoba mencabut bulu ekor ini. Sakitnya tak ketulungan. Aku tak suka dengan keadaanku ini.”
“Sebaliknya, aku iri padamu. Kau dapat terbang ke mana kau suka. Otakmu sangat cerdas. Kau pandai.” Lanjut merak.
“Oh, oh, oh. Aku pergi. Terima kasih” Ujar gagak melesat mengakasa.
….
Sebelum senja mulai menutup hari, orang suci mulai menutupi jendela rumahnya. Di depan jendela yang terakhir ia melihat kawan gagaknya.
“Hai, Saudaraku. Apa keputusanmu?”
“Tidak apa pun, Bapa. Aku sangat berbahagia dengan keadaanku saat ini”.
“Ya, ya, aku mengerti saudaraku”. Timpal orang suci itu.
“Ibu, seandainya surga itu berada di puncak itu,
Mungkin aku ini tinggal satu lompatan lagi sudah sampai.
Karena, saat ini, aku sudah berada di bibir tebing yang paling tinggi.
Berada jauh di atas mereka”.
“Tetapi, oh Bunda, itu berarti aku tidak menghargai keadaanku dari waktu ke waktu hingga di tempat sekarang ini. Ajarilah aku menapaki tebing ini selangkah demi selangkah menapaki jalan-Nya”. Amin.
Salam setangkai bunga mawar
Leo Sutrisno
Minggu, 6 Oktober 2024.
- Buah renungan Peristiwa 2 Yesus naik ke surga (Luk 24:50-52): Pengharapan, Kerinduan untuk masuk surga