Oleh: Yusriadi
“Selamat Jalan Bang Ipul…”
Kalimat itu saya baca kembali di WA. Saya membaca sambil menghayati. Mengingat kembali memori bersama Dr. M. Syaifullah atau sosok yang saya panggil hormat dengan Bang Ipul.
Mengenang kepergian beliau memberikan guncangan di dada. Ada rasa sedih. Terbayang Bang Ipul… Ahh… semoga anak-anak dan istri beliau, sabar dan ikhlas…
Tetapi, di balik kesedihan itu sebenarnya ada rasa bangga dan senang, bahkan iri. Senang karena Bang Ipul pergi dengan husnul khatimah. Mengakhiri kehidupan dunia ini dengan baik. Pergi dengan cara “mudah” — melewati fase sakit yang singkat. Pergi dalam keadaan sempat berbenah diri, menyiapkan bekal tambahan untuk hidup di keabadian.
Saya berharap, semoga kelak juga bisa kembali dengan jalan mudah. Semoga diberikan tanda Ketika panggilan akan tiba. Lalu, pulang dengan bekal yang lengkap, dan berakhir yang husnul khatimah. Amin.
Saya mengenal Bang Ipul sejak tahun-tahun awal beliau menjadi pegawai di IAIN Pontianak. Kami sama-sama angkatan tahun 2000. Saya menggunakan ijazah S1 IAIN Pontianak, Bang Ipul menggunakan ijazah STIEP. Sebagai satu angkatan, kami sering bersama. Baik untuk urusan formal maupun tidak formal.
Salah satu kegiatan yang mempersamakan saya dan Bang Ipul adalah bulu tangkis. Saya berpasangan dengannya dalam beberapa pertandingan, dan tentu dalam latihan. Kemampuannya bertahan sangat bagus. Bedhen (Backhand)-nya juga mantap.
Belakangan, karena kesibukannya, yang karena kuliah lagi, lalu bisnis, lalu kemudian setelah selesai kuliah dia menjadi pejabat di IAIN Pontianak (Bang Ipul pernah jadi Ketua Prodi, Wakil Dekan FEBI dan terakhir ini Ketua Prodi MES Pascasarjana), dia jarang olahraga. Perutnya menjadi “buncit” –begitu dia membahasakan. Saya termasuk paling sering mengacau—mencandai– dia karena perutnya itu.
Maka, saya sering memaksa dia turun kembali. Sesekali dia turun juga, “Dipaksa Yus ni…” katanya.
“Ya-lah… biar sehat. Biar lemak luntur,” saya membalasnya.
Beberapa bulan lalu ada dua kali dia sempat bermain lagi di kelompok bulu tangkis Family Tama –tim bulu tangkis masjid komplek beliau). Tetapi, hanya setengah game. “Poso,” akunya. Ya, dia memang mudah poso belakangan ini. Praktis dia gantung raket, berganti olahraga ringan. “Ikut Mael, jogging,” ujarnya suatu ketika.
Bang Mael adalah Direktur Pascasarjana, atasan sekaligus kawan kami. Semula dia juga pemain bulu tangkis (bahkan sepakbola dan volley), tetapi sekarang hanya jogging. Olahraga berat sudah ditinggalkan.
Pada akhirnya, saya mendengar kabar dari Bang Mael, bahwa Bang Ipul sakit. Bang Ipul sempat dirawat di RS Sudarso Pontianak. Setelah melalui pemeriksaan diketahuilah: ada penyumbatan. Dalam proses menunggu tindakan, saya sempat datang ke rumahnya. Bahkan sempat ikut makan siang –rupanya itu makan bersama terakhir kalinya.
Pengalaman dirawat di rumah sakit, bersebelahan dengan pasien-pasien yang lebih gawat, membuat Bang Ipul lebih siap untuk berobat. Ini juga membuat dia lebih kuat. Dia sudah mencoba di Pontianak, tetapi, rupanya tidak bisa, tetap harus diobati di Jakarta.
Sabtu malam (8/1) pukul 21.46, Bang Ipul mengabari keberangkatannya.
“Assalamualaikum Bg izin ke Jakarta. Mks”
“Salam. Selamat jalan bang Ipul. Semoga lancar, pulih sedia kala.” Saya membalasnya.
Saya masih menaruh harapan dan optimisme Bang Ipul pulih, seperti sedia kala. Harapan itu muncul karena banyak orang yang saya kenal mengalami masalah kesehatan jantung. Mereka dipasang ring atau menjalani operasi bypass. Hal ini saya ceritakan padanya ketika mengunjunginya bulan 12 lalu. Bang Ipul pun juga memiliki beberapa contoh serupa.
Maka, ketika pagi tadi ((11/1/2022) saya mendapat WA dari Bang Mael, bahwa Bang Ipul telah pulang, sesaat saya merasa sesak. Ya Allah….
Tapi, saya bertakbir dan istiqhfar. Menghadap Allah seharusnya kerinduan setiap hamba.
Lagi pula: setiap yang bernyawa pasti mati. Kita sebagai hamba pasti kembali kepada-Nya. Sudah ada ketetapannya, sudah digariskan cara dan jalannya. Kalau sekarang kita masih hidup, itu karena belum waktu.
Waktu Bang Ipul sudah tiba. Waktu kita belum. Kapan? Semoga kita dapat menangkap tanda dari-Nya lebih awal.
Bang Ipul kini tinggal kenangan. Saya akan mengingatnya melalui tulisan ini. Mengingat seorang sahabat yang ramah, hangat dan humoris.
Dia yang selalu ingin memosisikan diri berteman dengan semua orang, dan tidak ingin menjadi musuh orang. Dia yang mulutnya selalu terjaga. Rasanya saya tidak pernah mendengar lisannya menyakiti perasaan orang lain. Kalau tidak suka dia memilih diam. Malah beberapa kali dia menasehati, “Senyumin saja Bang,” katanya.
Saya bersaksi bahwa Bang Ipul orang yang sangat baik. Semoga kebaikan yang diberikannya selama ini menjadi amal. Amal yang menjadi bekal Bang Ipul di akhirat. Alfatihah…(*)