Dear Setyawati, anakku.
Ibumu sudah ke luar dari rumah sakit. Kembali berkumpul di rumah abangmu. Menjalani rawat jalan untuk mengembalikan kesehatannya. Sebagai persiapan untuk terapi kemo mendatang.
Walau badannya masih sangat lemah, ibumu berusaha untuk melakukan pekerjaan domestik seperti biasanya. Tentu, pada awalnya, bapak tidak setuju.
Belakangan, bapak menangkap pesannya. Yaitu, ibumu ingin kita tidak turut larut merasakan betapa berat sakit yang dideritanya. Biarlah ia sendiri yang menanggungnya.
Kemarin pagi, sambil memotong sayur, ibumu berkata, “Mas, mudah-mudahan tidak benar…. Ketika dokter PA menjenguk itu, ia bilang positif CA.”
“Tetapi,” lanjutnya, “Baru sekitar radius lima senti meter. Di luar itu negatif. Mudah-mudahan tidak cepat menyebar, ya.”
“Mudah-mudahan benar, baru tahap awal, ya Mas,” sambungnya. Bapak hanya mengangguk, sambil menelan ludah yang tidak perlu dilakukan.
“Kenapa mesti saya, Tuhan?” lanjutnya. Setetes air bening menetes jatuh dari pelupuk mata ibumu. Bapak menggigit bibir. Pedih.
Sambil menunduk, menghindar dari tatapan bapak, ibumu terus memotong sayur yang akan ditumis. Bapak membantu mengupas bawang merah dan bawang putih serta menyiapkan wajan untuk menggongseng.
Anakku, Setyawati,
Ibumu, menderita kanker kolon. Menurut banyak penelitian, kanker ini merupakan kanker pembunuh nomor dua di dunia.
Penyakit ini lebih sering dialami oleh para wanita ketimbang lelaki. Terutama mereka yang di atas 60 tahun.
Yang ditakutkan ibumu adalah jika sempat memasuki dinding usus. Karena, kelenjar getah bening di dekatnya juga mudah terkena.
Tidak perlu waktu yang lama, bila sampai pada getah bening, akan terjadi metastase ke hati. Angka harapan hidup pun serta merta menurun drastis.
Anakku, Setyawati,
Jangan bertanya tentang penyebabnya. Bapak tak mau menoleh ke belakang karena tidak akan menyelesaikan masalah.
‘Kenapa mesti saya, Tuhan?’ pertanyaan ibumu ini, tidak dapat lepas dari kepala bapak. Terasa beban berat menggantung di dada.
“The silent killer” telah menemukan satu lagi korbannya. Ibumu. Ia mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis. Penyembuhan?
Penyembuhan fisik menjadi kewenangan rumah sakit. Ibumu pasti akan taat mengikuti apa yang akan teman sejawatnya lakukan.
Penyembuhan psikis? Bapak mesti ‘diskusi’ dengan ibumu.
“Mungkin,” kata bapak. “Ini yang disebut memanggul salib yang sebenarnya, Dik.”
“Tetapi, terlalu berat bagiku, Mas,” kata ibumu.
Bapak cuma mengangguk. Tanda setuju. Bila menimpa bapak, mungkin juga sama. Tak kuat menanggungnya. Namun! Apa yang harus dikatakan?
“Aku pun merasa demikian, Dik,” ucap bapak lirih.
“Aku akan menemanimu sampai dokter menyatakan telah sembuh, Dik. Mudah-mudahan saya tidak ikut sakit. Apa pun yang terjadi, salib itu harus dipanggul berdua .”
Setyawati, anakku,
‘SALIB’. Salib Yesus. ”Ya. Salib itu mesti kita panggul, Dik.”
Sambil mengucapkan itu, bapak pergi ke ruang buku.
“Kita mesti mempelajari ini, Dik,” kata bapak sambil menunjukkan buku ‘Salib dan Penyembuhan’.
“Mari kita pelajari!”
Hampir tiga hari bapak dan ibumu mencari inti sajian buku itu.
Penulisnya, Prof Aldolf Lippi, CP, berbicara tentang Teologi Salib. Suatu teologi yang membahas hubungan antara ‘kuasa penyembuhan Sengsara Yesus’ dan ‘penderitaan konkret manusia’.
Roh Allah menyatakan diri kepada kita sebagai Roh Derita Kristus, yaitu kuasa Allah. Kekuasaan ini melahirkan kemauan dan keberanian dalam diri Yesus untuk menghadapi derita-Nya dengan suka cita.
Derita ini menjadi induk utama dari penyembuhan dan pembebasan. Menghadapi penderitaan dengan suka cita merupakan sumber penyembuhan dan pembebasan.
Itu berarti suatu penyerahan diri secara total kepada kehendak Allah.
Itu juga berarti membebaskan diri dari preservasi diri demi kenyamanan duniawi. Bukan sikap salah satu penjahat di Bukit Kalvari yang meminta dibebaskan dari salibnya.
‘Bukankah Engkau Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!’
Bebas dari ‘kemuliaan duniawi’ merujuk pada batin yang dibebaskan dari keterikatan duniawi. Seperti, sikap salah satu penjahat yang lain.
‘Yesus, ingatlah akan aku, Jika Engkau datang sebagai raja’
Penyembuhan batin dialami. Mungkin juga diikuti oleh penyembuhan fisik. Terjadilah mukjizat.
“Kita mesti berserah diri kepada kehendak-Nya, Dik. Mari kita hadapi penderitaan ini dengan suka cita,” ucap bapak lirih.
Ibumu, mengangguk pelan. Bapak dapat merasakan betapa berat derita yang dihadapinya.
“Tuhan, kalau ini sesuai dengan kehendak Maha Kudus-Mu, aku mohon agar penyakit ini dilepaskan dari tubuhku,” guman ibumu lirih.
“Amin!” sambung bapak. Semoga Tuhan mengabulkan.
(Leo Surisno, Pontianak, Green Silva, 31 Maret 2023)