Oleh: Leo Sutrisno
Dalam tiga tahun terakhir ini, kita sering mendengar istilah ‘industri 4.0’. Kata ‘industri’ tentu sudah paham. Bagaimana dengan bilangan ‘4.0’?
Bilangan ‘4.0’ merujuk kepada karakteristik utama dari dunia industri pada masanya. Kehadirannya menyusul ‘bilangan-bilangan: 1.0, 2.0, dan 3.0’ yang muncul lebih awal dari ‘revolusi industri’.
Revolusi Industri 1.0 ditandai dengan penggantian tenaga manusia/binatang oleh tenaga mesin bertenaga uap/air. Terjadi antara 1760-1840. (https://en.wikipedia.org/wiki/Industrial_Revolution).
Revolusi Industri 2.0 ditandai dengan penggantian tenaga uap/air oleh tenaga listrik. Era ini terjadi antara 1870-1914. Juga disebut revolusi teknologi. (https://en.wikipedia.org/wiki/Second_Industrial_Revolution).
Revolusi industri 3.0 terjadi pada paruh kedua abad ke-20. Industri mulai memanfaatkan keberadaan teknologi sistem computer. Juga disebut revolusi digital. (https://en.wikipedia.org/wiki/Digital_Revolution)
Revolusi Industri 4.0 terjadi di decade yang lalu, 2011. Cyber Physical Systems (CPS) digantikan oleh Cyber Physical Production System (CPPS). Industri mulai menggunakan ‘modern smart technology’. Revolusi industry 4.0 juga disebut 4IR, dan industri 4.0. (https://en.wikipedia.org/wiki/Fourth_Industrial_Revolution)
Diperkirakan akan segera disusul oleh revolusi industri 5.0. Industri 5.0 dirancang akan lebih manusiawi ketimbang dunia industry yang terdahulu (https://research-and-innovation.ec.europa.eu/research-area/industrial-research-and-innovation/industry-50_en)
Di era industri 4.0 ini juga muncul teknologi jejaring, World Wide Web (WWW), ‘Web 1.0’, 2.0, 3.0, Web 4.0 dan 5.0’ (https://flatworldbusiness.wordpress.com/flat-education/previously/web-1-0-vs-web-2-0-vs-web-3-0-a-bird-eye-on-the-definition/).
Kemunculan era digital yang belum pernah diduga sebelumnya, menghadirkan sejumlah tantangan di pendidikan. Beberapa di antaranya adalah: menyelam ke dalam ketidak-tahuan, merangkul teknologi, menemukan ‘new benchmarks’ dan bertaruh demi manusia (https://knowledgeone.ca/4-challenges-for-education-in-the-digital-revolution-era/).
1, Menyelam ke dalam ketidak-tahuan
Era digital telah muncul. Kehidupan kita telah berubah. Kita memasuki ekosistem ‘human-machine’, suatu pilinan antara dunia nyata dan dunia virtual.
Dampak dari revolusi digital ini tidak hanya perubahan sosial dan ekonomi, tetapi juga perubahan kognisi dan, bahkan, mungkin juga perubahan fisik manusia.
Tetapi, ‘wajah’-nya belum diketahui dengan jelas. Banyak variable yang tak dikenal selalu muncul dalam setiap fungsi interaksinya. Sehingga, kita tidak akan dapat menggambarkan keadaan dunia sekitar kita baik sekarang maupun masa depan dengan benar dan lengkap.
Karena itu, kita mesti selalu bersiap diri berenang di samudera ketidak-tahuan. Berbekal kemampuan ‘ca-lis-tung’ belum cukupi. Perlu kemampuan lain, yaitu ‘learn how to learn’ dan ‘how to be’
- Merangkul teknologi
Dalam dunia dengan ekosistem ‘human-mahcine’, kita tidak mungkin menolak teknologi. Sebaliknya, kita harus merangkul teknologi. Kita mesti hidup bersama teknologi beserta plus-minus-nya.
Dunia pendidikan pun demikian, mesti ‘merangkul’ teknologi, teknologi digital, walaupun, mengandung sisi negatif. Teknologi digital tidak hanya dijadikan sebagai alat bantu proses pembelajaran tetapi juga bertugas menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang lainnya.
Kita mesti memiliki kemampuan ‘how to live together with others (humans and things), in peace’
- Menemukan ‘new benchmarks’
Hingga kini, wajah dunia digital belum dapat digambarkan dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Karena, masih banyak variabel yang tidak dikatahui terus bermunculan. Karena itu, paradigma lama tentang pendidikan tidak mungkin dapat diterapkan lagi.
Dewasa ini, di ruang digital, ditemukan banyak lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan daring. Praktik semacam ini, walau pun juga dilakukan oleh lembaga top internasional, apakah ini jawaban bagi tantangan yang ketiga ini? Sebuah ‘benchmark baru’.
Jawabannya, bukan. Karena, kegiatan ini hanya memindahkan ruang kelas ke rumah, apartment, bahkan ke ‘café-cafe’. Hakekatnya, masih sama dengan pendidikan sebelum era digital. Pendidik sebagai pusat sumber belajar.
Karena, pendidikan di era digital tidak lagi untuk mempersiapkan seseorang agar dapat masuk ke dunia kerja. Karena, dunia kerja pun juga berubah ke arah yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
‘Benmark’ baru lembaga pendidikan mesti dicari dan terus-menerus diperbaharui.
Dalam konteks ini, program merdeka belajar, kampus merdeka, dan kurikulum merdeka, mungkin dapat dijadikan sebagai salah satu contoh ‘benchmark baru’ pendidikan di Indonesia.
- Bertaruh demi manusia
Kita, kini, hidup dalam ekosistem ‘humman-machine’. Itu berarti, kita ‘harus’ mendelegasikan kepada mesin (baca: computer) agar menyelesaikan sejumlah pekerjaan yang tidak dapat kita selesaikan.
Hidup kolaboratif dengan teknologi dan juga dengan liyan menjadi keniscayaan. Paradigma pendidikan yang masih mengembangkan sikap kompetitif mesti ditinggalkan dan diganti dengan mengembangkan sikap kolaboratif.
Guru bukan lagi sebagai sumber belajar tetapi justru menjadi ‘rekan latih’ pembelajar untuk hidup di dunia yang serba tidak dikenal. Mungkin, guru penggerak berada dalam posisi ini, sebagai rekan latih baik para murid maupun rekan guru yang lain.
Inilah sepintas tantangan dunia pendidikan di era digital dewasa ini. Telaah yang lebih mendalam perlu dilakukan. Pendidikan ‘must not only adapt to society, it must question it, guide it’, dan juga ‘inspire it’.
Semoga!
Pontianak, 16 Juli 2023