Dear Setyawati, anakku.
Tanggal 22 September sore, kami mengantar ibu kontrol untuk persiapan kemo yang ketujuh. Sabtu pagi, 23 September ’23, pukul 10:00 masuk kamar rawat inap, untuk diobservasi kesiapan fisiknya, pra-kemo.
Seperti biasa, Pak Manto yang membantu menguruskan seluruh persyaratan administrasi yang diperlukan. Terima kasih yang tak terhingga, Pak.
Tetapi, ada yang berbeda dari perawatan-perawatan sebelumnya. Kali ini, tidak dimasukkan langsung ke kamar isolasi di gedung kemo. Tetapi, dimasukkan ke kamar inap umum dengan fasilitas berkelas.
Sehingga, kapur barus, wipot, baigon, serta peralatan lain ‘untuk camping’, yang selalu bapak persiapkan dari rumah tak lagi terhampar di lantai. Sebaliknya, justru tersimpan rapi di lemari yang tersedia di kamar tersebut.
Mengapa? Bapak tidak tahu, maaf. Barang kali, manajemen mengubah kebijakan pelayanan bagi ibu. Dan, mungkin, juga bagi pasien-pasien kemo yang lain. Tentu, kita sangat berterima kasih atas pelayanan ini.
Tanggal 23-24 September tak ada kegiatan yang berarti. Tanggal 25 dan 26 ibu kembali menjalani sejumlah pemeriksaan yang sudah dua atau tiga kali dilakukan sebelumnya. Diantaranya, pemeriksaan lab, USG, Endoskopi, Kolonskopi, dan CT scan.
Sungguh sangat sibuk. Hasilnya? Terapi kemo dihentikan. Katanya, ada perkembangan yang positif secara signifikan.
“Syukurlah, kontrol tidak perlu seminggu sekali”. Kata ibu dengan ‘sumringah’, begitu dokter keluar kamar.
“Menjadi, tiap tiga bulan sekali. Lumayan, sampai Desember bisa bernpas lega”
“Aku sudah ‘stress’ dulu, tiap kali mendekati jadwal kontrol” Lanjutnya.
Bapak rangkul ibumu. Sembari berbisik,
“Permohonan kita dikabulkan. Terima kasih dan syukur kami kepada-Mu, Tuhan”
Dear Setyawati, anakku.
Bapak, ibu, dan abangmu berpelukan di sekitar tempat tidur sembari mendaraskan pujian:
‘Hatiku tenang berada dekat-Mu, Kaulah jawaban hidupku
Hatiku tenang berada dekat-Mu. Kau yang plihara hidupku’
‘Pertolongan-Mu begitu ajaib. Kau t’lah memikat hatiku
Di saat aku tak sanggup lagi. Di situ tangan-Mu bekerja’
‘Pertolongan-Mu begitu ajaib. Kau t’lah memikat hatiku
Kini mataku tertuju padaMu. Kurasakan kasih-Mu, Tuhan’
‘Kini mataku tertuju padaMu. Kurasakan kasih-Mu Tuhan….’
(Meditasi Cinta Kasih Ilahi-Tema mohon Kekuatan) https://www.youtube.com/c/KomunitasMeditasiCintaKasihIlahi/videos
Dear Setyawati, anakku
Dalam keheningan dini hari, bapak ‘diingatkan’ akan sepotong kalimat yang belakangan sering muncul di pikiran.
‘Dimana, Engkau Tuhan?’
‘Dimana, Engkau Tuhan?’
‘Dimana, Engkau Tuhan?’
Tuhan tidak menjawab pertanyaan itu.
Tetapi, langsung menunjukkan keberadaan-Nya. Kemo ibu dihentikan dan kondisi tubuh semakin membaik secara signifikan. Kontrol tidak lagi setiap lima belas hari, tetapi tiap sembilan puluh hari sampai ‘colostomy bag’ dilepas dan usus besar disambung lagi, sekitar satu setengah tahun ke depan.
Kenyataan ini menyadarkan bapak, bahwa nalar manusia, nalar bapak, bukan tandingan bagi kuasa Allah yang tak terbatas dan kekal. Betapa sedikit pemahaman dan pengetahuan bapak tentang Yang Mahakuasa.
‘(Hai, laut!) Sampai di sini engkau boleh datang, jangan lewat. Di sinilah gelombang-gelombangmu yang congkak akan dihentikan!’ (Ayub 38:11).
Di telinga, terdengar bisikan lembut yang berasal dari inti badai kerisauan hati bapak.
‘Bersiaplah sebagai laki-laki. Aku akan bertanya dan jawablah’ (Ayub 40:1-2)., Bapak tak mampu mendengarkan kalimat-kalimat selebihnya (Ayub 40:3-28; 41:1-25).
Dengan gemetar, bapak berguman pelan, “Tuhan, aku tahu bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal (Ayub 42:2). Oleh sebab itu, aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku hanyalah debu dan abu” (Ayub 42:6).
Ya, bapak hanyalah debu dan abu. Atau, mungkin, justru jutaan milyar kali lebih kecil dari intinya inti atom debu.
Hanya debulah aku. Di alas kaki-Mu, Tuhan.
Hauskan titik embun. Sabda penuh ampun.
Tak layak aku tengadah. Menatap wajah-Mu.
Namun tetap kupercaya. Maha Rahim, Engkau.
…..
Ampun seribu ampun. Hapuskan dosa-dosaku.
Segunung sesal ini, ku-hunjuk pada-Mu.
Tak layak aku tengadah. Menatap wajah-Mu.
Namun tetap kupercaya. Maha Rahim, Engkau
Leo Sutrisno
RS, 27 Sept 2023