in

Wasiat Tanbih “Moderasi Agama” Guru Mursyid

Sejarah mencatat, kemunduran dunia politik Islam pada abad ke-13 namun menjadi gerbong yang mengantarkan kesuksesan keemasan perkembangan tarekat abad ke-15 hingga abad ke-16. Kegemilangan tarekat (sufistik) dalam menjaga eksistensi Islam hampir di seluruh belahan dunia khususnya di luar arab ; Afrika, India, Asia Tengah, Cina termasuk di Indonesia (Nur Hadi, 2012 :1).

Perkembangan dunia sufistik di Indonesia ditandai dengan berkembangnya bermacam aliran tarekat antara lain; “Tarekat Qadiriyah,””Tarekat Rifa’iyah,””Tarekat Syattariyyah,””Tarekat Naqsyabandiyyah,””Tarekat Khalwatiyyah,””Tarekat Tijaniyyah,””Tarekat Sammaniyyah”dan“Tarekat”Qadiriyah Naqsyabandiyyah dan tentu masih banyak lagi aliran tarekat lainnya. Namun yang mu’tabarah (populer) hanya tujuh selain Tarket Khalwatiyyah.

Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN) berkembang sangat pesat di Indonesia. Awal mulanya berasal dari dua bentuk tarekat, yakni tarekat Qadiriyyah (dinisbahkan pada seorang wali Qutub, “Syeikh Abdul Qadir Al Jailani)” dan tarekat Naqsyabandiyyah (dinisbah seorang sufi “Muhammad Ibn Muhammad Bahauddin Al Uwaisi Al Bukhari Al Naqsyabandi).” Paduan dua tarekat ini dikembangkan seorang ulama Indonesia, Sambas, Kalimantan Barat bernama “Syeikh Ahmad Khatib As Sambasi” (1802-1878 M) wafat di Mekkah (Hawas, 1980 : 177). Perkembangan selanjutnya melalui proses khidmat dan bai’at dari guru-guru mursyid, Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah ini disebarkan oleh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh), Tasikmalaya (kini Pondok Pesantren Suryalaya), Jawa Barat dan diteruskan oleh anaknya bernama “Ahmad Sohibulwafa Tajul Arifin” lebih dikenal dengan “Abah Anom” atau Ayah Muda, adalah panggilan kehormatan seseorang menyandang kyai saat usia muda, silsilah keduanya merupakan guru mursyid (Achmad Sayyi:2017).

Setiap tarekat tentunya syarat dengan berbagai amalan zikir khusus yang didawamkan dan diamalkan kandungannya secara konsisten (istiqomah), terbimbing oleh guru mursyid, dan diimplementasikan secara ikhlas sebagai riyadhah (excercise) pensucian qalbu guna mencapai ma’rifatullah. Bagi para ikhwan (sebutan bagi pengikut/pengamal/murid guru mursyid tarekat TQN) amalan zikir dimaksud diantaranya, seperti ; zikir harian, tawashul, khotaman dan manaqiban (Arifin, 1990). Upaya memupuk buah amalan zikir, penting para ikhwan memperoleh advise (nasihat) salah satunya melalui manaqiban dari guru sebagai upgrading dan me-recharge iman. Di dalam manaqiban memuat tanbih (nasihat) yang selalu disampaikan kepada para ikhwan TQN. Tanbih sebenarnya merupakan wasiat nasihat Abah Sepuh kepada Abah Anom yang terdokumentasikan di dalam naskah kitab tanbih.

Naskah tanbih ini ditulis dan diserahkan oleh “Abah sepuh” kepada “Abah Anom” pada tanggal 13 Februari 1956 (tepatnya 11 Tahun setelah era kemerdekaan Indonesia). Tanbih sebagai naskah yang tersirat dalam amalan rutin manaqiban yang dilaksanakan minimal sebulan sekali. Tanbih dibacakan dan didengarkan secara utuh seakan sebagai reminder yang harus menjadi tuntunan para murid dari guru mursyid dalam menjalankan dan meningkatkan kualitas kehidupan sosial ikhwan didunia dan akhirat, tidak hanya memperbaiki relasi vertikal dengan Khaliq namun juga memperbaiki relasi sosial secara horisontal kepada sesama mahluk.

Terdapat empat nilai ajaran penting yang termuat di dalam naskah tanbih dapat dilihat sebagai berikut (Arifin, 1990 : 27) ;

  1. “Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita baik dhohir maupun bathin harus kita hormati, begitulah seharusnya hidup rukun, saling menghargai.”
  2. “Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah agama dan negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya”Adzaabun Alim”, yang berarti duka nestapa untuk selama-lamanya dari dunia sampai dengan akhirat (badan payah, hati susah).”
  3. “Terhadap orang-orang yang keadaannya dibawah kita, janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersikap angkuh, sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasehat yang lemah lembut yang akan memberi keinsyafan dalam menginjak jalan kebaikan.”
  4. “Terhadap fakir-miskin, harus kasih sayang, ramah tamah serta bermanis budi bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, karena mereka jadi fakir miskin bukannya kehendak sendiri namun itulah kodrat Tuhan.”

Mencermati bagian naskah tanbih ini akan menjadi menarik apabila diinterpretasikan dalam kontekstualisasi moderasi beragama saat ini meskipun ketika tanbih ini pertama kali ditulis bukan dalam konteks perkembangan isu moderasi beragama.

Esensi irisan yang diangkat melalui pesan naskah tanbih dalam konteks moderasi beragama saat ini adalah ; pertama, setiap pribadi ikhwan untuk mampu memiliki adab dan akhlak untuk saling menghormati, menghargai dalam bingkai toleransi dalam menjaga kerukunan sosial dan kerukunan sesama pemeluk agama. Terjadinya konflik yang mengedapan isu agama turut diawali oleh ketidaksiapan menerima perbedaan karena sikap egosentris dan perbedaan kepentingan kelompok dan golongan sehingga menihilkan akhlak / adab dari orang yang muda terhadap yang tua, merasa patut dihormati sebab merasa memiliki tingkat pendidikan dan ilmu yang lebih tinggi sehingga mengabaikan adab terhadap orang yang lebih tua.
Kedua, setiap pribadi ikhwan untuk mampu mengendalikan diri dan mengedepankan sikap sabar, rendah hati, sikap inklusif guna menghindari konflik mengedapankan saling tolong menolong atas dasar kemanusiaan dan sesama mahluk Tuhan, mengedepan kepentingan negara. Mengedapankan sikap ini menjadi modal utama dalam menjaga dan memupuk moderasi beragama. Disharmonisasi yang terjadi di tanah air acapkali menganggap orang yang berbeda agama tidak patut dibantu karena menganggap sebagai golongan kafir. Sikap ini lebih cenderung pada sikap ifrath, berlebihan dalam beragama (Afrizal : 2016). Sikap yang sebenarnya adalah berbuat baik dan menghargai orang lain atas dasar hak kemanusiaan yang sama. Demikian moderasi beragama turut harus didasari sikap menghormati hak-hak dan kepentingan orang orang lain, saling membantu dalam kepentingan sosial masyakat tanpa memandang suku, agama dan ras. Mengedepankan kepentingan kemaslahatan dari pada kepentingan pribadi dan golongan guna mencegah terjadinya konflik yang merugikan kepentingan masyarakat.
Ketiga, setiap pribadi ikhwan menanamkan sikap dan perilaku tidak diskriminatif, egaliter (musawah). Memandang dan menghormati orang lain tanpa mengedapankan status sosial orang lain, menjauhi dari sikap merasa lebih kaya, lebih berilmu, lebih terpandang dan lain sebagainya. Ikhwan turut menjauhi diri dari sikap menerima kelompok sosial yang terpandang dan mulia karena keilmuan dan pendidikan semata namun menolak kelompok sosial yang kurang berpendidikan. Implementasi nilai moderasi beragama yang sesungguhnya adalah mampu menjaga nilai musawah (egaliter) tiada suku, tiada status sosial ekonomi yang lebih mulia dalam kehidupan sosial dan dihadapan Tuhan semua memiliki kesetaraan hak dan rasa hormat yang sama dari sesama (Fahri, 2019 : 99).
Keempat, setiap pribadi ikhwan harus mampu mengayomi dan merangkul kelompok sosial yang tidak memiliki kemampuan secara ekonomi. Bahkan turut mendorong dan menjadi pioner bagi mewujudkan masyarakat yang lebih mandiri secara ekonomi. Memberikan peluang dan kepercayaan mereka dalam berkarya. Kesenjangan sosial dan ekonomi acapkali menjadi trigger pembenaran kewajaran terjadinya konflik menuju disharmonisasi. Relevansi dalam moderasi beragama bahwa ikhwan harus mengedepankan sikap prioritas (aulawiyah). Memprioritas untuk membantu kelompok sosial yang lebih membutuhkan dukungan dan uluran tangan.

Interpretasi nilai tanbih dalam kontekstualisasi moderasi beragama bagi ikhwan TQN secara esensi sangat mengedepankan bentuk relasi sosial kemanusiaan yang komprehensif dan humanis. Bagaimana tanbih menyentuh aspek relasi individu berakhlak / adab murid dengan guru mursyid, orangtua, kerabat, teman, fakir (secara materi dan secara ilmu) dengan agama maupun negara. Meski tanbih dituturkan bukan pada zaman hangatnya isu moderasi beragama seperti saat ini namun nilai esensi tanbih selalu menjadi reminder sekaligus “ruh” bagi para ikhwan yang telah lama hidup dengan nilai moderasi beragama dengan penuh adab dan akhlak bagi sesama guna mencapai ma’rifatullah. Wallahu’alam. (* Penulis adalah Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah IAIN Pontianak)

Written by teraju.id

Diskresi

Mahasiwa KKN dan Pemerintah Rodaya Kembangkan Ekowisata Danau Parase’k