Posisi saya dalam menarasikan zakat ini adalah pengajar. Saya tidak mengambil posisi sebagai amil. Per hari ini juga tidak mengelola lembaga sosial apapun sama sekali. Kecuali dapur kecil di rumah ibu yang memasakkan makanan ifthor untuk santri. Akadnya infaq. Bukan zakat.
Maka apa yang saya tuliskan pada kesempatan kali ini tidak bertendensi pada kepentingan lembaga, atau pribadi, saya ingin menyampaikan narasi ini pada titik pondasi ilmu. Saya ingin berdiri di atas ilmu. Bahwa kita harus sama-sama membuka diri atas bagaimana Nabi dan Sahabat setelahnya mengelola zakat.
Pertama, kalimat tariklah zakat dari harta mereka (Khudz min amwalihim shodaqotan) pada QS At Taubah ayat seratus tiga, memiliki semangat kelembagaan. Pada awal turunnya ayat ini, otoritas penarikan berada di tangan Nabi. Dan setelah sepeninggalnya Nabi Muhammad dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin, dan bergulir hingga masa Daulah Dinasti Umayah dan seterusnya.
Maka Zakat ini berbeda dengan infaq aam dan wakaf. Jika infaq aam dan wakaf ini bersifat sukarela kedermawanan, maka Zakat ini bersifat wajib, memaksa, dan ada lembaga yang “menarik”.
Inilah sudut pandang pertama, mengapa zakat alangkah baiknya disalurkan melalui lembaga, karena sejak penerapan awalnya, kaum muslimin menyalurkannya melalui kelembagaan Baitul Maal.
Pada masa khalifah Utsman, hadir dua kebijakan yang menarik untuk dicermati, dibagilah harta menjadi harta dzohir dan harta bathin.
Harta dzhohir adalah harta yang terlihat, untuk harta yang terlihat oleh orang lain, maka ditunaikan zakatnya melalui lembaga resmi daulah. Sedangkan untuk harta bathin yang tertutup tak diketahui, zakatnya boleh disalurkan langsung ke asnaf yang berhak, dengan catatan yang mendapatkan benar-benar berhak.
Pembahasan Doktor Jalal dalam diskusi dua hari lalu, bahwa hari ini hampir semua harta terlihat. Apalagi jika hartanya diletakkan di perbankan yang terbaca oleh pihak lain, walaupun terbatas oleh pihak lembaga keuangan.
Maka spirit menyalurkan kepada lembaga lebih utama dan lebih afdhol dalam perspektif pelaksanaan sejak zaman Nabi, walaupun hari ini, pelembagaan amil zakat tidak dipusatkan atau dilegitimasi pada satu lembaga zakat saja, di negeri ini, pemerintah membuka ruang bagi NGO Sosial dakwah untuk bergerak sebagai Amil Zakat. Kebijakan positif, memberikan ruang pilihan kepada ummat untuk merealisasikan zakatnya.
Kedua, semangat realisasi zakat adalah untuk melepaskan asnaf dari kemiskinan. Maka di Zaman Umar bin Khattab, salurkan zakat kepada Asnaf maksimal, hingga faqir miskin bisa lepas dari kemiskinannya.
Spirit ini, selain saya dapatkan dari Doktor Jalal dalam diskusi langsung, juga saya dapatkan dalam kajian Youtube Doktor Erwandi dalam topik realisasi zakat. Zakat itu digunakan untuk mencukupi kebutuhan daruriyah ummat muslim, seperti makan, tempat berlindung hunian, pakaian, kesehatan dan pendidikan. Maka jika seorang asnaf hanya punya penghasilan dua juta per bulan, sementara kebutuhan dasar hidupnya dan keluarganya mencapai tujuh juta sebulan, maka dana zakat beroperasi lima juta rupiah per bulan, selama setahun kedepan. Atau budget setahun kedepannya disiapkan.
Inilah mengapa maslahat menyalurkan lewat lembaga menjadi urgent, karena dana zakat yang disalurkan lembaga akan menjadi bendungan kekuatan aliran yang besar.
Jika disalurkan sendiri-sendiri seperti aliran sungai yang gemiricik kecil-kecil, daya impactnya kecil. Sementara jika disalurkan ke lembaga, daya impactnya jadi besar. Karena lembaga menghimpun besar, dan menyalurkannya dalam bentuk yang proper kepada asnaf.
Maka, praktek menyalurkan zakat yang hanya sekedar memberi untuk kebutuhan jangka pendek, dan di bulan setelahnya susah lagi, sebenarnya keluar dari semangat zakat.
Zakat menopang basis kehidupan asnaf selama setidaknya setahun, agar kemudian dalam waktu setahun ini, asnaf zakat dapat berfikir dengan tenang dan berdaya, sehingga terjadi kenaikan taraf hidup. Terutama di bidang pendidikan, jika kebutuhan pendidikan seorang anak dari keluarga faqir miskin ini dipenuhi setahun, maka bayangkan dampak besarnya pada peningkatan kualitas generasi muslimin. Nah, biaya pendidikan itu kan gak bisa seratus ribu untuk setahun, dana zakat yang direcah seratus ribuan dan dibagi sporadik ke asnaf ini rawan low impact ke kaum muslimin.
Ketiga, ada pada maslahat dakwah itu sendiri. Personal muzakki yang memberikan dana zakat langsung ini sangat personal, engineering dakwah yang harusnya terjadi, bisa jadi gak sempurna terjadi. Berbeda jika dana zakat disalurkan lewat lembaga sosial dakwah. Maka sebuah lembaga sosial dakwah bisa menggunakan dana zakat ini sebagai wasilah kebaikan.
Realisasi dana zakat dalam bentuk kunjungan dakwah fardhiyah. Dana zakat bulanan disalurkan setiap majelis taklim rutin bulanan di lembaga. Bantuan dana zakat disalurkan dari lembaga dakwah kepada objek dakwah binaan di darrah tertentu. Maka impactnya akan besar.
Penyaluran lewat lembaga dakwah berijin pengelolaan zakat, akan meningkatkan penghormatan pada dakwah itu sendiri, izzah dakwah akan naik ditengah ummat. Para Da’i yang menyalurkan dakwah akan lebih didengar dan diikuti arahannya, ini sangat berbeda jika personal pribadi yang menyalurkan.
Keempat, urutan asnaf dalam surah At Taubah ayat enam puluh bukan tanpa maksud. Yang menarik adalah, setelah Allah menyebut faqir dan miskin, Allah menyebut “AMIL” sebagai asnaf ketiga. Wal ‘amilina ‘alaiha.
Sekali lagi saya tekankan, saya bukan asnaf amil, banyak yang menyangka bahwa ketika saya mengedukasi zakat, karena saya bertugas sebagai amil dan menarik zakat, gak sama sekali.
Saya mengedukasi zakat karena Allah titipkan ilmu finansial, yang memudahkan pengusaha muslim dalam membaca neraca assetnya, sehingga mudah menunaikan zakat tanpa hitungan ribet.
Maka ijinkan saya membela amil dalam pondasi kepentingan pondasi ilmu, bahwa ketika zakat tidak disalurkan lewat lembaga, maka asnaf amil jelas tidak diberikan hak nya.
Amil yang saya definisikan disini adalah mereka yang dedikasi mengabdikan dirinya pada lembaga zakat. Mendedikasikan seluruh waktu profesional nya untuk bekerja dalam lembaga zakat, entah penarikan, pencatatan, merealisasi, hingga memanage mengonsep dan seterusnya.
Jika semangat menyalurkan zakat secara langsung akibat dari keengganan memberikan hak sebagian zakat pada asnaf amil, berarti kaum muslimin ini sedang terlepas dari syariat yang sangat substantitf.
Tenaga kerja itu bergerak ke insentif. Jika SDM Amil terus mengalami tekanan upah rendah, maka profesionalisme pengelolaan zakat akan sulit dicapai. Akhirnya dakwah jadi gak perform, kepengurusan faqir miskin jadi gak ajeg.
Dalam sepekan lebih saya turun mengedukasi zakat di lapangan, saya juga banyak bertemu amil zakat, dan curhatannya luar biasa ;
“Ane baru ngerti kang, bedanya laporan laba rugi dan neraca”
“Ane baru faham kang, ternyata yang kena zakat adanya di neraca, neracanya aja ane baru ngerti sekarang.”
Kenapa kawan-kawan amil ini gak ngerti? Karena gak ada budget untuk melatih mereka dengan baik. Kenapa gak ada budget? Karena ummat anti serahkan zakatnya ke lembaga. Isu di tubuh ummat ini, potongan amil itu kayak momok, akhirnya nyalurin sendiri. Menyalurkan sendiri itu kayak satu lidi, ya lemah gitu aja. Beda kalo seratus lidi diikat, daya gebuknya terasa. Filosofinya kesana.
Mengapa Amil Allah sebut asnaf ketiga, karena merekalah memang yang harus diperhatikan setelah faqir dan miskin. Inilah makna mengapa fiisabilillah dalam definisi tentara mujahid di zaman nabi dan sahabat, menempati asnaf ketujuh, karena fiisabilillah memiliki hak pada ghanimah. Ada source income di titik lain, berbeda dengan amil yang full dedicated ngurus zakat, ngurus asnaf, ngurus program, ngurus muzakki.
Muzakki itu kayak customer dalam bisnis, kalo gak diengage, gak di maintain, ya loss juga. Lha gimana mau dimaintain, kalo amil yang maintain aja gak capable, kenapa gak capable? Karena upah amil rendah, SDM canggih lari ke industri komersil, Amil diisi oleh SDM yang bersedia diupah rendah, karena gak punya pilihan kerja di tempat lain.
Kelima, mengapa kemudian alangkah baiknya direalisasikan via lembaga zakat, karena secara naluriah kita hanya menyalurkan ke tempat yang terdekat, yang kita tahu, yang kita kenal. Sementara di negeri ini, kumpulan uang bertumpu di area tertentu, di lokasi tertentu. Jika peyalurannya dominan melalui pribadi, maka akan ada segmen pada asnaf yang gak kena penyaluran, dan ini rawan.
Jadi alasan kelima saya lebih pada distribusi geografis. Lembaga Zakat yang punya coverage area dakwah lebih luas, insyaAllah lebih merata sentuhan dakwahnya.
Begitu ya, lima alasan cukup ya.
Perjalanan edukasi zakat yang saya jalani di sponsori dan diperjalankan oleh SIDAQ, gerakan Masjid Ismuhu Yahya Pontianak. Sudah jadi UPZ.
Walau saya diperjalankan UPZ, semangat Founder SIDAQ, Kiyai Een ketika memperjalankan adalah ;
“Ini zakat perintah Quran, shalat dan zakat, kalo banyak yang belum ngerti, ya narasikan. Jadi kita ikut perintah Quran aja.”
Di perjalanan di Pati, saya mengedukasi pengusaha Muhammadiyah, untuk berzakat ke LazisMu. Di Kota Malang beberapa Amil dari Forum Organisasi Zakat hampir semuanya ikut, penuh member FOZ. Di sosial media, beberapa tulisan serial zakat ini dishare oleh aktivis zakat di seluruh negeri, alhamdulillah. Bahagia saya, karena tujuannya memang edukasi.
Sudah saatnya kita gak berdiri diatss kepentingan lembaga masing-masing. Berzakat ini adalah perintah Quran. Memaksimalkan aliran dana zakat ini berarti mengalirkan dana zakat ke asnaf yang berhak. Dan diantaranya banyak sekali saudara-saudara muslimin yang membutuhkan.
Saya bisa saja menarasikan dengan eksplisit, berzakat saja ke SIDAQ, asnafnya terpilih, yang memperjuangkan Al Quran, yang dekat dengan Al Quran, yang mau nurut sama dakwah Islam. Tapi semangat saya roadshow dan menarasikan zakat gak kesitu. Silakan aja kalo mau berzakat ke Sidaq, saya terima kasih, sebagai edukator yang disupport diperjalankan.
Tapi ada yang lebih utama dari itu semua, yaitu MARI serukan ke seluruh kaum muslimin, untuk berzakat dengan benar. Ramadhan ini banyak yang menghaulkan zakat maal nya.
Sangat banyak pengusaha muslim yang hanya berzakat dari profit, dari net laba bersih, akhirnya neraca modal kerja harta lancar yang berputar gak kena zakat. Disitu kritisnya. Lebih kritis lagi penyalurannya suka-suka, gak ngikutin kaidah ilmu zakat yang seharusnya. Ini yang menyedihkan.
Begitu ya. Maaf saya narasinya membela lembaga zakat. Memang harus saya sampaikan. Karena ini terkait keilmuwan zakat itu sendiri, maqoshid syariah, tujuan mengapa syariah zakat ini ada.
Kawan-kawan yang menyalurkan sendiri ke asnaf gak bisa kami salahkan. Memaksa wajib menyalurkan zakat lewat lembaga juga kami gak berhak ngomong demikian.
Jadi persuasif saja pendekatannya, afdholnya lewat lembaga. Alasan mengapa harus lewat lewat lembaga, paparannya sudah saya tulis semuanya. Silakan dibaca berulang.
(Ustadz Rendy Saputra)