{"id":11449,"date":"2019-10-31T04:56:01","date_gmt":"2019-10-30T21:56:01","guid":{"rendered":"https:\/\/teraju.id\/?p=11449"},"modified":"2019-10-31T04:56:13","modified_gmt":"2019-10-30T21:56:13","slug":"forum-grup-ngopi-berbuah-kekayaan-informasi","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/teraju.id\/berita\/forum-grup-ngopi-berbuah-kekayaan-informasi-11449\/","title":{"rendered":"Forum Grup Ngopi, Berbuah Kekayaan Informasi"},"content":{"rendered":"\n
Oleh: Mia Islamidewi<\/p>\n\n\n\n
Panas terik Kota Khatulistiwa tidak berarti minuman dingin yang paling laku disini. Derajat suhu yang meninggi turut mengiring asap rokok batangan atau rokok elektrik mengebul di ruangan dengan meja-meja yang dipenuhi pelanggan. Riuh rusuh mengadu tawa dan raut tegang sedang mendengarkan. Tidak lupa, kakak pelayan mondar-mandir dengan menenteng cangkir kosong atau terisi. Penuh, tampak beberapa orang berdiri menjelajah pandangan mencari bangku kosong, beberapa kali, sampai orang-orang itu berganti.<\/p>\n\n\n\n
Seragam kantor yang ditutupi jaket, almamater kampus yang dilepas dan meninggalkan kemeja putih di badan, si pemakai kaos oblong dengan kaki yang diangkat, atau mereka yang sibuk dengan gawai yang masing-masing diputar 90\u00b0. Sebagian besar menghadap kopi, sebagian lagi membagi atau kebagian mendengar yang dibagi.<\/p>\n\n\n\n
Menjelang usia yang 248 usia kota ini, Pontianak punya kedai kopi di hampir setiap sisi. Istilah warung kopi atau warkop lebih familiar ketimbang kedai kopi atau coffee shop. Aming, Winny, Asiang atau Suka Hati, empat nama yang jika ditanya ke masyarakat sekitar akan langsung mengangguk atau setidaknya tahu akan kopi dan kadang pisang gorengnya. Kopi, minuman yang telah hadir dengan olahan yang beragam telah menjadi pemersatu segala persepsi.<\/p>\n\n\n\n
Apa yang menyenangkan dari tempat pengap karena asap dan panas karena minim kipas demi secangkir kopi? Bukannya bisa dibungkus lalu minum di rumah, di bawah ac atau kipas angin dan suasana nyaman sembari selonjoran?
Pernah mendapat ajakan ngopi pada saat emosi? Kenapa harus diajak ngopi? Kenapa tidak aktivitas menyenangkan yang lain seperti berbelanja atau memancing? Jawabannya sederhana; minum kopi adalah aktivitas sederhana, sela-selanya yang luar biasa. Cerita yang hadir setelah seuruputan kopi pertama menjadi yang cukup mendebarkan, sepertinya. Klarifikasi, jika si peminum kopi ini sedang berada dalam konflik atau hanya sekedar bualan buat yang lain tertawa.<\/p>\n\n\n\n
Ngopi, dapat dikatakan sebuah budaya. Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang dan diwariskan dari generasi ke generasi merupakan sebuah budaya, bukan? Saat ini, yang melakukan aktivitas ngopi bukan hanya orang tua. Warung kopi juga tampak ramai oleh remaja akhir atau bahkan anak-anak usia sekolah. Kopi, entah itu saset, diracik oleh barista, atau di saring oleh Koh Asiang di depan warung kopinya, masing-masing memiliki rasa tersendiri. Tetapi sekali lagi, cerita-cerita dalam aktivitas ngopi inilah yang luar biasa.<\/p>\n\n\n\n
Sebagai budaya, ngopi bisa berada dalam posisi positif. Memajukan perekonomian, industri kopi, mempertemukan orang-orang yang lama tidak jumpa bahkan bisa saja mendamaikan perseteruan. Tetapi perlu diingat, beberapa hal bisa berimbang mengenai dampak, dalam artian bisa memiliki dampak positif dan negatif, begitu pula budaya ngopi yang memiliki nilai negatif jika dijadikan wadah untuk menyebarkan hoaks, misalnya.<\/p>\n\n\n\n
Ngopi juga sangat akrab dengan aktivitas sehari-hari, dengan bukti; warung kopi yang jarang sepi. Terlebih aktivitas ini biasa dilakukan pagi-pagi oleh siapa saja tanpa pandang latar belakang. Tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat saat ini. Sudah memenuhi definisi kearifan lokal, bukan?<\/p>\n\n\n\n
Tidak hanya warung kopi pinggir jalan, coffee shop dengan cabang dimana-mana, rumah atau bahkan pos ronda juga menyuguhkan kopi sebagai teman tambahan. Apa yang terjadi setelah menyeruput kopi itu juga sama, menghasilkan pembahasan yang bisa kemana-mana, tergantung yang membuka percakapan. Pada saat pemilu belum berlangsung, topiknya tak jauh-jauh dari presiden, partai dan berita-berita di media. Apakah yang dibahas seluruhnya kebenaran? Belum tentu.<\/p>\n\n\n\n
Dalam suasana ngopi, cerita dan topik apa saja bisa diangkat, dibahas bahkan dibakar. Berbahaya jika diteruskan, disampaikan lagi kepada yang lain, ditambah-tambahi dan membentuk rantai informasi bohong. Pada zaman teknologi canggih seperti ini, penyebaran informasi yang paling laris sepertinya bukan dari gawai, tetapi saat suasana duduk bersama dan ada kopi serta kudapan sebagai pelengkap. Dapat ditarik garis kesimpulan bahwasanya ngopi dapat menjadi media penyebaran informasi, baik informasi yang benar maupun hoaks.<\/p>\n\n\n\n
Terlebih jika segerombolan pria dewasa yang sudah berumur, biasanya mereka mengangkat lagi apa yang didapat pada ruang obrolan grup Whatsapp. Aktivitas ini jelas berbahaya! Berbahaya jika mereka atau siapa saja bahkan pemuda sekalipun yang tidak dapat menengahi atau memberi tahu jika ada informasi yang keliru dari pesan-pesan tersebut. Belum lagi jika dalam forum grup ngopi tersebut pecah dalam dua kubu pilihan. Potensi konflik jika tidak bisa bersikap dewasa dapat lahir dengan mudah. Padahal aktivitas awalnya hanya sesederhana duduk, pesan kopi, meminta password wifi (jika ada), menghidupkan rokok (jika merokok), dan ngobrol.<\/p>\n\n\n\n
Duduk di warung kopi yang ramai dalam beberapa jam ternyata dapat menangkap beberapa informasi, baik dari meja yang sama atau berdekatan. Seperti warung-warung kopi di Pontianak dengan meja yang tidak memiliki jarak jauh, maka dapat dengan mudah mendengar sedikit demi sedikit informasi dari meja sebelah. Menjadi pendengar diam-diam memang terkesan tidak sopan, tapi keadaanlah yang membuat pengunjung mau tidak mau turut mendapatkaan pengalaman seperti itu. Antara ngopi dan penyebaran informasi, keduanya bertaut akrab. <\/p>\n\n\n\n
Reza, seorang mahasiswa berstatus semester akhir yang hampir tiap paginya dihabiskan untuk memenuhi meja di salah satu warung kopi ternama di kota khatulistiwa ini. Menyandang status sebagai mahasiswa tak berarti membatasi pergaulannya hanya di ruang lingkup kampus saja. Beberapa kali ia berkesempatan ngopi dalam rangka menemani orang penting yang biasanya dari luar kota, akunya itu merupakan rekan kerja orang tuanya.<\/p>\n\n\n\n
Tetapi sebagian besar kesempatannya ke warung kopi hanya untuk bersenang-senang dengan teman sepantaran, sesekali juga membahas tentang kegiatan. Yang menarik, mahasiswa fakultas dengan julukan kampus biru muda ini bahkan sudah akrab dengan kakak-kakak pelayan disana, saking seringnya. Ditambah lagi Ia mengakui bahwasanya warung kopi menjadi tempat menarik untuk membuat atau mendengarkan diskusi mengenai isu-isu masa kini. Jadi, dalam aktivitas ngopi dibenarkan tentang adanya penyebaran informasi-informasi di dalamnya.<\/p>\n\n\n\n
Sebagai aktivitas yang sangat lekat pada masyarakat baik menengah ke atas maupun ke bawah, ngopi tak pelaknya dapat dikukuhkan dalam pengakuan budaya yang harus dilestarikan. Jika terarah dan mengangkat isu-isu penting, ngopi memiliki peranan penting dalam membendung hoaks dan disrupsi informasi, dengan catatan dapat juga kejadian yang berbalik. Maka dari itu, perlu adanya penengah yang dimaksud adalah masyarakat yang kritis dalam penerimaan informasi juga wadah-wadah berbentuk apapun yang se-menyenang-kan ngopi ini. Forum grup ngopi yang berisi diskusi, dalam topiknya bisa berbuah isu-isu yang sedang digali dapat menjadi ladang atau saluran komunikasi efektif dan bisa juga negatif. Segalanya kembali ke penyeruput kopi-kopi tersebut, seperti apa ingin menanggapi, sebanyak apa ingin menggali informasi. (Mia Islamidewi)<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"
Oleh: Mia Islamidewi Panas terik Kota Khatulistiwa tidak berarti minuman dingin yang paling laku disini. Derajat suhu yang meninggi turut mengiring asap rokok batangan atau rokok elektrik mengebul di ruangan dengan meja-meja yang dipenuhi pelanggan. Riuh rusuh mengadu tawa dan raut tegang sedang mendengarkan. Tidak lupa, kakak pelayan mondar-mandir dengan menenteng cangkir kosong atau terisi. […]<\/p>\n","protected":false},"author":21,"featured_media":11453,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[2,14],"tags":[1971,4518,4519],"adace-sponsor":[],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/11449"}],"collection":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/users\/21"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=11449"}],"version-history":[{"count":0,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/11449\/revisions"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/media\/11453"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=11449"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=11449"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=11449"},{"taxonomy":"adace-sponsor","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/adace-sponsor?post=11449"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}