{"id":14999,"date":"2020-08-22T13:52:02","date_gmt":"2020-08-22T06:52:02","guid":{"rendered":"http:\/\/teraju.id\/?p=14999"},"modified":"2020-08-22T13:52:35","modified_gmt":"2020-08-22T06:52:35","slug":"anak-membeli-tuhan","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/teraju.id\/kultur\/anak-membeli-tuhan-14999\/","title":{"rendered":"Anak yang Membeli Tuhan"},"content":{"rendered":"\n
Oleh: Leo Sutrisno<\/p>\n\n\n\n
Suatu hari ada seorang anak, berusia enam tahun, yang berjalan sepanjang trotoar di sebuah pusat perbelanjaan. Ia ke luar masuk toko dan kios.<\/p>\n\n\n\n
Di setiap kios yang dimasuki, kepada pramuniaga ia bertanya dengan sopan: \u201cApakah di sini menjual Tuhan? Saya akan membeli satu saja\u201d<\/p>\n\n\n\n
Para pramuniaga menganggap itu pertanyaan olok-olok saja. Maka, jawabannya pun berupa gurauan, bahkan ada yang mengolok-olok. Walau pun sepanjang hari menerima jawaban semacam ini, ia tetap tidak putus harapan. Ia berjalan terus hingga menjelang magrib.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat suara azdan mengalun, ia memasuki sebuah toko kecil yang terletak di ujung jalan. Kepada seorang penjaga, seorang kakek berusia enam-puluhan tahun, ia bertanya:<\/p>\n\n\n\n
\u201cKek, apakah di toko ini menjual Tuhan?!\u201d
Si kakek mendekat, sambil berjongkok di depan anak itu, ia bertanya: \u201cKenapa engkau bertanya seperti itu, Cu?\u201d
Wajah anak ini langsung berbinar-binar dan menjawab: \u201cKalau menjual Tuhan, saya akan membeli satu, Kek?\u201d.<\/p>\n\n\n\n
Sembari menepuk pundak si anak, kakek bertanya lanjut: \u201cKenapa engkau ingin membeli Tuhan? Untuk apa?\u201d
Wajah anak ini semakin berbinar dan dengan lantang ia menceritakan siapa dirinya.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKek, sejak masih bayi kedua orang tuaku telah tiada. Katanya, kecelakaan. Hanya saya yang selamat. Saya, sekarang ikut paman. Ia kerja bangunan. Tetapi, kini ia di rumah sakit karena jatuh dari lantai dua yang sedang dibangunnya\u201d Ia berhenti sejenak. Katanya lanjut.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKata dokter berkata bahwa hanya Tuhan sebagai obatnya. Karena itulah, saya ingin membeli Tuhan. Satu, saja!\u201d
\u201cBoleh?!\u201d
\u201cBoleh, boleh Cu. Ayo masuk. Duduklah di kursi itu dulu. Saya ambilkan!\u201d
\u201cSambil menunggu. Kau minum ini dan makanlah kue bekal Kakek ini, ya\u201d<\/p>\n\n\n\n
Sambung si kakek. \u201cBerapa uangmu?\u201d
\u201cSatu keping ini, Kek\u201d
\u201cBaik. Kau anak yang pintar. Pas harga satu Tuhan! Mana uangnya?\u201d<\/p>\n\n\n\n
Anak ini menyerahkan sekeping uang, yang digenggamnya dari pagi tadi, kepada si kakek.<\/p>\n\n\n\n
\u201cBaik, sebentar, ya! Saya ambilkan\u201d<\/p>\n\n\n\n
Selang beberapa menit kemudian, si kakek muncul kembali sambil menenteng sebotol madu hutan asli.<\/p>\n\n\n\n
Katanya: \u201cIni yang kau cari. Bawalah ke pamanmu. Minumkan sesendok makan setiap sebelum makan, selama di rumah sakit. Bawalah juga minuman ini dan kue itu untuk kau makan nanti malam\u201d<\/p>\n\n\n\n
Begitu sampai di luar toko, anak ini meloncat-loncat kegirangan sambil berlari kembali ke rumah sakit. Di kamar ia berteriak. \u201cPaman, paman, aku telah membelikan Tuhan untukmu\u201d.<\/p>\n\n\n\n
Di samping pamannya ia tertidur lelap hingga pagi berikutnya. Seorang perawat membangunkan. Ia diajak mengikuti pamannya dipindah ke rumah sakit yang memiliki peralatan lebih lengkap.<\/p>\n\n\n\n
Ketika pamannya sudah sembuh dan diijinkan ke luar dari rumah sakit anak itu bercerita bahwa hari itu ia membeli Tuhan di sebuah toko milik seorang kakek..<\/p>\n\n\n\n
Sambil berjalan di lorong, dokter yang merawatnya menunjukkan uang tagihan perawatannya. Si paman terkejut. Biaya itu tidak mungkin dapat ia penuhi sekalipun harus bekerja keras bertahun-tahun. Ia tertunduk kelu.<\/p>\n\n\n\n
\u201cOh, jangan dipikirkan, Pak!. Sudah dibayar lunas. Ada seorang dermawan yang membayar semua biaya ini. hati-hati ya. Selamat jalan\u201d kata si dokter sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.<\/p>\n\n\n\n
Di jalan pulang ia mengajak keponakannya singgah dulu di toko yang menjual Tuhan itu. Ia ditemui oleh seorang pramuniaga.<\/p>\n\n\n\n
\u201cMaaf, Pak. Bos sedang berlibur ke luar negeri. Mungkin agak lama di sana. Tetapi, sebelum berangkat ia menitipkan surat ini untuk Bapak\u201d<\/p>\n\n\n\n
Dengan tidak sabar, segera amplop di sobek dan dibukan suratnya.<\/p>\n\n\n\n
\u201cMaaf, anak muda. Selamat atas kesembuhanmu, ya. Jangan berterima kasih kepada saya. Tetapi, berterima kasihlah kepada keponakkanmu itu. Ia berjalan seharian dari toko ke toko ingin membeli Tuhan dengan sekeping uang yang digengggamnya erat-erat. Rawatlah anak itu. Hatinya sungguh baik. Semoga kelak dapat membantu orang lain. Sekali lagi selamat. Tetap jaga kesehatan\u201d.<\/p>\n\n\n\n
Serta merta ia memeluk si keponakan dan menggedongnya berjalan pulang ke rumah. Karena bahagia, si anak sangat lelap tertidur di punggungnya.<\/p>\n\n\n\n
Salam dari Pakem Tegal, Yogya
Tetap jaga kesehatan. 22-8-2020.
Tulisan ini digubah kembali dari kisah-kisah yang menyentuh (tanpa nama Tanpa tahun) dari laman Youtube sembari mendengarkan ini: \u201cFeeling God’s Presence | 852 Hz Crystal Clear Mind, Binaural Beats | Music To Talk To The Universe\u201d<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"
Oleh: Leo Sutrisno Suatu hari ada seorang anak, berusia enam tahun, yang berjalan sepanjang trotoar di sebuah pusat perbelanjaan. Ia ke luar masuk toko dan kios. Di setiap kios yang dimasuki, kepada pramuniaga ia bertanya dengan sopan: \u201cApakah di sini menjual Tuhan? Saya akan membeli satu saja\u201d Para pramuniaga menganggap itu pertanyaan olok-olok saja. Maka, […]<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":12362,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[101],"tags":[6052],"adace-sponsor":[],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/14999"}],"collection":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/users\/1"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=14999"}],"version-history":[{"count":0,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/14999\/revisions"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/media\/12362"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=14999"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=14999"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=14999"},{"taxonomy":"adace-sponsor","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/adace-sponsor?post=14999"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}