{"id":16275,"date":"2020-10-29T10:15:50","date_gmt":"2020-10-29T03:15:50","guid":{"rendered":"http:\/\/teraju.id\/?p=16275"},"modified":"2020-10-29T10:16:36","modified_gmt":"2020-10-29T03:16:36","slug":"napak-tilas-berdiri-kesultanan-kadriah-pontianak","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/teraju.id\/kultur\/napak-tilas-berdiri-kesultanan-kadriah-pontianak-16275\/","title":{"rendered":"Napak Tilas Awal Berdirinya Kesultanan Kadriah Pontianak"},"content":{"rendered":"\n

<\/p>\n\n\n\n

Oleh:Turiman Fachturahman Nur<\/p>\n\n\n\n

Memaparkan sejarah berdirinya kesultanan Pontianak, dimulai dari peristiwa tatkala Syarif Abdurrahman Alkadrie menjejakkan kakinya di tepian pertemuan Sungai Kapuas kecil dan sungai landak pada pagi hari Rabu tanggal 23 Oktober 1771. Menurut Hijriyah, ia dilahirkan di Mantan pada 15 Rabiulawal 1151 H pada hari Senin pukul 10.00 pagi atau bersamaan dengan tahun 1739 Masehi. Jadi ketika mendirikan Kesultanan Pontianak, Ia baru berusia 32 tahun.<\/p>\n\n\n\n

Misi Syarif Abdul Rahman dalam membuka wilayah baru tidak dapat dilepaskan dari latar sejarahnya sebagai keturunan dari Habib Husein Alqadri, seorang ulama dari Hadralmaut, upayanya tersebut dipercaya masyarakat setempat didorong oleh cita-cita ayahnya untuk mengembangkan permukiman baru yang dapat dijadikan tempat mengajarkan Islam sekaligus berdagang.<\/p>\n\n\n\n

Untuk menjalankan misinya itu, Syarif Abdul Rahman mewarisi bakat ayahnya sebagai petualang imigran (imigrant adventurers) untuk menjadi penguasa di daerah baru (stranger kings). Menurut Jeyamalar Kathirithamby-Wells, bakat berupa kecerdasan politik serta karisma politik dan spiritual yang digabungkan dengan praktik perkawinan politik adalah modal utama bagi Syarif Abdul Rahman. Modal ini mulanya digunakan untuk menjalin relasi dagang sekaligus hubungan politik dengan para penguasa di kerajaan-kerajaan maritim seperti Palembang, Riau, Banjarmasin, dan Passir. Menelusur galur Syarif Abdurrahman Al Kadrie adalah Putra asli Kalimantan Barat. <\/p>\n\n\n\n

Ayahnya Sayid Habib Husein Al Kadrie, seorang keturunan Arab yang telah menjadi warga kerajaan Mantan. Ibunya juga adalah seorang putri dari kerajaan Matan, yang menurut penulis Belanda JJK Enthoven, adalah seorang putri Dayak yang telah menganut agama Islam. 17 Tahun Lamanya Habib Husein menjadi ulama Islam di kerajaan Matan. Sayyid Husein Al Qadri kemudian pindah ke Mempawah, menjadi penyiar agama dan tuan besar Mempawah setelah Raja Mempawah Opu Daeng Menambon meninggal. Syarif Abdurrahman bergelar pangeran kerana Ia adalah putra tuan besar Mempawah dan ia pun menjadi menantu Raja Opu Daeng Menambon, ketika ia dikawinkan dengan Putri Candra Midi. Begitupun ketika ia kawin lagi dengan Putri Raja Banjar yang bernama Ratu Syahranom, ia diberi gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam.<\/p>\n\n\n\n

Berdasarkan nasab riwayat keturunan yang tersirat bahwa Syarif Abdurrahman adalah Putra asli Kalimantan Barat, putra dari seorang ulama Islam Habib Husein Al Kadrie Ibunya seorang putri kerajaan Matan Nyai Tua, istrinya Syarif Abdurrahman seorang putri kerajaan Mempawah. Ia seorang yang mendapat pelajaran dan pendidikan agama Islam dari ayahnya. Ia juga seorang pedagang yang di waktu mudanya telah mengelilingi daerah Tambelan, Siantan, Siak dan Riau, Palembang, Banjar dan pasir di Kalimantan Timur. Ia telah berhubungan dagang dengan pedagang Indonesia, Arab, India, Inggris, Belanda, Perancis dan Cina. Dari pengalamannya ini Ia berhasil membangun Armada dagang yang diperkuat dengan Belanda.<\/p>\n\n\n\n

\n