{"id":17090,"date":"2021-01-10T16:18:15","date_gmt":"2021-01-10T09:18:15","guid":{"rendered":"http:\/\/teraju.id\/?p=17090"},"modified":"2021-01-10T23:26:53","modified_gmt":"2021-01-10T16:26:53","slug":"asam-pedas-dan-trend-glokal","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/teraju.id\/opini\/asam-pedas-dan-trend-glokal-17090\/","title":{"rendered":"Asam Pedas dan Trend Glokal"},"content":{"rendered":"\n
Oleh: Eka Hendry Ar.<\/p>\n\n\n\n
Asam pedas merupakan salah satu makanan khas Kalimantan Barat, jenis ikan yang dimasak dengan ingredien pedas dan asam. Ikan asam pedas, atau asam pedas saja, demikian lazim masyarakat menyebutnya. Sensasi pedasnya dari cabai merah yang dihaluskan dan untuk sensasi asamnya menggunakan nanas atau terung asam (bentuknya bulat). Bahan pokoknya ikan, bisa ikan laut, lebih afdhal lagi ikan sungai, seperti ikan lais, ikan baong atau sirip ikan belidak. Dihidangkan dengan nasi, sambal terasi dan lalapan pucuk daun singkong. Maknyuss, pasti nambah berkali-kali, “mertua lewat tak tahu”.<\/p>\n\n\n\n
Tulisan ini bukan sedang membincangkan resep masakan. Namun ingin mengatakan bahwa, suatu wilayah harus dapat menawarkan pesona daerahnya. Baik alam, fasilitas kota, budaya dan kekhasan aneka kulinernya. Semakin kuat kekhasan atau keberbedaannya, maka akan semakin tinggi nilai tambahnya. Terlebih hidup di era posmo seperti sekarang ini, aspek perbedaan dan kembali ke ke-lokal-an menjadi yang utama.<\/p>\n\n\n\n
Glocal atau glokal, globalisasi lokalitas, yaitu trend mengglobal hal-hal yang berbau lokal. Uniformitas atau penyeragaman yang dikehendaki oleh modernisme, sekarang kehilangan relevansinya. Masyarakat posmo lebih menyenangi kekhasan yang lahir dari heterogenitas budaya, termasuk kembali kepada yang berbau lama (old style). Maka sekarang berkembang budaya vintage, retro dan antik, baik dalam dunia furniture, pakaian dan design interior.<\/p>\n\n\n\n
Ketiga istilah ini biasanya dibedakan berdasarkan usia, antik biasa untuk benda yang berusia di atas 100 tahun. Vintage biasanya gaya (style) yang berumur 100 tahun. Sedangkan retro biasanya merujuk ke gaya yang berkembang antara tahun 50 hingga 70-an. Kategori ini biasa dipakai oleh para penggiat vintage, barang-barang antik dan emak-emak millenial yang senang mengutak-atik design interior rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kembali ke fokus tulisan ini, bahwa era posmo atau postmodern (pasca modern) merupakan era tumbuh berkembang heterogenitas nilai dan tradisi. Perkembangan budaya yang tidak selalu linear, akan tetapi juga membentuk spiral kebudayaan. Memungkinkan kembali terjadi pengulangan sesuatu yang lama kembali menjadi aktual. Seperti terlihat pada trend vintage dan retro.<\/p>\n\n\n\n
Artinya, kecenderungan kita meniru style populer, dengan mengabaikan kekhasan kita sendiri adalah bentuk kegamangan budaya (atau disorientasi budaya). Seperti pameo yang diceritakan Mohammed Shahrour (Pemikir dan penulis berkebangsaan Suriah) tentang burung gagak yang iri dengan keindahan burung Bulbul. Kita tahu gagak warnanya hitam, sedangkan Bulbul bulunya indah berwarna warni dan berjambul. Karena didorong hasrat iri dan dengki, dicatlah bulu-bulunya dengan beraneka warna. Namun apa lacur, warnanya jadi tidak karuan. Akhirnya jadi burung yang bukan-bukan, dibilang Bulbul bukan, mau di bilang gagak juga bukan. Jadilah burung yang “bukan-bukan”, tercerabut dari identitas yang ada.<\/p>\n\n\n\n
Agar kita tidak menjadi manusia “bukan-bukan”, perlu kita menegaskan kembali identitas kebudayaan kita, yaitu menjadi warga Glocal. Menjadi bagian dari warga masyarakat dunia global (globalisasi), namun dengan tetap mempertahankan kekhasan lokal kita. Baik dari segi agama, falsafah hidup, nilai-nilai budaya dan gaya hidup.<\/p>\n\n\n\n