{"id":3363,"date":"2017-02-22T09:16:09","date_gmt":"2017-02-22T02:16:09","guid":{"rendered":"http:\/\/teraju.id\/?p=3363"},"modified":"2017-02-22T23:11:03","modified_gmt":"2017-02-22T16:11:03","slug":"dari-bommm-sampai-bedabol","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/teraju.id\/berita\/dari-bommm-sampai-bedabol-3363\/","title":{"rendered":"Dari \u201cBommm\u2026\u201d sampai Bedabol"},"content":{"rendered":"
(Cerita dari Kegiatan Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional)<\/em><\/p>\n \u201cBommm\u2026\u201d<\/p>\n Apa yang terpikirkan ketika membaca kata \u201cBommm\u2026\u201d atau mendengarnya? Bisa jadi yang tergambarkan adalah Bom peledak, atau mungkin kue yang berasal dari Ubi, kue Bom.\u00a0 Namun, ketika kata tersebut didengar oleh sebagian orang Kebahan di Melawi, mereka akan menjawab \u201cBommm\u2026\u201d. Setidaknya, begitulah yang saya perkirakan. Sebab, di acara Gawai Bahasa Ibu yang diselenggarakan Indonesia Melestarikan Bahasa Ibu (ILBI), Ibu Sukarni mengenalkan kata tersebut.<\/p>\n \u201cKalau kami, Kebahan ayo pulang itu, Bommm\u2026 pulang.\u201d<\/p>\n Sebagian dari peserta takjub mendengarnya, sebab seperti kata Nurhasanah, peserta dari Club Menulis IAIN Pontianak, \u201cBiasanya kita mendengar Jom, nah sekarang kita gunakan Bom.\u201d<\/p>\n Dan, setelah kata tersebut mengudara di ruangan Sekretariat Majelis Adat Budaya Melayu waktu menuju senja terdengar bisik-bisik peserta sebagian besar adalah mahasiswa, menggunakan kata \u201cBommm\u2026\u201d.<\/p>\n Cerita Bu Sukarni yang memang orang Kebahan ini menjadikan kegiatan Gawai Bahasa\u00a0 lebih bermakna, sesuai dengan temanya \u201cRevitalisasi dan Vitalitas Bahasa Ibu dalam Budaya Global dan Industri Kreatif\u201d.<\/p>\n Sama halnya dengan cerita Dr. Agus Wartiningsih. Ketika ia mengawali perkuliahan, ia menanyakan asal daerah mahasiswa kemudian berkomunikasi menggunakan bahasa ibu mahasiswa tersebut. Beberapa bahasa yang dapat digunakan Bu Agus di antaranya adalah Bahasa Dayak Jangkang, Sanggau, Madura, Minang, dan Sunda. Bu Agus merasa, menguasai bahasa selain bahasa ibunya-Jawa, sangatlah penting , karenanya ia berusaha untuk menguasai bahasa yang ada di lingkungannya.<\/p>\n Hal tersebut memang menjadi hal yang positif, buktinya bahasa yang beliau kuasai dijadikan bahan untuk mengajak mahasiswanya untuk melestarikan bahasa ibu masing-masing.<\/p>\n Selain dari cerita Bu Sukarni dan Bu Agus, Robiansyah, mahasiswa lulusan FKIP Bahasa Indonesia mengenalkan dirinya dengan panggilan Ocon. Ocon mengaku bahwa dirinya adalah anak bungsu, dan di dalam keluarganya ia dipanggil Ocon. Ocon adalah panggilan untuk anak bungsu di Ngabang, namun ada pula yang menggunakan Oson, hal ini seperti panggilan bungsu pada bahasa Melayu lainnya yakni Usu, dan Ucu.<\/p>\n Nama panggilannya itu tak hanya dikenal oleh keluarganya, sebab penulis buku Mozaik Puisi Indonesia Garuda Muda ini juga menyematkan panggilan tersebut sebagai nama pada karya-karya, bahkan ia pun dikenal dengan nama tersebut.<\/p>\n Banyak cara melestarikan bahasa ibu. Yaser satu di antara narasumber, penggiat\u00a0teknologi informasi Kalbar, menyatakan bahwa\u00a0 teknologi memudahkan kegiatan pelestarian bahasa ibu lebih cepat dan lebih mudah dan tidak ada batasan. Ia juga mengakui, kegiatan Bedabol dan Betutur pada tanggal 20 Februari, terasa riuh rendahnya di media sosial, khususnya Facebook.<\/p>\n (Farninda Aditya)<\/p>\n <\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":" (Cerita dari Kegiatan Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional) \u201cBommm\u2026\u201d Apa yang terpikirkan ketika membaca kata \u201cBommm\u2026\u201d atau mendengarnya? Bisa jadi yang tergambarkan adalah Bom peledak, atau mungkin kue yang berasal dari Ubi, kue Bom.\u00a0 Namun, ketika kata tersebut didengar oleh sebagian orang Kebahan di Melawi, mereka akan menjawab \u201cBommm\u2026\u201d. Setidaknya, begitulah yang saya perkirakan. Sebab, […]<\/p>\n","protected":false},"author":2,"featured_media":3365,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[2,101],"tags":[1370,1369,1368,107,1371,48],"adace-sponsor":[],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/3363"}],"collection":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/users\/2"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=3363"}],"version-history":[{"count":0,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/3363\/revisions"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/media\/3365"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=3363"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=3363"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=3363"},{"taxonomy":"adace-sponsor","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/adace-sponsor?post=3363"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}