{"id":9538,"date":"2019-02-15T08:18:55","date_gmt":"2019-02-15T01:18:55","guid":{"rendered":"http:\/\/teraju.id\/?p=9538"},"modified":"2019-02-15T08:18:55","modified_gmt":"2019-02-15T01:18:55","slug":"pasinaon-sabar-nrima-iklas-dan-jujur","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/teraju.id\/opini\/pasinaon-sabar-nrima-iklas-dan-jujur-9538\/","title":{"rendered":"Pasinaon: sabar, nrima, iklas dan jujur"},"content":{"rendered":"
Olehy: Leo Sutrisno<\/p>\n
Ciri khas sikap \u2018sepi ing pamrih\u2019 yang dikembangkan orang Jawa merupakan kombinasi antara kematangan hati yang tenang, kebebasan dari kekawatiran tentang diri sendiri dan kerelaan untuk membatasi diri pada peran dalam dunia yang telah ditetapkan. Pada titik ini, yang bersangkutan dianggap telah mencapai kematangan moral (Jawa). Beberapa sikap khas yang menandai kematangan moralnya, seseorang akan bersikap: \u2018sabar\u2019, \u2018nrim\u00e2\u2019, \u2018iklas\u2019 dan \u2018jujur\u2019.<\/p>\n
Orang yang \u2018sabar\u2019 memunyai \u2018nafas panjang\u2019 dalam kesadaran bahwa pada waktunya, nasib yang baik pun akan tiba. Seorang pemimpin yang baik mempunyai sikap \u2018sabar\u2019. Ia akan melangkah dengan hati-hati, seperti jika sedang melangkah di atas sekeping papan yang belum diketahi kekuatannya.<\/p>\n
Sikap kedua yang dianggap menunjukkan kematangan moral seseorang adalah \u2018nrim\u00ea\u2019. \u2018Nrima\u2019 berarti menerima apa yang mendatanginya tanpa protes dan perlawanan. Sikap \u2018nrima\u2019 ini mendapat banyak kritikan karena disalah-fahami sebagai kesediaan untuk menerima segala sesuatu secara apatis. Bukan, nrima tidak berkonotasi negatif seperti apatis itu. Sebaliknya, nrima bernilai positif yaitu sikap seseorang yang dalam sutuasi yang mengecewakan pun ia bereaksi rasional, tidak ambruk dan juga tidak menentang secara percuma.<\/p>\n
Nrima menuntut kekuatan untuk menerima sesuatu yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Sikap nrima memberi daya tahan untuk menanggung nasib yang buruk. Bagi mereka yang memiliki sikap nrima, \u2018mala petaka\u2019 kehilangan \u2018sengsara\u2019nya. \u201cIa tetap bersukacita dalam penderitaan\u201d.<\/p>\n
Seseorang yang telah mencapai kematangan moral juga akan bersikap \u2018iklas\u2019. Seseorang besikap iklas berarti bersedia melepas individualitas sendiri dan mencocokkan dirinya ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana telah ditentukan.<\/p>\n
Sikap lain yang senuansa dengan iklas dalah \u2018ril\u00e2\u2019. Rila adalah kesanggupan untuk melepaskan. Misalnya: melepaskan miliknya, kemampuannya, hasil pekerjaannya, dsb apabila itulah yang menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasib.<\/p>\n
Sikap ke-4 yang menunjukkan seseorang mencapai kematangan moral adalah \u2018jujur\u2019. Orang jujur (t\u00eam\u00ean) dapat mengandalkan janjinya. Orang jujur juga akan bersikap \u2018adil\u2019.<\/p>\n
Orang yang telah mencapai kematangan moral juga akan bersikap \u2018sederhana\u2019 (pras\u00e2j\u00e2). Ia juga \u2018rendah hati\u2019 yaitu bersedia menganggap dirinya lebih rendah dari orang lain (andhap asor). Ia juga akan \u2018t\u00eap\u00e2 selir\u00e2\u2019. Ia selalu sadar akan batas-batasnya dan akan situasi keseluruhan di mana ia berada.<\/p>\n
Mereka yang memiliki sikap: sabar, nrima, iklas, rila, jujur, adil, sederhana, dan rendah hati serta tepa selira dianggap memiliki budi luhur. seseorang yang berbudi luhur akan menyinarkan kehadiran Allah dalam manusia kepada sekitarnya. Ia membawa kedamaian.<\/p>\n
M\u00e2ngg\u00e2 kaonc\u00e8k\u00e2n\u00e2
\n14-2-2019, Pakem tegal, Yogya
\nNuwun<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"
Olehy: Leo Sutrisno Ciri khas sikap \u2018sepi ing pamrih\u2019 yang dikembangkan orang Jawa merupakan kombinasi antara kematangan hati yang tenang, kebebasan dari kekawatiran tentang diri sendiri dan kerelaan untuk membatasi diri pada peran dalam dunia yang telah ditetapkan. Pada titik ini, yang bersangkutan dianggap telah mencapai kematangan moral (Jawa). Beberapa sikap khas yang menandai kematangan […]<\/p>\n","protected":false},"author":2,"featured_media":9535,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[14],"tags":[3812,3813,3811,3809,2060],"adace-sponsor":[],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/9538"}],"collection":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/users\/2"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=9538"}],"version-history":[{"count":0,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/9538\/revisions"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/media\/9535"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=9538"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=9538"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=9538"},{"taxonomy":"adace-sponsor","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/adace-sponsor?post=9538"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}