{"id":9550,"date":"2019-02-17T05:22:04","date_gmt":"2019-02-16T22:22:04","guid":{"rendered":"http:\/\/teraju.id\/?p=9550"},"modified":"2019-02-17T05:22:04","modified_gmt":"2019-02-16T22:22:04","slug":"pasinaon-durung-jawa","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/teraju.id\/opini\/pasinaon-durung-jawa-9550\/","title":{"rendered":"Pasinaon: \u2018durung Jawa\u2019"},"content":{"rendered":"
Oleh: Leo Sutrisno<\/p>\n
Dalam pandangan orang Jawa, tindakan yang tepat itu hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang telah memiliki sikap batin yang tepat serta mengetahui tempatnya terhadap sekitarnya dan terhadap dunia dengan tepat. sebaliknya, seseorang yang masih mengikuti pengaruh napsu-napsu dan pamrihnya akan melalaikan kewajibannya (dan tidak peduli) terhadap kerukunan dan kedamaian sekitarnya. Mengapa? Karena yang bersangkutan belum mengerti akan tempatnya (posisinya) dalam lingkangannya. Dalam kasanah budaya Jawa ia disebut \u2018durung Jawa\u2019- belum (menjadi orang) Jawa.<\/p>\n
Sikap-sikap seperti \u2018tidak peduli\u2019, \u2018angkuh\u2019, \u2018sombong\u2019 dsb, oleh orang Jawa tidak dianggap \u2018salah\u2019 tetapi dianggap \u2018belum mengerti\u2019- \u2018belum tahu\u2019. Yang bersangkutan belum mengerti \u2018tempat\u2019-nya terhadap sekitarnya. Karena itu, ia masih dapat dipengaruhi oleh napsu-napsu dan rasa egonya. Ia dianggap masih \u2018bodho\u2019 \u2013 belum mengerti.<\/p>\n
Sebaliknya, orang yang \u2018sudah mengerti\u2019 tempatnya yang tepat terhadap sekitarnya dan memiliki sikap batin yang juga tepat (sepi ing pamrih) tentu tindakannya tepat. orang seperti itu dianggap sebagai orang Jawa sejati, orang Jawa yang sudah matang, \u201cwis dadi wong\u201d. Mereka yang \u2018wis dadi wong\u2019 akan bertindak sesuai dengan tata krama kesopanan (Jawa). Ia juga akan bertutur kata dengan tata tutur yang tepat (ngoko, kr\u00e2m\u00e2, kr\u00e2m\u00e2 inggil \/ada 14 tingkat tata tutur dalam bahasa Jawa).<\/p>\n
Dengan konteks semacam ini, pandangan orang Jawa terhadap sikap dan tindakan seseorang tidak ditempatkan dalam \u2018benar\u2019 atau \u2018salah\u2019. Tetapi, digunakan istilah \u2018durung J\u00e2w\u00e2\u2019 atau \u2018durung ngerti\u2019 dan \u2018wis dadi wong (Jawa)\u2019 atau \u2018wis ngerti\u2019. Mereka yang \u2018sudah mengerti\u2019, yang \u2018sudah menjadi orang (Jawa)\u2019 berkewajiban memberi tahu orang-orang yang belum Jawa supaya menjadi Jawa.<\/p>\n
Bagi mereka yang bukan berdarah Jawa tetapi bersikap dan bertindak tepat sesuai dengan tempatnya (menurut ukuran adat Jawa) disebut \u2018njawani\u2019. Artinya, telah berbuat seperti orang Jawa. Sebaliknya, bagi orang Jawa yang sampai usia lanjut seperti saya ini (pen.) yang bertindak tidak sesuai dengah tata krama dan sopan santun Jawa disebut \u2018dudu J\u00e2w\u00e2\u2019 \u2013 bukan Jawa.<\/p>\n
Cara pandang seperti ini, \u2018durung \u2013 wis\u2019, \u2018belum \u2013 sudah\u2019, menunjukkan bahwa etika Jawa itu bersifat relatif. (tidak mengenal benar \u2013 salah). Tidak mengenal \u2018kemutlakan\u2019. Etika relatif orang Jawa ini dalam hidup nyata itu dipelajari dari \u2018etika wayang\u2019.<\/p>\n
Dalam wayang, tidak ada satu pun karakternya yang disalahkan mutlak atau dibenarkan mutlak.Ambil sebagai contoh, tokoh Adipati Karno. Ia adalah abang sulung dari para Pandawa (satu ibu). Tetapi, ketika terjadi perang Barata Yuda, Karno memilih menjadi panglima perang kerajaan Hastina. Akibatnya, ia harus berperang (hidup-mati) melawan adik-adiknya (Pandawa). Walaupun begitu, masyarakat tidak menganggap Karno salah. Karena, menurut penjelasan Karno, ia memilih melawan adik-adiknya untuk menjaga agar Pandawa tetap berlima, entah dia yang mati atau entah salah satu adiknya yang mati dsb.<\/p>\n
Dalam hidup nyata, sehari-hari, juga begitu. Masyarakat jawa tidak memenyebut suatu tindakan seseorang pada \u2018benar\u2019 atau \u2018salah\u2019, tetepai dalam istilah \u2018durung b\u00ean\u00ear\u2019 dan \u2018wis b\u00ean\u00ear\u2019. Artinya, ada ruang untuk pendangan yang lain. Tidakan yang \u2018durung b\u00ean\u00ear\u2019 karena yang bersangkutan \u2018durung Jawa\u201d. Sebaliknya, tindakan \u2018wis bener\u2019 berarti yang bersangkuta \u2018wis dadi wong (Jawa).<\/p>\n
Mangga ka-oncekana
\n16-2-2019, Pakem Tegal, Yogya
\nNuwun<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"
Oleh: Leo Sutrisno Dalam pandangan orang Jawa, tindakan yang tepat itu hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang telah memiliki sikap batin yang tepat serta mengetahui tempatnya terhadap sekitarnya dan terhadap dunia dengan tepat. sebaliknya, seseorang yang masih mengikuti pengaruh napsu-napsu dan pamrihnya akan melalaikan kewajibannya (dan tidak peduli) terhadap kerukunan dan kedamaian sekitarnya. Mengapa? Karena […]<\/p>\n","protected":false},"author":2,"featured_media":9536,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[14],"tags":[3819,3809],"adace-sponsor":[],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/9550"}],"collection":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/users\/2"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=9550"}],"version-history":[{"count":0,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/9550\/revisions"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/media\/9536"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=9550"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=9550"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=9550"},{"taxonomy":"adace-sponsor","embeddable":true,"href":"https:\/\/teraju.id\/wp-json\/wp\/v2\/adace-sponsor?post=9550"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}