Oleh: Ambaryani
Setiap kali harus membuat ketupat, saya selalu teringat kenangan belasan tahun lalu. Sekitar tahun 1998 pertama kali saya diwajibkan belajar membuat ketupat oleh wali kelas saya dulu.
Bu Eko Hariati wali kelas saya saat itu. Saat masih duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar di kampung Satai Sambas. Saat itu, masa class meeting. Semua siswa kelas 4 hingga kelas 6 harus mengikuti masing-masing lomba antar kelas. Dan saya ditugasi ikut lomba membuat ketupat.
Saya yang saat itu belum bisa membuat ketupat, harus belajar sampai bisa. Hanya ada waktu 3 hari untuk belajar sampai bisa sebelum hari perlombaan antar kelas.
Tentu saja saya ngedumel saat itu. Harus ikut lomba sedangkan saya belum bisa. Dan waktu yang tersisa hanya beberapa hari. Ini sesuatu yang membuat stres. Harus bisa dalam hitungan hari.
Tapi lain kondisinya sekarang. Saya justru bersyukur dan berterima kasih pada Bu Eko, dulu dipaksa belajar membuat ketupat. Kalau tidak, mungkin hingga sekarang saya belum bisa membuat anyaman daun kelapa muda ini. Yang menjadi hidangan khas saat lebaran.
Dan setiap ujung Ramadan, setelah perdana saya bisa membuat ketupat tugas Pa’e, Bapak saya jadi agak ringan. Dulunya hanya Pa’e yang bisa membuat ketupat dalam keluarga kami. Tapi, setelah putri sulungnya bisa membuat ketupat kami berbagi tugas menyelesaikan helaian janur, hingga jadi ketupat.
Hal ini membuat saya teringat satu hal setelah sekarang menjadi orang tua. Saat posisi menjadi anak dulu, sering uring-uringa dengan disiplin yang diterapkan guru serta orang tua. Karena dulu, belum terasa hasil dari peraturan yang diterapkan guru juga orang tua.
Justru sekaranglah semuanya terasa. Saat sudah dewasa, punya keluarga, dan menjadi orang tua. Semua peraturan dan kedisiplinan membangun karakter seseorang. Ya, itulah bedanya dunia anak-anak dan dunia setelah anak mempunyai anak.