Oleh: Dr Leo Sutrisno
Di dalam gulungan belalai bianglala, aku tertidur nyenyak, beralaskan beludru bunga mawar warna putih. Taburan bunga kemuning berbaur bunga kamboja memenuhi jagad raya. Aku berada pada titik puncak kenikamatan cinta yang luar biasa.
Ketika terjaga, aku telah berada di dalam ruang yang gelap gulita. Kelembutan farfum ibu digantikan aroma makanan kesukaannya, menusuk-nusuk hidung.
Tak berselang lama muncul seberkas cahaya sebesar kunang-kunang. Cahaya lembut ini memberi daya kehidupan bagi segala ciptaan-Nya. Tak terasa dari waktu ke waktu badanku terus-menerus tumbuh semakin besar. Akhirnya, dinding ruang yang mengurungku pecah.
Gelombang tekanan air kawah mendorongku menembus celah robekan itu. Tiba di luar langsung disambut dengan bentangan tilam merah darah yang dengan lembut memeluk dan melindungiku dari segala sesuatu yang mungkin terjadi. Ari-ari menyusul kemudian. Tak begitu lama, aku merasa dipisahkan darinya. Seseorang telah memotong tali pusar.
Cahaya kemerahan memancar di ufuk timur. Gelombang taburan bunga dari keempat penjuru angin serempak menuju ke padaku. Alam berbisik lembut, “Anakku, gelombang bunga-bunga itu mengiringi kedatangan keempat saudaramu. Air kawah dari timur, darah dari selatan, ari-ari dari barat, dan tali pusar dari utara”.
“Tiga puluh tahun engkau menjalani laku ziarah hidup di alam fana. Kini, mereka kembali menyatu denganmu. Bersama mereka engkau mulai mengarungi alam keabadian yang tanpa batas. Ada terang tetapi tidak ada bayangan. Engkau dapat mendengar suara tetapi tidak dapat melihat dirimu sendiri. Yang ada hanyalah hening dan damai” Bisikan itu semakin lirih dan akhirnya lenyap sama sekali.
….
Dalam keheningan, kembali muncul bianglala tujuh warna membentang di batas cakrawala. Kutapaki anak tangga bianglala satu per satu sambil menyibak rerimbunan sulur-sulur bunga Air Mata Ibu.
Tiba-tiba kakiku telah menjejak hamparan tepian pantai Tanjung Batu. Nyanyian “Nyiur Hijau” menggema, menyusup relung-relung mega stratus-nimbus yang berarak mengarungi angkasa jagad raya..
Aku kembali ke Puskemas PTT enam tahun yang lalu. Pada layar plasma langit muncul tayangan rekaman jejak hidupku dari hari ke hari, sebagai dokter perempuan yang masih muda belia di antara masyarakat pulau-pulau terluar dan terpencil.
Selama tiga tahun aku tinggal di sebuah rumah kayu 6×6 m2 berbentuk panggung. Tiap malam tidurku ditemani nyanyian alam, dengkungan kodok yang bersahutan dari kolong rumah.
Rumah ini terbuka selama 24 jam. Kapan saja orang dapat mengetuk pintu mengabarkan ada orang sakit yang perlu ditolong. Mereka adalah orang-orang yang sangat sederhana serta polos.
Suatu hari ada seorang bapak datang ke rumah membawa sekeranjang durian.
“Ini untuk Bu Doktoo. Terima kasih, Bu Doktoo sudah menyembuhkan anak saya. Dia sudah berlarian dengan teman-temannya” Katanya.
“Aku suka durian, Bang. Tetapi, cukup sebuah saja. Yang lain Abang jual untuk beli beras. Kuambil yang ini ya!” Kataku.
“Yang ini saja Bu Doktoo. Ini yang paling bagus. Itu juga bagus tetapi ini yang paling bagus. Dagingnya tebal. Manis menggigit”
“Baiklah. Aku ambil yang itu. Yang lain bawa ke pasar sana”
“Tidak! Bu Doktoo. Semua untuk Bu Doktoo.” Katanya sambil bergegas neninggalkan keranjangnya.
Semacam ini hidupku bersama mereka. Kami hidup dengan penuh kesederhanaan. Tetapi, kami saling berbagi tanpa menghitung unrung-rugi. Bahu-membahu satu dengan yang lain. Kehidupan seperti itulah yang ku jalani bersama mereka dari hari ke hari.
Bapak, Ibu, dan adik-adik, aku di sini memiliki banyak sahabat dan kerabat. Kalian tidak usah risau. Peluk ciumku dari jauh untuk kalian.
Jika senja tiba, aku biasa naik ke bukit batu di belakang rumah. Di sana ada sebuah sumber air kecil di antara bebatuan. Dari sumber air ini, penduduk mengalirkannya ke rumahku. Agar sambungan slangnya tidak lepas, air itu dibiarkan mengucur terus tiada henti. Tumpahan airnya mengalir ke parit sebelah rumah.
Di bebatuan sekitar sumber ini, aku sering menghabiskan senja sambil menunggu matahari tenggelam. Airnya sangat bening, jernih.
Berkaca dari air yang bening, jernih, ini, aku dapat memasuki rasa hening. Alam sungguh bermurah hati padaku, serta pada semua kehidupan di sini. Bersama seluruh makhluk ciptaan-Nya, aku tinggal di sebuah ‘rumah’. Di kepulauan terluar dan terpencil ini, ternyata aku tidak sendirian. Aku punya keluarga besar.
Di ‘rumah’ ini, aku dapat merasakan sulur-sulur kasih-Nya, Ia Yang Mahakuasa sekaligus Yang Mahakasih, Ia Yang Mahatinggi, tetapi juga sangat dekat sekali, bahkan selalu memelukku.
Akhirnya, aku merasa bahwa hidup ini adalah sebuah penjiarahan bersama untuk memuliakan-Nya. Hanya dalam penyertaan-Nya, kita para musyafir dapat selalu mengayunkan langkah menuju ke suatu titik pengharapan, Titik Pusat Gravitasi Jagad Raya.
Pakem Tegal, Yogya. 25-4-2020