Oleh: Yusriadi
Lebaran memang masih lama. Jika dihitung dari awal puasa ini, lebaran masih lebih dari tiga pekan lagi. Tak cukup jari tangan dan kaki untuk menghitungnya.
Tetapi, jangan senyum-senyum dahulu melihat orang yang sudah memikirkan lebaran jauh-jauh hari. Jangan lihat hal itu sebagai hal yang salah.
Tidak. Memikirkan lebaran di awal puasa, tidak salah. Apalagi dalam tradisi masyarakat kita. Seperti dalam banyak hal, kita memiliki kebiasaan futuristik dan visioner. Secara umum kita menikmati kehidupan dan akan berpikir masih hidup besok, besok dan seterusnya.
Jamak dijumpai, kita sudah memikirkan lebaran jauh-jauh hari sebelum lebaran. Sebulan sebelumnya. Bahkan, setahun sebelumnya.
Ya, sebagian dari kita misalnya sudah memikirkan lebaran tahun ini di sini, lalu tahun depan di sana. Sudah disusun rencana dan persiapannya.
Orang-orang kita sudah memikirkan lebaran tahun ini dengan kue ini dan itu, lalu lebaran tahun depan dengan kue ini dan itu. Kita punya arisan lebaran untuk berbagai jenis kue, sapi dan ayam.
Kita sudah memikirkan merenovasi rumah, mengganti langsir, membeli sofa, dan lain sebagainya. Rumah yang elok dipandang tetamu yang datang sudah muncul dalam bayangan.
Itulah kelebihan yang kita miliki. Kita sebenarnya merupakan masyarakat futuris yang berpikir jauh ke depan. Ini adalah bagian dari orang-orang yang dididik dalam lingkungan orang yang visioner.
Sekarang, kelebihan kita ini sedangkan diuji-benturkan dengan kepercayaan kita kepada Allah. Iman kita sedang disoal melalui kepercatyaan pada takdir baik dan buruk.
Sebagai muslim kita diajarkan tentang takdir. Kita diajarkan tentang harapan dan kenyataan. Ada harapan yang terwujud, dan ada yang tidak.
Kita diajarkan bahwa di atas semua kehendak kita ada kehendak Allah. Jika kehendak atau rencana kita tidak terlaksana, kita diajarkan untuk pasrah, menyerahkannya pada Allah.
Sekarang, bertemu dengan pandemi corona adalah takdir kita. Tidak pernah muncul dalam bayangan kita hidup seperti ini hanya dengan virus yang semula dianggap kecil dan remeh temeh.
Corona telah membawa dampak luar biasa. Bagi kita umat Islam, gegara corona, lebaran tahun ini berbeda dibandingkan dengan bayangan kita kemarin dan saat lebaran tahun lalu. Lebaran bersama dalam kemeriahan, bakal tidak hadir pada lebaran ini.
Inilah takdir kita bersama. Kira-kira, kehendak-Nya adalah kita lebaran tahun ini dalam suasana prihatin dan membatasi diri. Kue, rumah, mudik, kita nikmati dalam kesendirian. Kemenangan di ujung puasa, kita meriahkan dengan cara lain.
Kita akan menyambutnya dalam skala terbatas bersama keluarga. Konsumsi kue hanya untuk keluarga dan semoga bisa berbagi dengan tetangga. Rumah renovasi hanya ditengok sendiri. Lebaran hanya bersama keluarga atau teman terbatas.
Apakah semuanya terasa ada yang kurang? Apakah akan terasa hambar.
Mungkin. Tetapi, sebagai masyarakat visioner kita pasti kreatif. Toh, bagaimana suasananya kita sendiri yang menciptakan.
Esensi peringatan ada di hati masing-masing. Kalau dinikmati, ramai tidak ramai bukan masalah. Kalau tidak dinikmati, ramai dan tidak ramai pasti menjadi masalah. Jadi, yuk, nikmati saja!
Percayalah pada rahasia Allah di sana. Ada kebaikan yang Allah sediakan untuk kita di tengah kesendirian. Baik yang kebaikannya bisa dinikmati langsung, kontan, maupun kebaikan yang baru bisa dirasakan di masa-masa mendatang. Insyaallah. (*)