Oleh: Nur Iskandar
Energi bangsa sangat besar terkuras dalam pesta demokrasi di DKI Jakarta sebagai ibukota negara. Hampir semua mata tertuju ke Jayakarta. Melihat bagaimana pernyataan Basuki Cahaya Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu menjadi blunder rrruar biasa. Padahal secara kasat mata Ahok bisa menang mudah. Satu putaran pun sudah terbaca. Namun karena blunder Quran Surah Almaidah yang dikutipnya menimbulkan gelombang protes massa. Pilkada pun terpaksa masuk ke putaran kedua. Alhasil, Ahok kalah suara. Pasangan No 3: Anies-Sandiaga tampil sebagai jawara.
Periode kental isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) itu baru saja reda seiring hasil Pilkada. Namun tak dipungkiri ada yang suka, dan ada yang kecewa. Ini terjadi di Nusantara. Tak terkecuali di Kalbar.
Sebagai warga negara yang tetap buka mata dan telinga, saya merasakan terjadinya fragmentasi dari kohesi sosial kebangsaan bernama Indonesia raya di Kalbar. Di mana ideologi Pancasila merekatkan keberagaman dalam langgam Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi, keretakan terjadi merata sehingga saya turut prihatin. Negara yang kita cinta ini dalam posisi bahaya. Bahaya itu menganga di depan mata, di bumi khaTULIStiwa demikian adanya–apalagi juga Pilkada sudah di depan mata. Seperti resah-gelisah beberapa hari terakhir ini, di mana salah satu tokoh sentral Habib Rizieq yang juga merupakan tokoh sentral di DKI Jakarta direncanakan akan hadir di Mempawah telah dinyatakan ditolak keras oleh komponen masyarakat Dayak. Mereka atas nama organisasi Dayak berkumpul membuat pernyataan. Pernyataan itu pun viral. Bahkan orang nomor satu di Kalbar pun di depan publik menegaskan kata pengusiran jika Habib Rizieq berani menginjakkan kaki di wilayah politik binaannya. Pernyataan di acara naik dango di Kabupaten Landak itu juga viral.
Oleh karena itu pernyataan pernyataan pedas senada sangat mudah ditemui di sosial media. Masing-masing, yakni dukungan kepada ulama khususnya Habib Rizieq maupun kontra dari masyarakat Dayak dengan argumentasinya membuat hubungan etnisitas Melayu-Dayak renggang.Di mana ketika membaca pernyataan-pernyataan itu kita berdebar-debar. Panas. Demam ini masih akan terus meningkat sampai Pilkada Gubernur Kalbar tahun depan (2018).
Bagaimana dengan hari ini Jumat, 5/5/17? Di mana umat Islam melakukan ibadah shalat Jumat di masjid-masjid? Telah muncul seruan untuk berkumpul di Masjid Raya Mujahidin dengan ikat tali kuning di lengan. Tujuan ajakan ini adalah untuk mengawal ulama. Ulama ini tiada lain Habib Rizieq yang rencananya diundang berceramah Isra Mikraj di Mempawah–80 km dari Kota Pontianak–setelah Jumat. Mereka juga siap mengawal sampai ke Mempawah.
Di luar jamaah Jumatan yang pasti muslim, dan muslim identik dengan Melayu, adalah komonitas Dayak yang juga viral berupa seruan turun aksi massa dengan target minimal 10.000 orang. Klaim aksi ini untuk Dayak se-Kalimantan dengan pesan sentral bahwa Dayak tidak mau dihina sebagaimana fakta yang mereka kumpulkan dari pernyataan–khususnya dari Habib Rizieq. Untuk hal yang terakhir ini Gubernur Drs Cornelis, MH memang punya catatan dengan Rizieq. Hal ini diadukan Cornelis kepada aparat. Di mana dia menyuguhkan rekaman dari handphone yang digenggamnya bahwa Rizieq telah “menghina dirinya” sebagai gubernur yang orang Dayak dan kafir.
Perihal penolakan masyarakat Dayak dengan Habib Rizieq bukan sekali dua kali terjadi. Hal ini spesifik pada kata kafir, atau jangan memilih pemimpin kafir. Hal itu juga yang ditujukan kepada Pilkada DKI yang barusan terjadi.
Mereka dari organisasi Dayak juga menuntut pimpinan Front Pembela Islam (FPI) itu dibubarkan organisasinya. Namun kenyataan, aspirasi kepada negara sejauh ini tak dikabulkan pemerintah karena alasan berdirinya organisasi adalah hak setiap warga, termasuk FPI. Tugas pemerintah justru membina.
Lalu bagaimana dengan Kalbar saat ini? Situasi jalan dan pasar dalam amatan beraktivitas sehari-hari dari kemarin sampai Jumat pagi aman-aman saja. Semoga terus bertahan dan kita pertahankan terus. Sebab adagium perang: kalah jadi abu, menang jadi arang tak pernah lekang. Sejarah masa lalu Kalbar kalau terjadi konflik berdarah-darah tetaplah seperti pepatah tersebut di atas. Begitupula wilayah konflik mana pun di Nusantara, bahkan dunia.
Sebagai jurnalis, memang saya melihat ada semacam anomali antara pernyataan pedas di sosial media dengan kehidupan dunia fana. Tetapi seberapa hal itu tetap anomali, saya tidak bisa memprediksi. Suasana panas begini tetap harus didinginkan dengan memahami keadaan masing-masing serta mengedepankan toleransi. Dan setahu saya, para intel dan aparat terus bekerja keras. Mereka menjaga setiap pergerakan.
Di pihak tokoh agama dan tokoh masyarakat pun terlaksana koordinasi dengan baik. Untuk ini masyarakat “bersumbu pendek” perlu disejukkan. Jangan mudah terpancing isu-isu provokatif bernuansa SARA. Sebaliknya kedepankan dialog dari hati ke hati. Tak ada masalah berat yang tak bisa dimusyawarahkan. Apalagi budaya kita setiap pagi: ngopi…
Penolakan masyarakat Dayak kepada Rizieq dan FPI sudah sering kita dengar. Sebagaimana aksi pro dan kontra sebelumnya yang mewarnai Bumi khaTULIStiwa.
Semoga dua kelompok massa yang vis a vis antara Melayu-Dayak (Muslim/Non Muslim) tidak terpancing aksi anarkistik. Kemudian aparat dapat menggiring kebebasan berpikir, berkumpul dan berpendapat secara tepat, profesional, proporsional, adil, bijak, tanpa menimbulkan korban di mana perekonomian jadi mampet, jalanan macet, dan kehidupan Indonesia Raya yang indah ini jadi mengkeret.
Mari kita bersama berdoa dan berusaha mendamaikan hati dan pikiran kita semua. Bahwa bekerjasama jauh lebih sempurna. SARA justru jadi kekayaan budaya yang penuh makna memanusiakan manusia. Itulah warisan leluhur kita sejak dulu sehingga terwujud Indonesia Raya dengan langgam Bhinneka Tunggal Ika. (Penulis adalah Pemred media online teraju.id)