Oleh: Farninda Aditya
Setelah diskusi tentang literasi bersama Anthony Lee dan Nina Dari Kompas Jakarta, kami menuju arus balik yang sama, yakni ke arah Antasari. Di keramaian festival Cap Go Meh, kami berjalan ekstra hati-hati. Kami sudah fokus untuk pulang, jadi tak ada niat untuk singgah melihat festival.
Tapi, di antara jualan yang ada di pinggiran jalan, ada yang berhasil menarik pandangan Mbak Nina, yakni umang-umang warna-warni. Bukan karena warnanya yang mencolok tetapi sebutan untuk hewan ini.
“Di Bogor itu namanya Congcong Balicong”, katanya diringi tawa.
Lucu memang saat menyebutnya, ” Congcong Balicong”.
Mendengar “Cong” saya malah ingat dengan ungkapan untuk menemukan sesuatu. Biasanya, kalau mendapat uang receh di jalan misalnya, saya dan kawan-kawan dulu akan bilang “Cong, dapat ye”.
“Kalau di sini, apa namanya? Pasti ada nama tertentu di setiap daerah”, tanya kakak lulusan Ilmu Budaya UI tersebut.
“Kalau kami di Mempawah, menyebutnya Tengkuyong”.
Sebenarnya, Tengkuyong bentuk cangkangnya lebih panjang. Namun, jenis ini juga biasa kami temukan di tepian parit. Dan sebutannya pun tengkuyong.
Membahas, hewan bercangkang tersebut. Saya juga ingat dengan jenis makanan seafood lainnya. Di tempat kami, di Tanjung Mempawah sana terkenal dengan Kepa. Sejenis kerang tapi tidak bergerigi. Warnanya kuning dan lebih pipih. Beda dengan kerang. Jika biasanya kerang disebut dengan kerang dara, kami hanya menyebutnya kerang saja. Di bagian pesisir ini, kami juga mengenal Kijing. Kijing seperti kerang hijau tapi warnanya hitam-keputihan. Kami juga mengenal kremes, walaupun di pantai kami sulit memerolehnya, di daerah ketapang menyebutnya Ale-ale.
Kalau untuk keong sawah. Dikenal dengan Tutut, di tempat kami menyebutnya Gondang. Apakah itu hidup di sawah atau di tepi parit. Jika bentuknya lebih kuning ya itu disebut Gondang. Jika Keong hama atau dikenal dengan Bekicot, yang biasa di tanaman kami menyebutnya Tengkuyong Babi.
Benar kata Mbak Nina. Di setiap tempat akan beda-beda namanya. Uniknya…