Oleh: Erna Setia Putri
Juli 2004. musim panas pertama kami di Bochum, Jerman. Anak lelaki saya yang saat itu baru berumur 5 tahun berteriak sambil menunjuk keluar jendela:
“Ma lihat! Banyak anjing di halaman wohnung kita!”
Saya menjenguk ke halaman belakang apartemen kami dan mendapati begitu banyak wanita tanpa bra dan hanya memakai g string sedang telungkup berjemur. Dari kejauhan, bokong bulat mereka sudah pasti sulit teridentifikasi oleh anak usia 5 tahun yang belum pernah melihat wanita telanjang.
Setelah hari itu, pemandangan orang berjemur tanpa busana tak lagi jadi fenomena mengejutkan bagi kami sekeluarga. Hanya suami saya jadi lebih kerap menoleh keluar jendela.
Begitu pula pemandangan sesama pria atau sesama wanita berciuman mesra, laki perempuan saling raba dalam u-bhan (kereta), serta pemandangan orang bercinta (making love) di tempat terbuka. Can you imagine that? Bokep live di depan mata. Saya belajar menerima semua itu dengan arif. Meyakini bahwa itu cara hidup mereka, bukan cara hidup saya.
Berkubang setiap hari selama hampir 5 tahun dengan pemandangan seperti itu, membuat saya memiliki ‘filter dan alarm alami’ mengenai benar atau tidak benar sebuah perbuatan. Ada rules (aturan) yang merantai kaki saya tanpa saya sadari.
Beberapa waktu belakangan ini, saya menerima 3-4 mesenger dari teman-teman FB yang tidak terlalu dekat dengan saya (itu artinya mereka tidak benar-benar mengenal saya). Semoga mereka membaca tulisan ini. Isi messenger mereka:
- Menasehati saya untuk tidak lagi makan masakan orang China (karena di salah satu status FB, saya menyebut tentang kwetiau arang, chaikwe, tau suan, etc).
- Bertanya, haji/umroh sudah belum karena saya sudah keliling dunia.
- Menyarankan saya memakai jilbab dengan benar, bukan hanya kerudung penutup kepala.
Saya tidak anti nasehat. Tidak pula menutup hati untuk ujaran kebaikan. Namun bagi saya, isi messenger-messenger itu muatannya sebanding dengan pertanyaan: tadi malam kamu bercinta dengan gaya apa? Atau pertanyaan: saat bercinta kamu klimaks tidak? Pribadi sekali, apalagi untuk orang yang tidak saling dekat.
Ada zona dalam kehidupan seseorang yang pantang untuk kita masuki. Patuhi itu agar kita masuk dalam golongan mahluk bumi yang beradab. (*Erna Setia Putri adalah sastrawan asal Kota khaTULIStiwa, Pontianak. Kini di Eropa)