Oleh Dr Leo Sutrisno
Pada suatu waktu, beberapa tahun yang lalu, saya melakukan perjalanan pulang dari kegiatan seminar di luar daerah dengan pesawat terbang. Tempat duduk saya di nomor 12C.
Pada nomor 14B duduk seorang bapak yang sudah cukup tua. Mungkin sekitar 70 tahunan, usianya. Walau bersih dan rapi, namun kemejanya terlihat sudah tua. Bahkan, ada sebaris jahitan tangan di bagian belakang bahu.
Menyusup lembut ke dalam hidung saya aroma harum rokok ‘tingwé’ – gulungan domestik dari tubuhnya. Aroma semacam ini sering saya nikmati jika sedang di atas bus kelas ekonomi di wilayah keresidenan Kedu. Rokok ini terdiri atas tembako Kedu dengan rempah ‘klembak’, ‘teki’, cengkih, dan kemenyan, dibungkus ‘klobot’ – daun bunga jagung.
Walau pun hampir seluruh penumpang sudah siap di kursi masing-masing, belum terlihat tanda-tanda pesawat akan berangkat. Sekitar sepuluh menit kemudian, munculah seorang penumpang, wanita setengah baya dengan penampilan yang membuat orang banyak berdecak ‘wah!’.
‘Miis!”, panggilnya ke salah seorang pramugari.
“Wèr sit ai?!” Lanjutnya
Seorang pramugari senior datang melayani, sambil bertanya, “Nomor berapa Ibu?”
“Madam, pliis!” Potong perempuan itu, “Portèn si” Sambungnya.
Tanpa mengucap apa pun, pramugari itu menerima tasnya serta membawanya ke kursi 14C. Karena berada tidak jauh dari telinga, saya mendengar apa yang diucapkan penumpang itu, dalam bahasa Inggris pabrikan.
“Aku tak mau duduk di dekat orang dekil. Bau! Tidak level. Carikan tempat lain!”
“Maaf, Nona” kata si pramugari tetap dalam bahasa Indonesia. “Semua kursi sudah terisi”
“Kelas bisnis ada?!”
“Tetapi, tiket Nona kelas ekonomi” Jawab si pramugari.
“Aku tak mau duduk! Biar berdiri saja!” ucap si nyonya.
“Baik, aku lapor kapten dulu, Nona” Tutur si pramugari tetap hormat dan santun. Ia pun kembali ke depan, bergegas menuju ruang pilot.
Si nona itu tetap berdiri di lorong. Berulang kali ia mengibaskan tangannya yang diangkat ke atas tinggi. Ia sedang mengepaskan, walau tidak perlu, sederet gelang emas yang bergemerincingan di lengan kanan.
Beberapa menit kemudian terdengar suara bariton pilot,
“Selamat pagi para penumpang semua. Mohon maaf atas kejadian ini. Dalam posisi darurat, saya kapten Pilot Prawiro, memutuskan untuk menggunakan satu kursi cadangan di kelas bisnis. Mohon sabar sejanak, pramugari Risti akan segera mengaturnya. Terima kasih!”
Pramugari Risti berjalan menuju ke tempat tadi. Si nona mulai mengambil tasnya sembari tersenyum lebar dan siap melangkah ke arah depan.
Namun, pramugari Risti justru menuju kursi 14B, sambil membungkuk hormat, dengan santun berkata:
“Mohon maaf, Bapak. Kami harap Bapak pindah ke depan. Pramugari Ayu akan melayani Bapak. Silahkan! Sekali lagi kami mohon maaf atas ketidak-nyaman-an ini.”
Sekitar dua jam kemudian, saya sudah berdiri di jalur tunggu kendaraan penjemput. Dua-tiga meter sebelah kanan saya, berdiri si nona.
Di jalur depan kami berdiri, seorang TNI bintang satu dengan sabar membantu lelaki lansia tadi menaiki mobil. Seorang ajudan dengan terukur memasukkan tas bawaan pak tua itu ke bagasi.
Sebagian besar orang di kota kami tahu siapa TNI itu. Banyak balibo ucapan selamat datang dan menempati pos baru di aerah kami yang dipasang sejak tiga bulan lalu masih berdiri kokoh sepanjang jalan protokol bandara-kota.
Saya tidak cukup berani melihat wajah nona itu ketika ia tahu siapa penjemput ‘pak tua’. Yang terlihat, di jalan menuju kota, ada gojeg motor butut, yang memboncengkannya, menyalip laju mobil saya.
Tentu, gojeg itu juga akan menyalib mobil pembawa pak tua yang berada sekitar dua ratus meter di depan kami.
Pakem Tegal, 16 Jan 2021
Penulis adalah pegiat edukasi Kalbar dan kini menetap di Pakem