Homo Deus: Manusia yang dipertuhankan

7 Min Read

Oleh: Leo Sutrisno

Buku ‘Homo Deus: A Brief History of Tomorrow’ karya Sejarawan Israel, Prof Yoval Noah Harari, dari Universitas Hebrew, Yerusalem, menghentak dunia sejak diterbitkan (bhs Hibrani 2015, bhs Inggris, UK 2016; AS 2017). Review para ahli banyak yang pro dan juga yang kontra. Namun demikian, saya baru menemukannya awal Oktober 2019, di sebuah bandara di Indonesia. Tidak lama kemudian, saya memiliknya sebagai hadiah dari istri.

Membaca buku setebal 462 halaman, yang dilengkapi dengan referensi 30 halaman (463-493), membuat ‘senam jantung’ – berdebar-debar. Walaupun, Sesungguhnya pemikiran di dunia fisika sudah mengembangkan ‘string theory’ alam semesta beserta isinya. Alam semesta dibayangkang seperti sekumpulan kapas yang tiap titiknya selalu bergerak-gerak. Gerakan satu titik tertentu membuat titik lain bergerak-gerak juga. Perkembangan setiap menusia dipengaruhi oleh perkembangan manusia lain berserta habitatnya.

Di masa depan, tidak terlalu lama lagi, manusia masing-masing akan meningkatkan dirinya sebagai ‘dewa’ (turn Homo Sapiens into Homo Deus, h. 24). Kita tahu, dari pewayangan, bahwa dewa mempunyai kekuasaan dan kekuatan yang melebihi kekuasaan dan kekuatan manusia. Dewa juga tidak pernah mati (iortal).

Sejarah manusia sudah berlangsung lama. Dimulai ketika ada lompatan dari materi ke organisme, menjadi binatang bersel satu, amuba, makhluk air, naik ke darat dengan berkaki empat dan atau bersayap untuk hidup di udara, tetap di darat dengan berkaki empat, berkaki dua, makhluk berdiri tegak (sapiens), dan sampailah manusia dewasa ini (homo sapiens).

Bagi penganut teori evolusi baru, Teilhard de Chardin, manusia mengalami baik proses perkembangan fisik maupun pekembangan psikis. Perkembangan fisik berpuncak pada kondisi fisik menusia sekarang ini. Tetapi, proses perkembangan psikis masih terus berkembang hingga memuncak pada ‘manusia super pribadi’. Pada tingkat itu, akan menyatu antara kebenaran nalar dan kebenaran iman.

Mungkin, Homo Deus-nya Harari ini merupakan salah satu dari deskripsi ‘manusia super pribadi-nya Teilhard de Chardin itu. Harari menggunakan disiplin ilmu kesejarahan untuk merangkai peristiwa dan pengalaman hidup manusia. Khususnya, ditekankan pada kemampuan yang dapat dicapai manusia seiring dengan eksistensi dan evolusinya sebagai makhluk yang paling dominan di alam semesta sembari mengarahkannya ke masa depan manusia, kelak.

Argumentsi yang dikembangkan Harari tentang masa depan bertolak pada tiga eksistensi manusia dewasa ini. Pertama, manusia menakhlukan dunia – ‘Homo sapiens conquers the world’. Kedua manusia memberi makna alam semesta – ‘Homo sapiens gives meaning to the world’. Dan, ketiga, manusia kehilangan kendali – ‘Homo sapiens loses control’.

Debat-debat filosofis tentang perkembangan manusia dibicarakan pada bagian pertama. Dari kemunculan makhluk hidup di ujung era materi hingga memuncak pada kemunculan manusia sebagai homo sapiens. Istilah ini dimunculkan oleh Carl Linnaeus, 1758, wise man / bhs Inggris, manusia yang bijaksana. Harari membahas dengan berbagai hubungan antara manusia dengan mekhluk hidup yang lain, khususnya binatang. Argumentasinya mengarah pada kenayataan bahwa terjadi ‘dominasi manusia’.

Di bagian kedua, dibahas rinci (h 181-252) tentang hubungan intersubjektivitas manusia sehingga terbentuk negara, agama, uang, perusahaan dalam skala multi-nasional. Hubungan intersubjektivitas inilah satu-satunya yang membedakan manusia dari makhluk hidup yang lain (binatang). Muncullah paham ‘kemanusiaan’ yang menjadi khas milik manusia. Atas nama kemanusiaan inilah manusia memberi makna alam semesta beserta isinya. Atas nama kemanusiaan, manusia mencari kekuasaan, kebahagiaan, serta lepas dari kematian.

Sebagai bukti bahwa manusia berusaha ‘lepas’ dari kematian adalah usaha untuk mengakhiri perang, kemiskinan, dan penyakit. Hasilnya, banyak orang yang meninggal saat ini bukan karena peperangan tetapi karena sengaja bunuh diri. Banyak orang meninggal bukan karena kelaparan tetapi karena terlalu banyak mengkonsumsi ‘junk foods’. Demikian juga, dapat disaksikan orang mati bukan karena penyakit yang diderita tetapi karena diet kesehatan yang terlalu keras. Pendeknya, orang ingin ‘memperpanjang’ hidupnya (kalau bisa tidak usah mati, immortality).

Di bagian ketiga dipaparkan usaha memperpanjang hidup ini didukung usaha besar-besaran untuk mengembangkan teknologi. Hingga kini, disepakati bahwa teknologi dikembangkan untuk membuat hidup manusia lebih nyaman. Rekayasa bioponik bermunculan di seluruh dunia. Orang berlomba mengembangkan terus-menerus ‘artificial intellegent’ berseta algoritmanya. Robot-robot ‘hidup’ bermunculan dimana-mana.

Pada titik ini, ‘pikiran’ secara bertahap dipisahkan dari ‘kesadaran’. Dan, kini, kita sudah menyaksikan perpisahan itu. Orang mulai lebih percaya kepada data ketimbang pada apa yang dirasakannya. Muncullah ‘agama’ baru, yaitu ‘dataisme’. Orang mulai meletakkan data di atas segalanya. Berhadapan dengan data, semua tunduk, politik tunduk, hukum tunduk, kemanusiaan tunduk dsb. Karena itu tidak menjadi masalah ketika nenek renta dihukum gegara terbukti (secara formal) mencari kayu. Anak remaja dihukum karena membunuh orang yang menjambret dirinya dsb).

Ada dua komponen utama dari data, yaitu algoritma dan pemrosesan data. Seluruh alam semesta terbentang dalam dunia data. Yang membuat isi dunia beragam adalah pemrosesan data yang beragam.

Manusia ‘hanya’ merupakan algoritma. Suku-suku bangsa, misalnya, terbentuk karena pemrosesan data-nya berbada-beda. Demikian juga, terjadi pada pembentukkan tata ekonomi, tata budaya dsb yang beragam karena ada beragam pemrosesan data.

Pada tingkat ini, manusia akan mampu membuat manusia. Kloning binatang dan tetumbuhan menjadi salah satu pentujuk mengarah ke sana.

Manusia akan mencari cara untuk membuat dirinya tidak dapat mati. Manusia akan mengkloning dirinya sendiri, misalnya. Sampailah kita pada ‘HOMO DEUS’- man gods (manusia dewa).

Tentu saja, Profesor Harari tidak membiarkan penbacanya mengembangkan pemikiran yang ‘liar’ ini. Ia meninggalkan tiga (3) tertanyaan berikut ini.

  1. Are organism really just algorithms, and is life really just data processing?
  2. What is more valuable – intelligence or consciousness?
  3. What will happen to society, politics and daily life when non-conscious but highly intelligent algorithms know us better than we know ourselves?

Semoga kita dapat menjawab dengan mendasarkan diri pada nalar dan iman yang saling melengkapi!!
Pakem, Yogya
18-2-2020


Kontak

Jl. Purnama Agung 7 Komp. Pondok Agung Permata Y.37-38 Pontianak
E-mail: [email protected]
WA/TELP:
- Redaksi | 0812 5710 225
- Kerjasama dan Iklan | 0858 2002 9918
TAGGED:
Share This Article