teraju.id, Kapuas Hulu – Badau – Beda dulu, beda sekarang. Kalau dahulu perlu waktu sehari semalam, kini cukup 2-3 jam dari ibukota Putussibau dengan kendaraan umum roda empat. Jalanan berkubang kini halus dan mulus.
Saya pernah membawa kendaraan sendiri dari Kota Pontianak menuju Putussibau. Dari Putussibau kemudian berlanjut ke Badau. Saat itu tahun 2005 untuk tujuan survey pendidikan di perbatasan.
Jangan ditanya lagi perbedaannya. Bagaikan langit dengan bumi. “Tempo doeloe” jalan utama “berkarat” penuh tantangan untuk dilalui, kini lancar jaya. Halus. Mulus. Infrastruktur utama penunjang kelancaran pergerakan orang dan barang ini sama dengan di kota-kota besar. Aspal hot mix cantik. Tidak ada lubang menganga dan membuat bokong sakit. Begitupula rambu-rambu lalu lintas, berdiri tegap dan lengkap. Serasa di negara maju.
Jika kita berada di tebing jalan, selalu ada sabuk besi pengaman dengan belasan rambu bertanda siku. Sign “mata kucing” juga melengkapi setiap tikungan. Mata kucing ini menyala di malam hari ketika terkena sinar lampu, sehingga memudahkan sopir menempuh jalan dengan aman.
Marka jalan juga mengkilap. Les putih membelah jalan, atau membingkai pinggir kedua jalan. Tampak lurus. Terurus.
“Saya dulu tak betah kerja di border, kini betah. Kita bisa bolak balik ke Putussibau,” kata aparat perhubungan di Gedung Border, Indrayogi. Pria ini mengaku bangga, sebab dahulu dia pernah merasakan sakitnya menempuh Badau. Binatang hutan seperti babi, rusa, orang utan bahkan ular pun sering melintas sekaligus mengancam keselamatan. Ia juga pernah mengalami pecah ban di jalan. “Terpaksa saya memasukkan pakaian ke dalam ban sehingga menaiki motor laksana kuda. Saat sampai Putussibau, jeruji ban kendor semua,” kenang dengan mata berkaca-kaca.
Bangunan border dahulu seperti “rumah hantu”. Besar, lusuh, berdebu. Lambat laun makin lusuh. Pantas jika pelintas batas Indonesia merasa minder ketimbang Border Lubuk Antu milik Malaysia.
Sejak diresmikan Presiden Joko Widodo pada Maret 2017 PLBN di atas lahan seluas 8,8 Ha tampak eksotis. Luas bangunan 7.619 m2 berdiri gagah dengan arsitektur rumah panjang. Kemegahannya setimbang dengan biaya pembangunan dirogoh sebesar Rp 153 miliar. Di PLBN megah ini terdapat bangunan utama, pos lintas kendaraan pemeriksaan, bangunan pemeriksaan kargo, bangunan utilitas, monumen, gerbang kedatangan dan keberangkatan, serta hardscape dan landscape kawasan yang diharapkan dapat melayani hingga 360 pelintas per hari sampai dengan tahun 2025.
“Saat ini kami belum bisa melayani kendaraan angkutan umum untuk keluar masuk karena pihak Malaysia belum mempunyai unit pelayanan asuransi,” kata Kepala PLBN Badau, Agato Limat ditemui Rabu, 7/11/18. Menurutnya kendaraan angkutan umum seperti Damri hanya sampai Pasar Badau. Penumpang turun, dan tujuan Kuching bisa menaiki kendaraan umum Malaysia yang menunggu di Border Lubuk Antu. “Kita punya unit pelayanan sudah lengkap semua. Tinggal menunggu pihak Malaysia. Katanya tahun 2019 sudah bisa seperti Border Entikong-Tebedu,” lanjutnya seraya mengatakan bahwa dia mengikuti pertemuan di Kota Kuching tentang kesiapan Malaysia memenuhi unit pelayanan asuransi di bagian imigrasi Lubuk Antu.
Kondisi pelayanan di PLBN Badau belum sibuk seperti Border Entikong. Dibuka pukul 07.00 dengan kesibukan pelintas lokal. WNI lebih banyak ke Lubuk Antu untuk bekerja atau membeli barang makanan. Adapun pelintasan ciri khas Border Badau adalah mobil tanki CPO. 15-30 unit per hari.
Presiden RI Joko Widodo beserta ibu negara dan rombongan meresmikan PLBN Terpadu Badau pada Kamis (16/3/2017). Dengan dibukanya pintu perbatasan ini, Presiden Jokowi berharap Indonesia bangga punya wajah terdepan bangsa yang qualifide. Tidak hanya Badau, tapi juga tujuh border di seluruh Indonesia.
Saat saya berkunjung 6-9/11/18, Kementerian PUPR sedang menyelesaikan pembangunan PLBN Tahap II yakni zona sub inti dan pendukung dengan kotrak multiyears 2017-2018 sebesar Rp 167 miliar. Kegiatan ini berupa perumahan petugas kepabeanan, keimigrasian, karantina, dan pengamanan, rumah ibadah, tempat makan, Wisma Indonesia, gedung serbaguna, kantor pengelola, serta pekerjaan pendukung lainnya.
Demi melihat bangunan Wisma Indonesia dll di tahap kedua ini saya berdecak kagum. 65 unit rumah yang dibangun untuk petugas sudah layaknya cottage di Hotel Putri Duyung, Ancol, Jakarta.
“Saya sudah tak sabaran menggunakan rumah dinas ini,” kata Mat Tohir, staf PLBN. Warga Jeruju Kota Pontianak ini mengaku, “tempo doeloe” dia setiap tiga bulan jengah dan tidak betah, selalu pulang kampung. “Kini, saya mau angkut anak dan istri pindah ke Badau,” akunya. Mat Tohir bangga membawa kami keliling gedung-gedung baru, juga masuk ke dalam rumah ala Putri Duyung, Ancol.
Rumah dinas telah menunggu dengan segenap fasilitasnya yang aduhai punya. Listrik solar cell untuk penerangan kompleks, tata ruang yang nyaman, dan arsitektur yang cantik.
“Kami tidak membongkar rumah penduduk. Lokasi border Badau ini luas sehingga leluasa untuk dikembangkan sebagai kota mini yang modern,” kata Manager Konstruksi Nurcahyo.
“Menurut rencana, Wisma Indonesia ini akan diresmikan Presiden tahun 2019,” lanjut Nurcahyo.
Saat peresmian PLBN Terpadu Badau bersama Presiden, Menteri PUPR Basuki menjelaskan, anggaran yang dikeluarkan untuk pembangunan tujuh PLBN sebesar Rp 943 miliar. Tujuh PLBN Terpadu yakni PLBN Entikong, Badau, dan Aruk di Provinsi Kalbar, serta PLBN Motaain, Motamasin, dan Wini di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan PLBN Skouw di Provinsi Papua. Adapun Dirjen Cipta Karya Sri Hartoyo menuturkan, pengembangan ekonomi di Badau harus dilakukan menyeluruh.
“Kota Badau sendiri pusat ekonominya sudah ada, tinggal kita kembangkan misalnya melalui pembangunan jalan lingkar yang akan menumbuhkan permukiman-permukiman di sekitar. Pengembangan lainnya juga membutuhkan dukungan lintas sektoral,” ujarnya.
Selain PLBN, Kementerian PUPR juga membangun Jalan Lintas Perbatasan RI-Malaysia, khususnya Jalan Perbatasan yang dilakukan secara swakelola bersama Satuan Zeni TNI AD untuk membuka kawasan yang masih terisolir di perbatasan.
Selain itu infrastruktur permukiman untuk mendukung kawasan perbatasan Badau dengan alokasi APBN Rp106,6 Miliar dengan progres konstruksi saat ini sebesar 95 persen , dan akan selesai akhir tahun ini.
Ke Badau, kini memang bikin betah. Landscape lahan perbukitan yang indah disinari mentari pagi atau kala terbenam. Apalagi saat malam diterangi lampu dan bintang gemintang. Anda mungkin pangling, ini Indonesia bukan?
Untuk memaknai pembangunan yang “gila-gilaan” ini, tokoh masyarakat Badau yang juga pelaku bisnis konstruksi, material, hotel dan kuliner, Hidayat menyerukan agar generasi muda Badau harus siap.
“Mari kita kerja keras membangun ekonomi demi meningkatkan kesejahteraan, jangan seperti anak ayam mati di lumbung,” serunya. “Kita harus jadi tuan rumah di negeri sendiri,” tambah Hidayat. *