Oleh: Hendrikus Adam
Malam masih terasa sejuk dengan rintik gerimis yang membasahi kota Pontianak hingga daerah sekitar Jalan Trans Kalimantan. Setiba di rumah sahabat, saya disambut hangat sambil diberi kain untuk menyeka basah. Pada saat bersamaan, saya pun ditawari mengenakan sarung.
Sambil ngobrol, pisang masak hijau telah tersaji di atas meja. Bung Abdoel Hamid sigap, teh panas yang diracik segera disuguhkan. Sambil ngobrol, madu hutan yang diseduh air hangat pun turut disuguhkan untuk melonggarkan tenggorokan yang didera batuk. Akh saya serasa diperlakukan istimewa. Kami memang lama tak bersua.
Tak lama berselang, buku “Khasanah Budaya Madura Kalimantan Barat” yang baru saja diluncurkan beberapa hari lalu pun dikeluarkan dan dibolehkan untuk dibawa pulang.
Pada saat inilah, sarung ala Santri pun saya kenakan. Hasilnya seperti pada gambar. Bila dilihat dari bagian bawah sarung dengan jaraknya tidak terlalu jauh dari lantai yang saya kenakan, menurut Bung Abdul Hamid kategori ‘sarungnya Kiyai’. Akh, kami pun saling tertawa.
Pada bagian buku di halaman 100 -103, ternyata ada ulasan singkat bagaimana sarung lekat dengan keseharian orang Madura. Ternyata proses pemasangan sarung pun ada tekniknya. Dan pemasangan sarung yang saya lakukan masih amatiran. “Santri baru,” seloroh pria berdarah Madura yang disambut tawa antar kami.
Proficiat ya atas penerbitan bukunya. Dan terima kasih untuk jamuan minuman, buah pisang juga buku yang boleh dibawa pulang dengan harga (meminjam istilah bahasa Malaysia) percuma.