Oleh Novie Anggraeni
Bahasa merupakan identitas diri. Saya baru menyadari bahwa setiap orang dapat kita ketahui identitas sukunya dari bahasa yang ia gunakan. Dari logat bicaranya saja sudah bisa menggambarkan identitas orang tersebut.
Akan tetapi, bagaimana dengan orang yang tidak dapat dikenali identitasnya melalui sebuah bahasa yang ia gunakan?
Karena kebanyakan orang kini mengabaikan pentingnya bahasa ibu yang mereka gunakan untuk generasi mendatang. Saya contohnya. Seorang yang berasal dari suku Bugis, namun tidak mengetahui atau memahami bahasa Bugis.
Miris memang! Padahal adat istiadat masih kental saya rasakan ketika ada acara yang mengharuskan untuk menggunakan adat suku Bugis.
Saya teringat sebuah kalimat saat saya masih duduk di bangku SMA. Ada teman saya yang bertanya menggunakan bahasa Bugis yakni “Aga Kareba?”
Saat itu, saya sangat tidak mengerti maksud dari kalimat itu. Barulah saya paham ketika diberitahu oleh nenek saya yang merupakan keturunan Bugis tulen bahwa “Aga Kareba?” merupakan kalimat sapaan yakni, “Apa Kabar?”
Hal ini membuktikan, lemahnya kita memahami sebuah bahasa akan ikut mempengaruhi jalan komunikasi yang ingin dibangun.
Saya juga memiliki pengalaman ketika membantu nenek ke kebun untuk mengambil ubi kayu. Saat itu, nenek bertemu dengan temannya. Kemudian mereka terlibat perbincangan menggunakan bahasa Bugis. Dan tentu saja saya hanya melongo, tidak mengerti apa yang mereka bincangkan.
“Ni, angkotkan lame tuh?” ucapnya menyuruhku mengambil lame.
Apa itu “lame”? Saya tidak tahu, tetapi coba menebak. Dengan bodohnya saya pun mengambil pucuk daun singkong yang sudah terikat. Nenekku dan temannya pun menertawaiku. Ternyata yang nenekku maksud “lame” itu adalah singkong atau ubi kayu.
Banyak faktor yang menyebabkan kurangnya penggunaan bahasa ibu. Mungkin dari diri sendiri yang tidak ingin belajar memahami karena minder, lingkungan yang kesehariannya menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa Melayu, serta jarangnya penggunaan bahasa ibu di rumah.
Hingga akhirnya kini saya menyesal karena tidak mengenali bahasa ibu yang seharusnya menjadi identitas diri saya. Saya pun mulai mencoba memahami bahasa ibu saya yakni bahasa Bugis dengan lebih banyak bertanya dengan orang yang lebih tahu bahasa Bugis. (*)