Oleh: Nur Iskandar
Kadang kita kurang menghargai sesuatu di dekat kita, ketika jauh baru terasa. Seperti lambang negara, di negeri sendiri — agak — kurang dihargai, buktinya Sang Perancangnya — Sultan Hamid II Alkadrie belum diakui Presiden RI sebagai Pahlawan Nasional — padahal di luar negeri ia amat sangat dihargai dan dibanggakan. Saya bersama Konsul di Kuching, Malaysia pun bangga foto di latar Lambang Negara idiologi Bangsa kita Pancasila. Pun begitu saat Menteri Luar Negeri dijabat Dr Marty Martalegawa era Presiden SBY. Di masa Beliau Kementerian Luar Negeri RI mencari siapakah gerangan sosok perancang lambang negara nan indah ini? Sebab tidak jelas diterakan buku-buku sejarah nasional.
Teliti punya teliti. Sulur galur sampai ke sumur dan kasur, “rupehe” karya Negarawan dari Bumi Kalimantan — khususnya bagian Barat–masygulnya dicap pengkhianat. Di Negeri Jiran sastrawan saja dihargai di tempat tertinggi–bahkan Guru Ngaji. Di atas saya bilang — agak kurang dihargai — sebab Lambang Negara itu kita pasang tinggi-tinggi–kita punya IDIOLOGI. Ini sekelumit kisah dari sebelah Negeri. Semoga menyumbang perspektif lain agar kita di NKRI ini lebih bijak melihat diri sendiri. *