Oleh: Dian Alqadrie
Ayahanda Prof Syarif Ibrahim Alqadrie, Syarif Achmad bin Syarif Muhammad Alqadrie juga menjadi korban keganasan tentara Dai Nippon Jepang pada masa Perang Dunia Kedua.
Beliau adalah seorang ahli sketsa bangunan perkantoran, istana, rumah sakit, kopol, pasar, mesjid, termasuk fasilitas umum serta ahli menulis plank kantor (zaman dulu belum dikenal design sablon dan mesin cetak dan komputer). Kalau boleh dikatakan arsiteknya zaman dulu.
Keahliannya itu merupakan jalan baginya bekerja di pemerintahan kala itu yang saat ini setara dengan kantor dinas Pekerjaan Umum.
Kemahirannya memperindah bangunan bangunan bersejarah untuk direnovasi juga salah satu aktivitas yang sangat dicintainya.
Bahkan, saat beliau menjadi salah satu sasaran genosida yang dilakukan oleh tentara Jepang di belahan Barat dari bumi Kalimantan. Beliau masih dan sedang merenovasi istana Muliekerte, kesultanan Matan di Kecamatan Benua Kayong, Kabupaten Ketapang.
Saat tahun 1990-an awal, ketika team Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) cabang Kalimantan Barat bersama Prof Syarif Ibrahim Alqadrie membuat rumusan arsitektur khas Kalbar yang akan digunakan sebagai acuan dan peraturan hukum untuk membangun bangunan berarsitektur dan bercirikan identitas Kalbar di provinsi ini.
Mereka masih menemukan bukti bangunan dan para narasumber yang menjelaskan bahwa Syarif Achmad Alqadrie berhasil menyelesaikan kegiatan merenovasi istana Muliekerte sebelum beliau kembali ke kota kelahirannya, Pontianak.
Karena pada saat itu, beliau memperoleh informasi dari Pontianak bahwa kelima anaknya yang masih kecil dan isterinya yang sedang mengandung bakal janin yang diberi nama Syarif Ibrahim Alqadrie akan dibunuh Jepang atau sedang ditawan Jepang apabila Syarif Achmad (masyarakat mengenalnya dengan sebutan Wan Achmad Jawi untuk mengidentifikasikan dirinya dengan orang yang bernama sama) tidak segera menyerahkan diri.
Bagi beliau bisa saja saat itu, beliau menyelamatkan diri pergi ke perhuluan atau pedalaman negeri Ketapang, melainkan Syarif Achmad berpendapat itu adalah tindakan pengecut seorang lelaki yang mengorbankan anak dan isterinya.
Akhirnya, setelah beliau menyelesaikan pengecatan istana Muliekerte yang saat team IAI Kalbar dan anak kandungnya, Syarif Ibrahim Alqadrie, melakukan survei, cat istana itu masih seperti warna yang dihasilkan oleh tangan sang ahli sketsa, Syarif Achmad. Beliau pun memutuskan menghadapi Jepang di negeri Pontianak.
Malam, seminggu setelah Syarif Achmad pulang kembali ke kota Pontianak, Beliau yang tak pernah lepas dari kopiahnya atau songkoknya, mendapat pertanda di saat terlelap di istirahat malamnya.
Kopiah itu terbang melayang layang berputar dihadapannya, ia berteriak-teriak saat pertanda itu datang dan sang isteri membangunkannya untuk memintanya istifar dan sholat malam.
Beliau pun menceritakan pertanda itu kepada sang isteri dan mengatakan tak lama lagi Jepang akan menangkapnya.
Keesokan paginya, beliau meminta isterinya membuatkan sayur kesukaannya dan berpesan akan menyantapnya di siang hari itu bersama sama keluarga kecil yang dicintainya.
Kepala keluarga itu berpesan, apabila waktu makan siang ia belum juga pulang, sang isteri diminta untuk tidak menunggunya dan makan duluan.
Seperti biasanya, pagi itu beliau pergi ke kantor nya yang saat itu berlokasi di gedung lama SMN1 Pontianak. Kantor itu bertingkat dua dan terbuat dari kayu Belian dan beratap sirap. Bangunan berstruktur kayu besi murni yang gagah dan kokoh. Itu juga merupakan salah satu hasil goresan sketsa tangannya yang sangat halus penuh cinta seperti kelincahan jari-jemarinya yang piawai menggesekkan tali senar biola.
Waktu terus bergulir, terik sengatan matahari di tengah hari mulai bergeser ke Barat, namun Wan Achmad Jawi tiada pula kembali untuk menyantap sajian makan siangnya. Sang isteri mulai gelisah. Sajian itu tidak jua disentuhnya, meskipun sang suami telah berpesan untuk mendahuluinya apabila tengah hari telah berlalu. Ibu Prof Syarif Ibrahim Alqadrie tetap menanti, sebagaimana petuah orangtua dahulu kalah untuk menemani suami makan bersama, pantang isteri mendahuluinya.
Adzan Ashar pun berkomandang sayup sayup dari mesjid tua tak jauh dari gang rumah mereka, tepatnya di depan tembok lintang dua atau jalan Merdeka saat ini.
Suara adzan pun berteriak nyaring bersahutan di segala penjuru kediamannya yang berasal dari beberapa langgar di gang Nurden gang Klenteng, bahkan langgar di seberang parit lintang dan parit bujor.
Namun sang seniman itu tak juga menampakkan bayangan tubuhnya yang tinggi, tegap dan rupawan. Sajian itu tak jua disentuh oleh sang isteri.
Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang telah terjadi mengingat kerabat, kenalan, tetangga se kampung satu demi satu disungkop oleh Jepang. Ada yang sedang sholat, ada yang sedang mengajar, ada yang sedang berkebun, ada yang sedang melakukan pertemuan tersembunyi, ada yang sedang minum kopi baru dua tiga teguk lalu disungkop untuk dibawa ke tempat eksekusi jadilah dikenal sebagai kopi pancong, khas Kalbar.
Ada yang sedang mancing di steheir, ada yang sedang mandi di tepian kopol kampong, ada yang sedang bergerilya ke belah Rimba sungai Jawi seperti tahun sebelumnya sang suami pun melakukan gerilya disana tiada pulang-pulang hingga digelari Wan Achmad Jawi. Banyak lagi kisah, satu persatu para lelaki raib disungkop oleh Jepang.
Selepas sang isteri melaksanakan sholat ashar, ibu muda itu pun menyusul sang suami ke kantornya tak seberapa jauh dari rumah petaknya yang sangat sederhana tetapi nyaman untuk ditinggali, ikut serta anak lelaki keempatnya yang berusia empat tahun dan anak perempuan kelimanya yang masih berusia dua tahun dalam gendongannya.
Sesampainya di kantor, sang ibu bergegas menaiki anak tangga teras bangunan. Mereka disambut oleh salah seorang teman sang suami yang langsung mengabari tragedi eksekusi yang dialami oleh pegawai kantor itu.
Ibu itu pun jatuh terpeleset dari anak tangga itu bersama anak perempuan yang bernama Syarifah Seha Alqadrie dan yang masih berada di dalam dekapnya.
Jatuh terduduk hingga ke tanah yang penuh jejak-jejak sepatu laras tentara dan tetesan peluh dan darah anak negeri Katulistiwa.
Sang bocah lelaki itu yang bernama Syarif Hamid Alqadrie segera menggeser posisinya di bawah kolong bangunan tak jauh dari tangga kayu dan posisi ibunya yang terkulai di hamparan tanah.
Dua belas tahun ke atas, para terpelajar, tokoh agama, saudagar, kerabat kesultanan, tokoh masyarakat dan bangsawan habis dibantai untuk suatu rencana pembangunan pangkalan angkatan laut Jepang. Nasib daerah terjajah mengalami nasib yang sama seperti di Serawak dan Labuan, Malaysia juga Manchuria.
Semenjak saat itu, sang ibu harus berjuang membesarkan kelima anaknya dan janin yang ada di dalam rahimnya.
Apakah mereka para keluarga korban berteriak dan membalas rasa kehilangan kepada bangsa yang melanggar hak hak kemanusiaannya dan bangsa lain yang datang dan mengulurkan tangan untuk bersama membangun kembali kehancuran akibat keserakahan manusia ?
Apakah kami pernah membalas rasa sakit ini kepada saudara saudara kami yang lain?
Apakah kami pernah melanjutkan dendam dan kemarahan kami kepada mereka yang mengaku saudara tetapi menjadi jalan bagi penjajahan Jepang terjadi di Nusantara ini?
Apakah kami pernah berkeluh kesah dengan pemerintah pusat meskipun stigma negatif masih saja disematkan kepada daerah dan diri kami ?
Bahkan dari sejak awal orang tua kami berlapang dada menerima musibah ini sebagai ujian keimanan, tanpa harus mengajarkan dendam kepada keturunannya.
Bahkan anak yang tak pernah melihat sosok ayahnya dari sejak dalam kandungan akibat keganasan tentara Dai Nippon mampu berlapang dada, menyambut kedatangan di kediamannya dan menyambung niat baik generasi baru dari negeri Sakura itu untuk tujuan kemanusiaan di negeri yang diperjuangkan ayah dan para leluhurnya.
Maaf adalah karakter yang ada di hati Wan Achmad Jawi yang dipesankan kepada sang isteri untuk dilanjutkan kepada anak anak keturunannya.
Sifat maaf dan memberi tanpa berbalas, meskipun harus mengorbankan jiwa, raga dan harta.
Hingga beliau wafat tak ada satu pun harta benda yang ditinggalkannya untuk keluarga kecilnya, hanya semangat dan dedikasi yang menjadi contoh bagi keluarganya.
Apakah kehidupan mereka yang ditinggalkan menjadi sangat hina ?
Alhamdulillah, keadilan milik Allah.
Justru mereka yang haus kekuasaan dan kekayaan dengan cara menjual harga diri dan mengorbankan saudaranya sendiri untuk menjadi kaki tangan Jepang justru hidup dalam neraka dunia yang mereka ciptakan dari sifat dengki dan tamak.
Jiwa seni dari sosok Wan Achmad Jawi yang tiada pernah mengkhianati suara hatinya untuk tetap berkarya dan berjuang bagi nilai nilai kebaikan yang diyakini ya untuk kemaslahatan ummat dan alam negeri tumpah darahnya ini.
Jiwa seni yang tetap dilestarikannya dimana pun ia berada untuk tetap memberi kebaikan dan menerima segala kekhilafan dari siapapun yang memerlukannya, kompromis.
Benar adanya, jiwa seni, Syarif Achmad adalah seorang seniman tulen. Seorang vionies yang mampu menghanyutkan hati setiap pendengarnya tidak saja seorang wanita tegar berkarakter tegas, Maimunah binti Taher, anak didik Pangeran Adipati Tua Syarif Husein bin Sultan Syarif Hamid I, seorang Pemimpin Pergerakan Kaum Kampung Luar, telah jatuh cinta kepada kesyahduhan irama dari hasil gesekan biolanya.
Sang Pemimpin pergerakan yang ditakuti oleh Belanda dan Jepang bahkan disegani oleh sang keponakan Sultan Muhammad pun tak mampu menolak kegigihan hati sang seniman itu untuk menjadi seorang informan bagi pergerakan kaum Kampung Luar melalui kepiawaiannya memainkan biola.
Sang vionies itu mendedikasikan hidupnya untuk suatu nilai hidup yang diyakininya.
Di pagi hingga petang hari, beliau menuangkan karya sketsa bangunan, komposisi skala dan warna, serta tulisan plank bangunan.
Di malam hari, sang seniman membisikan komposisi irama biolanya di cafe, bar, gedung pertemuan bahkan di rumah-rumah para pembesar Belanda dan Jepang hanya untuk membaca gerak gerik dan berbagai rencana yang dapat merugikan rakyatnya. Suatu informasi berharga yang dapat ia berikan kepada para pejuang kaum Kampung Luar.
Darah dan semangat perjuangannya telah mengalir di setiap relung dan ritme nadinya seperti sang Moyang Pangeran Syarif Hamid Alqadrie yang dibuang oleh Belanda di Batavia. Sang moyang dimakamkan di komplek Mesjid Jamik Angke bersama para syuhada lainnya seperti Tu Bagus Angke.
Sedangkan dirinya hingga saat ini tiada diketemukan jasadnya dan dikuburkan bersama sama para syuhada lainnya di pemakaman massal Mandor, korban keganasan tentara Dai Nippon.
Wassalam
Pontianak, 3 Oktober 2020
di Kampung Parit Besak belah Darat, parit melintang Belah Hilir, gang Nurden.
Tulisan dari Roosandrie Dean Viejaya