in

Pasinaon: ‘durung Jawa’

leo

Oleh: Leo Sutrisno

Dalam pandangan orang Jawa, tindakan yang tepat itu hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang telah memiliki sikap batin yang tepat serta mengetahui tempatnya terhadap sekitarnya dan terhadap dunia dengan tepat. sebaliknya, seseorang yang masih mengikuti pengaruh napsu-napsu dan pamrihnya akan melalaikan kewajibannya (dan tidak peduli) terhadap kerukunan dan kedamaian sekitarnya. Mengapa? Karena yang bersangkutan belum mengerti akan tempatnya (posisinya) dalam lingkangannya. Dalam kasanah budaya Jawa ia disebut ‘durung Jawa’- belum (menjadi orang) Jawa.

Sikap-sikap seperti ‘tidak peduli’, ‘angkuh’, ‘sombong’ dsb, oleh orang Jawa tidak dianggap ‘salah’ tetapi dianggap ‘belum mengerti’- ‘belum tahu’. Yang bersangkutan belum mengerti ‘tempat’-nya terhadap sekitarnya. Karena itu, ia masih dapat dipengaruhi oleh napsu-napsu dan rasa egonya. Ia dianggap masih ‘bodho’ – belum mengerti.

Sebaliknya, orang yang ‘sudah mengerti’ tempatnya yang tepat terhadap sekitarnya dan memiliki sikap batin yang juga tepat (sepi ing pamrih) tentu tindakannya tepat. orang seperti itu dianggap sebagai orang Jawa sejati, orang Jawa yang sudah matang, “wis dadi wong”. Mereka yang ‘wis dadi wong’ akan bertindak sesuai dengan tata krama kesopanan (Jawa). Ia juga akan bertutur kata dengan tata tutur yang tepat (ngoko, krâmâ, krâmâ inggil /ada 14 tingkat tata tutur dalam bahasa Jawa).

Dengan konteks semacam ini, pandangan orang Jawa terhadap sikap dan tindakan seseorang tidak ditempatkan dalam ‘benar’ atau ‘salah’. Tetapi, digunakan istilah ‘durung Jâwâ’ atau ‘durung ngerti’ dan ‘wis dadi wong (Jawa)’ atau ‘wis ngerti’. Mereka yang ‘sudah mengerti’, yang ‘sudah menjadi orang (Jawa)’ berkewajiban memberi tahu orang-orang yang belum Jawa supaya menjadi Jawa.

Bagi mereka yang bukan berdarah Jawa tetapi bersikap dan bertindak tepat sesuai dengan tempatnya (menurut ukuran adat Jawa) disebut ‘njawani’. Artinya, telah berbuat seperti orang Jawa. Sebaliknya, bagi orang Jawa yang sampai usia lanjut seperti saya ini (pen.) yang bertindak tidak sesuai dengah tata krama dan sopan santun Jawa disebut ‘dudu Jâwâ’ – bukan Jawa.

Cara pandang seperti ini, ‘durung – wis’, ‘belum – sudah’, menunjukkan bahwa etika Jawa itu bersifat relatif. (tidak mengenal benar – salah). Tidak mengenal ‘kemutlakan’. Etika relatif orang Jawa ini dalam hidup nyata itu dipelajari dari ‘etika wayang’.

Dalam wayang, tidak ada satu pun karakternya yang disalahkan mutlak atau dibenarkan mutlak.Ambil sebagai contoh, tokoh Adipati Karno. Ia adalah abang sulung dari para Pandawa (satu ibu). Tetapi, ketika terjadi perang Barata Yuda, Karno memilih menjadi panglima perang kerajaan Hastina. Akibatnya, ia harus berperang (hidup-mati) melawan adik-adiknya (Pandawa). Walaupun begitu, masyarakat tidak menganggap Karno salah. Karena, menurut penjelasan Karno, ia memilih melawan adik-adiknya untuk menjaga agar Pandawa tetap berlima, entah dia yang mati atau entah salah satu adiknya yang mati dsb.

Dalam hidup nyata, sehari-hari, juga begitu. Masyarakat jawa tidak memenyebut suatu tindakan seseorang pada ‘benar’ atau ‘salah’, tetepai dalam istilah ‘durung bênêr’ dan ‘wis bênêr’. Artinya, ada ruang untuk pendangan yang lain. Tidakan yang ‘durung bênêr’ karena yang bersangkutan ‘durung Jawa”. Sebaliknya, tindakan ‘wis bener’ berarti yang bersangkuta ‘wis dadi wong (Jawa).

Mangga ka-oncekana
16-2-2019, Pakem Tegal, Yogya
Nuwun

Written by teraju

WhatsApp Image 2019 02 16 at 10.19.51

AMSI Payungi Pegiat Media Siber Indonesia

IMG 20190217 151647 473

Dampak Tergelincirnya Lion, Penumpang Menumpuk, Penerbangan Delay