Oleh: Nur Iskandar
Setiap pagi mengantar anak ke Perguruan Mujahidin saya selalu melewati rumah besar dan megah milik politikus santun “Pak LHK” kawasan Jl MT Haryono-Pontianak. Kawasan elit yang berhadapan dengan Stadion Sultan Syarief Abdurrachman Alkadrie–pusat Car Free Day dan pertamanan.
“Apa kabar gerangan sentua tuk ya?” Begitu selalu terbetik dalam hati, sampai pada Senin, 1 Maret 2021 saya dikejutkan dengan kabar duka, bahwa politikus santun yang dekat dengan para wartawan itu telah menghembuskan napas terakhirnya di ICU RS Santo Antonius karena sakit, dalam usia 79 tahun.
Saya terkenang kala menikmati bubur kacang hijau bersamanya di rumah warna krem gading itu. Di salah satu sudut favoritnya membaca koran dan meneduhkan keringat setelah berolahraga pagi. Sudut ruangan yang menghadap ke taman.
Ya, Pak LHK sejak pensiun dari jabatan Wagub, tetap menjaga vitalitasnya dengan berolahraga dan tetap rajin membaca. Salut. Tak ada gurat stress sama sekali di kala banyak pensiunan mengalami penyakit bernama “post power syndrome”. Justru sudut sudut analisisnya, yang saya ikuti sepanjang wawancara tetap tajam. Dan lebih meneguhkan penghormatan saya kepadanya adalah, selain kritis dan tajam menguliti keadaan sosial-politik dan ekonomi, Beliau kuasa menampilkan sikap bijak. Yakni bijaksana–bijaksini–lues dalam kebijaksanaan serta pergaulan lintas etnis maupun agama. Pada dirinya ada figur kebapakan. Figur yang melindungi dan mengayomi. Figur yang menyatukan. Oleh karena itu saya secara pribadi merasa amat sangat kehilangan tokoh hebat Kalimantan Barat yang satu ini.
Pak Laurentius Hermanus Kadir oleh Gubernur Kalbar (2003-2008) H Usman Ja’far kerap memperkenalkannya sebagai “Pak Long Haji Kadir” sehingga audience segera membuncahkan tawa, termasuk tentulah Pak LH Kadir sendiri. Segar bugar dalam ingatan saya senyum mendiang dengan pipi tembem, perut agak buncit karena postur Beliau memang gemuk-padat-berisi, serta gigi seri yang rapi, di mana kala tersenyum simpul, maka tenggelam seluruh bola matanya. Sisiran rambutnya? Wale, rapih. Necis. Semua rebah dengan cara sangat terhormat dengan semiran mengkilap. Kami kerap mengguraui Beliau, “Semut lewat jak tuh Pak bise meluncor jatok.” Beliau tertawa seraya menasehati kami yang muda-muda, bahwa itu hasil didikan ala militer di APDN kampus dan almamaternya. Beliau lulus tahun 1968. Kampusnya tetap eksis di kawasan Jl Sumatera. Dekat SMAN 1 Pontianak.
Kedekatan Pak LHK kepada wartawan bukan karena uang. Bukan karena jaminan. Tetapi murni persahabatan. Beliau tulus dan lurus tanpa beban. Tidak sulit untuk meneemui Beliau di ruang kerjanya, karena bersifat alami. Wartawan pun suka tipe pejabat macam Pak LHK. Kenapa? Mudah dikonfirmasi. Ia juga sedia diwawancarai sambil berjalan. Baik menuju mobil atau turun dari mobilnya. Door step interview selalu di-oke-kannya. Santuy….
Soal kisah Long Haji Kadir yang melebatkan senyum publik ini karena disebabkan nama Kadir identik dengan nama Melayu. Melayu identik dengan agama Islam. Padahal Pak LHK beragama Katolik. Beliau lahir dari perbatasan hulu Kalbar. Masa kecilnya saya dengar langsung dari kisah-kisah nan meluncur dari bibirnya sangat berat, yang kalau dituliskan dengan “narrative reporting” kelas wahid, maka tak kalah dengan kisah Lintang dalam seri Laskar Pelangi. Sebut saja pertaruhannya sekolah bolak-balik 6 km kala SD berhadapan dengan buaya bermata biru. Bolak-balik terkadang dengan sampan merayapi riam. Sungguh sesuatu yang sangat menampar kesantaian anak-anak muda belia Kalbar dan Indonesia saat ini yang dimanjakan dengan jalan mulus beraspal serta kendaraan bermotor.
“Dulu masa kami kecil, orang orang Islam sudah maju. Maka nama kami diambil dari nama tokoh daerah yang kaya-kaya, berpendidikan, supaya kami juga bisa seperti mereka. Maka nama saya Kadir. Banyak nama orang Dayak masa lalu itu nama-nama Islam,” kenangnya.
Dari sanalah LHK disematkan sebagai Long Haji Kadir oleh rekan-rekannya sesama birokrat. Hebatnya Pak LHK santai dan santuy dalam kelakar tersebut, sama sekali tidak ada rasa tersinggung malah larut dalam keharmonisan dan keselarasan. Jargon politik LHK bersama UJ waktu itu memang mengusung trisimetri, “Harmonis dalam Etnis. Tertib dalam Pemerintahan. Maju dalam Usaha.” Mereka bersatu dan berpadu. Era UJ-LHK Kalbar terbukti aman dan nyaman.
Kenapa politik santun? Saya dalami ketika menulis buku biografi Drs Cornelis, MH, kepala daerah Landak dua periode yang memenangkan kontestasi politik Gubernur. Ia mengalahkan UJ-LHK di tahun 2008.
Kala menulis biografi Cornelis, saya bersinggungan perahu PDIP. Rupanya sosok yang disasar PDIP untuk cagub mewakili etnik Dayak no wahid adalah LHK. Terimakah LHK? yang saat itu dilamar Pak Cornelis? Rupanya Beliau tidak aji mumpung. Beliau dengan santun menyampaikan kepada Cornelis, bahwa dia sudah diminta UJ tetap mendampinginya di periode kedua. Sehingga saat itu Cornelis yang baru saja usai pesta demokrasi di Landak, banting stir ambil posisi pertaruhan di KB-1 karena LHK menjalankan politik santun bermitra dengan UJ apapun hasilnya.
Ternyata UJ-LHK kalah. Bersama menerima kekalahan dengan Akil Mochtar dan OSO. Pemenangnya justru Cornelis-Christiandy.
Saya belajar banyak bagaimana orang super sibuk seperti LHK kemudian mengisi waktunya dengan olahraga, baca, bahkan mengurus taman secara mandiri. Hebat sekali.
Wafatnya Drs Laurentius Hermanus Kadir meninggalkan legacy kepada kita untuk terus menjaga harmoni lintas etnis dan agama di Kalbar dan Indonesia tanpa kehilangan identitas diri. Bahwa kita boleh lahir dari perbatasan di pedalaman, dihimpit riam dan bebatuan serta lebatnya hutan sekalipun, tapi semangat belajar pantang menyerah. Meraih prestasi tertinggi dalam berbagai dinas dan instansi, termasuk pentas politik kenegaraan.
Sementara itu di dalam mengemban amanah berat kekuasaan selalu jujur, tulus dan lurus tanpa topeng. Sehingga banyak orang yang suka sekaligus dengan kepergiannya banyak yang merasa kehilangan. Termasuk wartawan yang sejak dulu mudah untuk mendapatkan konfirmasi dari narasumber valid demi menjernihkan informasi yang tempo doeloe mudah dipenuhi isu-isu provokasi. Bahasa kita kini adalah berita hoaks, bohong dan fitnah.
Pak LHK meninggalkan legacy yang sangat berharga. Semoga kita bisa meneruskan estafeta anak negeri yang satu ini. Selamat jalan Pak LHK. Rest in Peace. *(Foto dok internet saat cabut undi kontestasi Pilgub di halaman KPUD Kalbar Jl Ahmad Yani, antara Kantor Gubernur dan Universitas Muhammadiyah Pontianak).