Selamat Jalan Bang Te(h) Tokoh Perdamaian Kalimantan Barat

12 Min Read

Oleh  Nur Iskandar *

Kabar duka cepat meluas. Tidak lagi dari mulut ke mulut, tapi dari gejet ke gejet, dari aplikasi ke aplikasi. Ratusan, bahkan ribuan ucapan belasungkawa untuk Prof Dr H Muhamad Haitami Salim, M.Ag, mantan Rektor IAIN Pontianak yang menghembuskan napas terakhirnya tadi malam sekitar pukul 21.15, Kamis, 20/4/17 di Rumah Sakit Umum Daerah dr Soedarso.

Tiada kata yang bisa diucapkan melainkan, “Innaa lillahi, wainnaa ilaihi roji’un.” Bahwa segala sesuatu datangnya dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Kita mesti menerimanya dengan lapang dan ikhlas sekaligus tabah.

Saya mengenal Haitami Salim saat sekolah dasar di Sungai Raya Dalam ketika beliau mengisi kegiatan Pelajar Islam Indonesia yang terkenal dengan singkatan PII. Saat era ’80-an, organisasi pelajar berlandaskan Islam ini sangat terkenal. Satu dua lagu bernada keimanan masih mengiang-ngiang di kuping, seraya bilamana didendangkan bisa meneteskan air mata. Haitami Salim mengajarkan lagu dan memberikan pandangan dengan mata berbinar-binar diiringi susunan kata yang sistematis lagi indah. Tampak sekali pemuda nan ganteng (rambut ikal bergelombang, kulit putih, dan cakep dipandang) ini pintar serta cerdas. Saya kemudian beruntung bisa lebih lama mengenalnya dalam lingkungan Perguruan Mujahidin.

Ketika saya menimba ilmu di SMP Mujahidin (1986-1989), Haitami yang akrab disapa rekan-rekannya sesama guru dengan kata “Bang Te” mengajar di MTs Mujahidin. Antara kedua sekolah (SMP dan MTs) berdapingan dan satu atap perguruan, bahkan satu pagar, yakni Mujahidin.

Kalau Haitami Salim memberikan wejangan saat upacara bersama, sangat mudah dipahami, dimengerti, bahkan ada satu bonus: yakni semangat. Semangat beliau luar biasa terasa “nyetrum” sehingga menular.

Ketika saya memegang OSIS dan mengatur jadwal akademik kegiatan Pesantren Kilat atau Orientasi Remaja Masjid Mujahidin, maka Bang Te selalu saya minta memberikan materi “Jihad Fi Sabilillah”. Demikian agar semangat perjuangan sekalian menemukan landasan teologis sekalian sosiologisnya plus nyetrum dan menular di kalangan peserta.

Dari interaksi penyajian materi sekira hampir 40-an tahun lalu itu, saya mengetahui kecerdasan lebih Bang Te. Selain pemahaman agama, juga semangat toleransi. Di mana terminologi jihad fi sabilillah tidak diterapkan dengan mata buta. Tak pelak, Haitami Salim menjadi rujukan media massa sebagai salah satu narasumber jika terjadi konflik berlatar suku atau agama di Kalimantan Barat.

Apalagi dalam perjalanan karirnya, Bang Te tidak hanya mengajar di Mujahidin, namun meningkat karirnya di IAIN Pontianak, bahkan menjabat Direktur (Rektor) di kampus agama terbesar di Kalbar tersebut. Ia juga menjabat sebagai Ketua Forum Umat Islam Kalimantan Barat yang amat besar peranannya dalam mengedepankan dialog bilamana ada konflik berkecamuk. Lebih spesifik lagi beliau dipercaya memimpin FKUB (Forum Komunikasi antar-Umat Beragama). Di dalam FKUB itu duduk di dalam pengurusnya seluruh tokoh agama yang ada di Kalbar.

Konflik terakhir yang massif di Kota Pontianak adalah terbentangnya spanduk di dua titik Kota Pontianak bernada pembubaran Front Pembela Islam (FPI). Media massa menyebut kasus ini sebagai Kasus Asrama Pangsuma. Ini karena Asrama Pangsuma yang berada di depan Rumah Sakit Santo Antonius di Jalan Penjara (KH Wahid Hasyim) diserang sekelompok orang.

Dus, massa berkumpul, polisi pasang barikade, dan dapat ditebak Kota Pontianak segera dilanda ketegangan berbasis idiologis etnis serta agama. Ini sudah menjadi penyakit laten di Bumi Kalimantan Barat. Jauh tempo sebelumnya banyak konflik berdarah-darah dari sebab amat sangat sederhana namun korbannya ratusan, bahkan ribuan nyawa.

Saat itu Kadispen Polda Kalbar dijabat Drs Mukson Munandar. Saya kontak, apakah beliau sudah tahu ada penyerangan di Asrama Pangsuma? Beliau mengatakan belum tahu. Maka dari komunikasi inilah kami para kuli tinta berkoordinasi dengan aparat. Saling isi mengisi informasi sekaligus merapatkan kekuatan dalam barisan agar Kalbar tetap aman.

Saya yang memimpin Harian Borneo Tribune saat itu mengirim seluruh wartawan kota, termasuk mahasiswa IAIN Jurusan KPI yang magang di kantor untuk meliput dari berbagai sisi. Salah seorang mahasiswa yang meliput itu kini sudah menjadi Guru TPA dan Pondok Pesantren, Hanafi Arifin.

Dalam hal konflik di atas saya banyak bertanya kepada Bang Te, bagaimana perkembangan massa di Pontianak Timur. Sebab beliau sangat ditokohkan di kalangan warga Pontianak Timur karena memang berdomisili di Tanjung Raya, kendati kedua orang tuanya berdiam di Kampung Bangka alias Bangka Belitung, Pontianak Selatan. Faktor kediaman menambah kuat ikatan kemasyarakatan.

Di tengah upaya serang menyerang ribuan massa dari dua kelompok berbeda, dan di tengah kehadiran Brimob Kelapa Dua, Jakarta yang tanpa ba bi bu mengamankan salah satu kelompok massa agar meninggalkan posko rumah adat (konon 1500-an orang diamankan ke Gedung Olah Raga), tokoh yang diminta mewakili massa Pontianak Timur untuk mengecek apakah rumah adat di bilangan Jalan Letjen Sutoyo benar-benar telah kosong adalah Bang Te. Beliau bersama aparat dan juga tokoh lintas etnis melangkahkan kaki masuk sekira pukul 01.00. Iya! Dinihari! (Tentu suasana batin dan fisik amat melelahkan sejak massa berkumpul dan membuat Kota Pontianak mencekam akibat saling agitasi demi menunjukkan salah satu kelompok lebih kuat).

Bagi saya, tugas Bang Te ini tidaklah mudah. Ibarat melangkah masuk mengantarkan nyawa. Betapa tidak. Di tengah kecamuk kata saling serang, dan senjata terhunus, beliau ditunjuk mewakili masuk ke wilayah “luar domain Melayu”. Walaupun rumah adat ini di samping kantor polisi. Walaupun didampingi Brimob Kelapa Dua yang terkenal sangar. Namun Bang Te menerima amanah berat tersebut. Dari mulutnya keluar kata via telepon kepada massa yang menunggu di Tanjung Raya, “Bahwa di sini klir,” katanya.

Kembali ke situasi genting, siapa bisa menjamin kalau ada yang meniup sumpit berisi peluru beracun? Siapa bisa menjamin ledakan bom atau penembak jitu? Tidak ada jaminan kecuali kadar dan kualitas ketokohan seseorang berlandaskan iman dan takwa ke haribaan Tuhan Yang Maha Kuasa demi mewujudkan perdamaian bersama melalui fasilitas aparat keamanan yang netral.

Berbekal dari pernyataan bahwa “di sini klir” maka massa di Pontianak Timur pun menarik diri. Sejak saat itu konflik vis a vis antara Melayu-Dayak tak pernah terjadi lagi.

Bang Te adalah tokoh yang bisa dipercaya. Massa FPI yang menyemut di Tanjung Raya bahkan ada yang sudah berjalan kaki ke Gajahmada dan Jl Veteran akhirnya membubarkan diri. Hal ini sesuai permintaan FPI yang merasa terusik akibat pemasangan spanduk bernada pembubaran FPI menyusul kasus Habieb Rizieq di Kalteng yang diusir sampai ke bandara, bahwa jika rumah adat di Sutoyo benar-benar telah dikosongkan, maka mereka juga akan menarik diri. Bang Te menjalankan tugasnya dengan baik dan paripurna.

Setelah kejadian itu, Bang Te saya dengar telah diakui sebagai guru besar. Ia menyandang gelar professor. Dan ketika saya menjadi moderator di rumah dinas wakil walikota soal pro-kontra nama Mujahidin sebagai Masjid Raya atau Masjid Agung menjelang peresmian rehabilitasi besar-besarannya oleh Presiden RI Joko Widodo, saya mempersilahkan Bang Te untuk bicara. “Silahkan Professor,” kata saya.

Bang Te dengan gaya bicaranya yang simple dan sistematis mengatakan bahwa gelar professor sudah dia dengar akan diberikan kepadanya, namun belum turun SK. “Dengan moderator menyapa seperti itu, semoga lebih cepat realisasinya. Terimakasih adinda Nur Iskandar,” ungkapnya waktu itu dengan bola mata menyipit, khas Bang Te.

Dua tiga tahun gelar professor disandang Bang Te beberapa kali saya dengar beliau sakit. Namun sakit itu dilawannya dengan penuh semangat bak jihad fi sabilillah. Beliau masih bisa tampil mengajar, riset dan seminar.

Salah satu seminar yang saya hadiri di mana beliau tampil menyajikan hasil risetnya, bahwa, katanya, “Kita meriset soal Melayu. Eih ujung-ujungnya semua pemateri yang dikira Melayu adalah Bugis. Di mana saya yang disebut Melayu keturunan Bugis. Pak Munir yang disebut Melayu keturunan Bugis. Begitupula Nur Iskandar. Pun disebut Melayu padahal Bugis,” ungkapnya berseloroh dan memantik tawa hadirin di salah satu kelas Gedung IAIN. Bang Te sendiri mengupas kearifan lokal “naek tojang”.

Kenapa sapaannya Bang Te? Saya mengenal beberapa saudara Bang Te. Mulai dari Bang Fahrul Razi, Ridwan, hingga adik perempuannya Maulidiya. Mereka mengatakan, “Orang Melayu punya panggilan tradisi. Kalau abangnya hitam disapa Pak Tam. Kalau putih? Ya Pak Teh.” Maka jadilah pria berkulit putih itu disapa Bang Te (Puteh).

Sebagai adik “idiologis” yang belajar banyak dari Bang Te, saya merasa teriris pula ketika beliau terserang sakit. Salah satunya adalah fertiligo. Di mana beberapa bagian pigmen kulitnya meluntur.

Namun satu hal yang kembali saya pelajari dari beliau. Bahwa ia ikhlas menerimanya dengan kemampuan tampil “all out” di muka publik. Ujian dari Tuhan itu bukan dia jadikan alasan untuk menghindari diri dari tugas sebagai tokoh yang mesti berkecimpung di tengah medan laga utamanya konflik yang menghantui Kalbar.

Kedua adalah kekalahannya saat kontestasi Pilkada Kota dengan sistem pemilihan langsung buat pertama-kalinya. Sebagai tokoh dengan dukungan akar rumput yang nyata, kandidat “Bang Te” yang berpasangan dengan sesama akademisi, Gusti Hardiansyah, sangat diperhitungkan.

Dalam konsep hingga debat kandidat, Bang Te “leading”. Namun hasil akhir berkata lain. Bang Te gagal. Sutarmidji yang berpasangan dengan Paryadi menang. Namun lagi-lagi kegagalan yang menyayat hati tidak membuatnya mundur teratur dalam kancah pembinaan sosial kemasyarakatan. Bang Te terus berkiprah sampai napas terakhir dihembuskannya.

Kepergian tokoh Kalbar yang relatif muda (lahir 1965/52 tahun) ini membuat tokoh Kalbar lainnya di bidang pendidikan, Dr Leo Sutrisno memanjatkan doa. “Selamat jalan Prof. Jasa dalam membangun kerukunan antarumat beragama sungguh besar.”

Pernyataan akademisi yang satu ini sungguh tidak berlebihan. Bahkan Bang Te benar-benar contoh teladan dari sosok yang bertanggung jawab atas terwujudnya perdamaian.

Jenazah Bang Te menurut kabar keluarga dibawa ke rumah duka milik orang tuanya di Gang Naisyah Jalan Sepakat 1 di antara Jl Adi Sucipto dan Ahmad Yani. Almarhum akan disholat jenazahkan di Masjid Raya Mujahidin bada Jumat, dan akan dimakamkan di pemakaman keluarga Kampung Banjar, Pontianak Timur.

Selamat jalan Bang Te, tokoh akademis, tokoh agama, sekaligus tokoh perdamaian di Kalimantan Barat. Keteladanan hidupmu yang penuh semangat serta pantang menyerah menjadi amal jariyah yang mengilhami banyak orang. Apalagi hari ini hari paling utama yang memesankan kejamaahan (Jumat). Insya Allah khusnul khotimah dan alam baru yang damai telah menanti dengan segenap kenikmatan dari Yang Maha Kuasa. Amiin ya rabbal ‘alamiin.

(Penulis adalah Pemred Media Online Teraju.Id dan dosen tamu di KPI-IAIN dan Prodi Komunikasi Fisip Untan).


Kontak

Jl. Purnama Agung 7 Komp. Pondok Agung Permata Y.37-38 Pontianak
E-mail: [email protected]
WA/TELP:
- Redaksi | 0812 5710 225
- Kerjasama dan Iklan | 0858 2002 9918
Share This Article
Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.