Oleh: Turiman Fachturahman Nur
(Peneliti Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia UNTAN)
Daerah Istimewa Kalimantan Barat adalah satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri atau wilayah negara yang berdaulat penuh/otonom dalam lingkungan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan secara de jure sebagai daerah istimewa Kalimantan Barat sebagaimana diabadikan dalam Pasal 2 b Konstitusi RIS 1949.
Daerah Istimewa Kalimantan Barat dibentuk berdasarkan kesepakatan Kesultanan/Raja Raja dan para tokoh tokoh adat lintas etnis pada tanggal 28 Oktober 1946 yang tergabung dalam Dewan Borneo Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa pada tanggal 12 Mei 1947, Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi Swapraja Sambas, Swapraja Pontianak, Swapraja Mampawah, Swapraja Landak, Swapraja Kubu, Swapraja Matan, Swapraja Sukadana, Swapraja Simpang, Swapraja Sanggau, Swapraja Tayan, Swapraja Sintang, Neo-swapraja Meliau, Neo-swapraja Pinoh, dan Neo-swapraja Kapuas Hulu. Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat adalah Sultan Swapraja Pontianak, Sultan Hamid II.
Sebelum 5 April 1950 Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Bagian Republik Indonesia (RI-Yogyakarta) atau negara proklamasi 17 Agustus 1945 yang sementara Ibu kota di Yogyakarta. Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan kini wilayah Daerah Istimewa Kalimantan Barat menjadi Provinsi Kalimantan Barat yang telah dibentuk pada tahun 1956, dan patut diketahui secara konstitusional, bahwa naskah Undang-undang Dasar Sementara berisi Konstitusi Republik Indonesia Serikat, jang disetudjui oleh Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi Daerah-daerah Bahagian dalam perhubungan Pertemuan untuk Permusjawaratan Federal di Scheveningen, telah disetujui pula oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah masing-masing Daerah Bahagian tersebut, demikian pula oleh Komite Nasional Indonesia Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat dari masing-masing Daerah Bahagian; bahwa menurut pasal 197 ajat 1 Konstitusi RIS 1949, Konstitusi mulai berlaku pada saat pemulihan kedaulatan jang telah terdjadi pada tanggal 27 Desember 1949 Memutuskan: Mengumumkan dengan menempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat: I. Piagam penanda tanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.II.Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang Ditetapkan di Djakarta pada tanggal 31 Djanuari 1950 oleh Presiden Republik Indonesia Serikat, yakni Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta, lembaran negara Nomor 3 Tahun 1950 KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SERIKAT. PIAGAM. Keputusan Presiden R,I,S. Nomor 48, Tahun 1950, tentang mengumumkan Piagam Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Jika kata baca secara cermat dalam Konstitusi RIS 1949 pada Pasal 2 menyatakan: Daerah Negara : Pasal 2 Konstitusi RIS 1949, Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah Indonesia, yaitu daerah bersama:
a. Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam persetudjuan Renville tanggal 17 Djanuari tahun 1948;
Negara Indonesia Timur;
Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Djakarta;
Negara Djawa Timur;
Negara Madura;
Negara Sumatera Timur, dengan pengertian, bahwa status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu berhubungan dengan Negara Sumatera Timur tetap berlaku;
Negara Sumatera Selatan;
b. Satuan-Satuan kenegaraan jang tegak sendiri;
Djawa Tengah;
Bangka;
Belitung;
Riau;
Kalimantan Barat (Daerah istimewa);
Dajak Besar;
Daerah Bandjar
Kalimantan Tenggara; dan
Kalimantan Timur;
a. dan b. jalah daerah bagian jang dengan kemerdekaan menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan federasi Republik Indonesia Serikat, berdasarkan jang ditetapkan dalam Konstitusi ini dan lagi; c. daerah Indonesia selebihnja jang bukan daerah-daerah-bagian.
Berdasarkan Piagam Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Pasal 2 b Konstitusi RIS 1949, bahwa kedudukan DIKB adaalah satuan kenegaraan yang berdiri sendiri yang bergabung dengan negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang sementara berkedudukan di Yogyakarta.
Setelah pergeseran ketatanegaraan Indonesia, dimana dari RIS kembali ke bentuk negara kesatuan berdasarkan fakta integrasi Mohammad Natsir 3 April 1950 Parlemen RIS 1950 menyetujui untuk kembali ke bentuk negara kesatuan (NKRI), dan 5 April 1950 Sultan Hamid II ditahan oleh Hamengku Buowono IX atas perintah Jaksa Agung Tirtawinata dibawah Undang-Undang Sementara 1950,yakni tahun 1953 atau tiga tahun tanpa kepastian hukum, dan baru ada sidang Mahkamah Agung, mulailah satuan kenegaraan yang berdiri sendiri DIKB “dibubarkan secara inkonstitusional atau diluar prosedur konstitusi, baik konstitusi RIS 1949 maupun pada masa berlakuknya Undang-Undang Sementara 1950 (UUDS 1950).
Pertanyaannya secara hukum tata negara Provinsi Kalimantan Barat dibentuk dengan produk apa ? Provinsi Kalimantan Barat, sebagai bagian provinsi di Kalimantan dibentuk dengan Keputusan Gubernur Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14 dan atas desakan desakan dari masyarakat agar segera dibentuk Provinsi Kalimantan yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (otonom), namun ada yang norma yang menegaskan di dalam Undang–Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Pembentukan (resmi) Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten dan Kota Besar dalam Lingkungan Provinsi Kalimantan, 13 Januari 1953, pada pasal 1 menyatakan:
Pasal 1 ayat (1): Daerah Propinsi Kalimantan yang bersifat administratif seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950, dan yang meliputi karesidenan-karesidenan Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, dibentuk sebagai daerah otonom “Propinsi Kalimantan”, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, yang dalam Undang-undang Darurat ini selanjutnya disebut “Propinsi”.
Sebenarnya fakta sejaraah hukum notabene wilayah adalah wilayah DKIB, yang meliputi:
- Kabupaten Sambas yang meliputi wilayah Swapraja Sambas;
- Kabupaten Pontianak yang meliputi wilayah-wilayah Swapraja: terkecuali wilayah Kota Pontianak tersebut dalam sub Mampawah, Landak dan Kubu;
- Kabupaten Ketapang yang meliputi wilayah-wilayah Swapraja: Matan, Sukadana, Simpang;
- Kabupaten Sanggau yang meliputi wilayah-wilayah Swapraja:
- Sanggau, Tayan, neo-Swapraja Meliau dan Kawedanan Sekadau;
- Kabupaten Sintang yang meliputi wilayah-wilayah Swapraja: Sintang dan neo-Swapraja Pinoh;
- Kabupaten Kapuas Hulu yang meliputi wilayah neo-Swapraja Kapuas Hulu;
- Kota Pontianak yang meliputi wilayah “Landschapsgemente Pontianak” yang dimaksud dalam keputusan Pemerintah Kerajaan Pontianak tertanggal 14 Agustus 1946 Nomor 24/1/1946/PK.
Pertanyaannya Undang-Undang 22 Tahun 1948 produk hukum tata negara dari mana ?
Jika kita menyitir Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Provinsi yang ditetapkan pada Tanggal 16 Agustus 1950, dalam konsideran mengingat ada hal yang menarik dari sisi sejarah hukum dan hukum tata negara, yaitu:
“Mengingat: a. Piagam-persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950 dan Pernyataan bersama tanggal 19/20 Juli 1950, dalam hal mana Pemerintah Republik Indonesia Serikat bertindak juga dengan mandat penuh atas nama Pemerintah Negara Indonesia Timur dan Pemerintah Negara Sumatera Timur; b. Ketetapan dalam sidang Dewan Menteri pada tanggal 8 Agustus 1950”
Berdasarkan konsideran mengingat itu dapat ditelusuri jejak sejarah hukum pembentukan provinsi Kalimantan Barat,bahwa ternyata didasarkan pada tiga hal:
- Piagam-persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950
- Pernyataan bersama tanggal 19/20 Juli 1950
- Ketetapan dalam sidang Dewan Menteri pada tanggal 8 Agustus 1950.
Menarik untuk mencermati subtansi Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1950 yang menyatakan: “Daerah Republik Indonesia Serikat, sesudah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, terbagi atas daerah-daerah propinsi di bawah ini: 1. Jawa – Barat 2. Jawa – Tengah 3. Jawa – Timur 4. Sumatera – Utara 5. Sumatera – Tengah 6. Sumatera – Selatan 7. Kalimantan 8. Sulawesi 9. Maluku
Jadi berdasarkan pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 di atas subtansinya umum tidak menyebut provinsi Kalimantan Barat, tetapi Kalimantan secara umum, padahal fakta sejarah/de fakto dan secara de jure Kalimantan Barat pada masa itu masih berbentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) atau sebagai satuan kenegaraan berdiri sendiri, sejak tahun 1947 dengan status hukum tata negara sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri dibawah Konstitusi RIS, 1949 (pasal 2 b) dan yang lebih menarik dari sisi hukum tata negara, bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 ini berlaku surut, sebagaimana dinyatakan pada pasal 3 yang menyatakan:
“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pertanyaannya mengapa Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 jadi berlaku surut atau tidak sesuai dengan asas hukum tata negara, bahwa hukum tak boleh berlaku surut. Ini artinya, bahwa pernyataan normatif pasal 3 tersebut diatas, secara tidak langsung secara diam-diam DIKB sebagai Satuan Kenegaraan yang berdiri sendiri dan berdaulat penuh diberlakukan secara berlaku surut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 pada saat terbentuknya NKRI, yakni pada 17 Agustus 1945 pada hal secara de jure DIKB berdasarkan Pasal 2 b Konstitusi RIS 1949 adalah diluar negara Republik Indonesia dan DIKB tidak ikut perjanjian Renville 17 Djanuari 1948, ini bertentangan dengan Konstitusi RIS, karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1949 Tentang Pengesahan Konstitusi RIS 1949, bahwa pada klasul hukum tata negara, bahwa Pengesahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Presiden Republik Indonesia dalam konsideran menimbang : menyatakan, bahwa pada tanggal 29 Oktober 1949 dalam persidangan di kota Scheveningen, yang dilangsungkan oleh Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi Pertemuan untuk Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) atau BFO yang diketuai Sultan Hamid II; Kedua Delegasi itu telah membubuhkan tanda-tangan paraf pada Piagam Persetujuan, menyetujui naskah Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang dilampirkan pada Piagam itu atau semua negara termasuk Negara Republik Indonesia (Negara 17 Agustus 1945 berserta daerah bagiannya dan DIKB dan negara negara tergabung dalam BFO ikut meratifikasi Piagam Persetujuan dan Konstitusi RIS 1949 serta protokol internasional yakni Piagam Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949, tetapi mengapa diabaikan dan dilakukan tindakan inskontitusional?
Jawaban atas pertanyaan itu kita telusuri secara detail dengan konstruksi hukum tata negara dengan pendekatan sejarah hukum. Ketika sidang terhadap Sultan Hamid II oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dikenal dengan “peristiwa Sultan Hamid II” dimulai Tahun 1953, dicatatlah dalam fakta sejarah hukum, bahwa secara inkonstitusional dikeluarkanlah Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Pembentukan (resmi) Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten dan kota Dalam Lingkungan Provinsi Kalimantan yang menyatakan dalam PENJELASAN UMUM-nya menyatakan, bahwa 1. Berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan di seluruh wilayah Propinsi Kalimantan seperti dijelaskan dalam Penjelasan umum Undang-Undang Darurat tahun 1953 tentang pembentukan daerah otonom tersebut, maka sekarang mendesak waktunya untuk segera mengatur Pemerintahan daerah-daerah Kabupaten, Swapraja-Swapraja dan Kota-kota Banjarmasin dan Pontianak di Kalimantan dalam bentuk yang resmi, menurut dasar-dasar yang diletakkan dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 Republik Indonesia. Dan karena keadaan-keadaan yang mendesak itu, maka dianggap perlu menetapkan peraturan pembentukan Kabupaten-kabupaten otonom, Daerah-daerah Istimewa yang setingkat dengan Kabupaten dan Kota-kota Besar dalam lingkungan Propinsi Kalimantan itu dalam suatu Undang- undang Darurat.
Jadi terjawab bahwa Provinsi Kalimantan Barat dibentuk karena keadaan mendesak atau darurat, jelas ini ini tindakan politik atau “rekayasa politik”, bagaimana mungkin DIKB sebagai satuan kenegaraan berdiri sendiri dan diakui dalam protokol internasional UNCI PPB dalam hal ini Protokol Persetujuan Pengakuan dan penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949 dibubarkan secara inskontituional atau diluar prosedur hukum tata negara dan hukum internasional.
Hal yang perlu diperhatikan oleh para peneliti sejarah hukum DIKB adalah pada point 3 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1953 yang menyatakan: point 3. Sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka bekas Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang wilayahnya meliputi seluruh keresidenan Kalimantan Barat dahulu, dengan keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 8 September 1951 Nomor Pem. 20/6/10 administratif telah dibagi pula dalam 6 Kabupaten dan satu daerah Kota Pontianak, oleh karena secara de jure Kalimantan Barat tidak pernah merupakan bagian wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta) lihat pasal 2 b Konstitusi RIS 1949, maka dengan sendirinya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tidak sendirinya menurut hukum diberlakukan untuk wilayah hukum Kalimantan Barat. Walaupun demikian menurut pasal 4 sub II A Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia, perlu diusahakan dimana mungkin, bahwa sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan, supaya perundang-undangan Republik Indonesia dilakukan juga di Kalimantan Barat.
Berhubung kini masih belum dapat ditentukan Undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan Daerah otonom yang berlaku uniform bagi seluruh Indonesia, atau pun pula Undang-Undang tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonom yang berlaku uniform bagi seluruh Indonesia, pun pula Undang-Undang Nomor 44 tahun 1950 Indonesia Timur tidak berlaku bagi Kalimantan Barat, maka salah satunya jalan yang baik yang dapat ditempuh dalam hal ini ialah menjalankan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 sebagai pedoman bagi, Kalimantan Barat, berdasarkan pasal 4 sub II A Piagam tersebut di atas.
Jadi tahulah kita, bahwa Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang merupakan produk hukum Negara Republik Indonesia Yogyakarta dijadikan pedoman bagi Kalimantan Barat yang nota bene masih secara de jure atau konstitusional adalah DIKB dengan status hukum sebagai satuan kenegaraan berdiri sendiri atau wilayah negara otonom, bagaimana mungkin digunakan produk hukum negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta yang note bene bukan wilayah hukum DIKB, karena negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta juga pada tahaun 1948 sd 16 Agustus 1950 adalah negara bagian dari RIS, lihat kembali pasal 2 huruf b Konstitusi RIS 1949 dan lihat juga pasal 2 a Konstitusi RIS 1949.
Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1953 tersebut ada hal yang menarik secara hukum tata negara, yaitu: 1. “bekas Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang wilayahnya meliputi seluruh keresidenan Kalimantan Barat dahulu, dengan keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 8 September 1951 Nomor Pem. 20/6/10 administratif telah dibagi pula dalam 6 Kabupaten dan satu daerah Kota Pontianak; 2. Kalimantan Barat tidak pernah merupakan bagian wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta), maka dengan sendirinya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 tidak sendirinya menurut hukum berlaku untuk Kalimantan Barat; 3. Perlu diusahakan dimana mungkin, bahwa sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan, supaya perundang-undangan Republik Indonesia (NKRI- penulis) dilakukan juga di Kalimantan Barat ; 4. Undang-Undang No. 44 tahun 1950 Indonesia Timur tidak berlaku bagi Kalimantan Barat; 5. Salah satunya jalan yang baik yang dapat ditempuh dalam hal ini ialah menjalankan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 sebagai pedoman bagi, Kalimantan Barat, berdasarkan pasal 4 sub II A Piagam tersebut di atas.
Berdasarkan lima point itu, berkaitan dengan point 1 yang menyatakan “. “bekas Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang wilayahnya meliputi seluruh keresidenan Kalimantan Barat dahulu, dengan keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 8 September 1951 No. Pem. 20/6/10 administratif telah dibagi pula dalam 6 Kabupaten dan satu daerah Kota Pontianak”.
Pernyataan point 1 diatas jika dihubungkan dengan penjelasan pasal 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1953, menyatakan: Pasal 1 Pembagian wilayah Propinsi Kalimantan dalam Kabupaten, Daerah Istimewa tingkat Kabupaten dan Kota Besar adalah berdasarkan atas ketetapan dalam Keputusan – keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 29 Juni 1950 No. C.17/15/3 jo. tanggal 16/11 1951 No. Pem.20/l/47 dan tanggal 8 September 1951 No. Pem. 20/6/10.
Adalah ironis, bahwa Keputusan – keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 29 Juni 1950 No. C.17/15/3 jo. tanggal 16/11 1951 No. Pem.20/l/47 dan tanggal 8 September 1951 No. Pem. 20/6/10, bisa membagi wilayah DIKB sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri berdasarkan Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS 1949 dengan memaksakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 sebagai pedoman, sedangkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 tidak sendirinya menurut hukum berlaku untuk Kalimantan Barat dan inilah cara inkonstitusional menjalankan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 sebagai pedoman bagi Kalimantan Barat, karena Undang–Undang Nomor 22 Tahun 1948 adalah produk hukum Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta, padahal DIKB secara hukum Internasional didalam protokol Piagam Persetujuan 27 Desember 1945 adalah satuan kenegaraan yang berdiri sendiri diluar negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945, mengapa karena secara konstitusional adalah bergabung kedalam satu wadah negara namanya Republik Indonesia Serikat.
Jadi secara fakta sejarah hukum DIKB dibubarkan dengan cara inskontitusional, hanya dengan Keputusan Gubernur Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14, bahkan wilayah DIKB sejak 28 Oktober 1946 sebagai Dewan Borneo Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa pada 12 Mei 1947dibagi dengan wilayah satuan kenegaraannya melalui produk hukum setingkat Keputusan – keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 29 Juni 1950 No. C.17/15/3 jo. tanggal 16/11 1951 No. Pem.20/l/47 dan tanggal 8 September 1951 Nomor Pem. 20/6/10, lalu menjadi wilayah administrasi Provinsi.
Pertanyaan sejak Kapan Provinsi Kalimantan Barat terbentuk secara hukum Tata Negara ?
Provinsi Kalimantan Barat terbentuk tanggal 1 Januari 1957. Pembentukannya berbarengan dengan provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Pada awal kemerdekaan, wilayah Kalimantan Barat merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan. Apa dasar hukum pembentukannya ?, yaitu diterbitkannya UU Nomor 25 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, dalam konsideran menimbangnya menyatakan:
“Menimbang: a. bahwa, mengingat perkembangan ketatanegaraan serta hasrat rakyat di Kalimantan dianggap perlu untuk membagi daerah otonom Propinsi Kalimantan sementara dalam tiga bagian, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, masing-masing dalam batas-batas yang ditetapkan dalam undang-undang ini dan masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai daerah otonom Propinsi pula; b. bahwa, berhubung dengan pertimbangan ad a materi yang diatur dalam Undang-undang Darurat Nomor 3 tahun 1953 (Lembaran-Negara tahun 1953 Nomor 8) tentang pembentukan daerah otonom Propinsi Kalimantan perlu diganti dengan undang-undang dimaksud di bawah ini.
Dasar hukumnya adalah:
- Pasal-pasal 89, 131, 132 dan 142 Undang-undang Dasar sementara; 1950
- Undang-undang No. 22 tahun 1948 Republik Indonesia.
Kemudian dengan Persetujuan DPR RI bahwa I. Mencabut Undang-undang Darurat No. 3 tahun 1953 tentang pembentukan daerah otonom Propinsi Kalimantan (Lembaran-Negara Tahun 1953 Nomor 8). II. Menetapkan: Undang-undang Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Propinsi Kalimantan-Barat, KalimantanSelatan Dan Kalimantan-Timur.
Jika kita baca secara cermat pada BAB I KETENTUAN UMUM dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 Daerah otonom Propinsi Kalimantan sebagai dimaksud dalam Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 1 (Lembaran Negara tahun 1953 Nomor 8) dibubarkan dan wilayahnya dibagi untuk sementara waktu menjadi tiga daerah tingkatan ke-I, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan nama dan batas-batas sebagai berikut: 1. Propinsi Kalimantan-Barat, yang wilayahnya meliputi daerah- daerah otonom Kabupaten Sambas, Pontianak, Ketapang, Sanggau, Sintang, Kapuas-Hulu dan Kota Besar.
Jadi dapat direkonstruksi hukum tata negara, bahwa DIKB tahap pertama dilakukan tindakan inskontitusional, dengan Keputusan Gubernur Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14, kemudian kedua diberlakukan Undang –Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 pada pasal 1 menyatakan: Pasal 1 ayat (1): Daerah Propinsi Kalimantan yang bersifat administratif seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950, dan yang meliputi karesidenan-karesidenan Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, dibentuk sebagai daerah otonom “Propinsi Kalimantan”, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, yang dalam Undang-undang Darurat ini selanjutnya disebut “Propinsi”, Selanjutnya tahap kedua ini Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 dengan asas hukum berlaku surut, sebagaimana dinyatakan pada pasal 3 yang menyatakan: “Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia”, lebih lanjut langkah ketiga, berdasarkan Pasal 1 Undang -Undang Nomor 25 Tahun 1956, Tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Barat, bahwa Daerah otonom Propinsi Kalimantan sebagai dimaksud dalam Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 1 (Lembaran Negara tahun 1953 Nomor 8) dibubarkan dan wilayahnya dibagi untuk sementara waktu menjadi tiga daerah tingkatan ke-I, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan nama dan batasbatas sebagai berikut: 1. Propinsi Kalimantan-Barat, yang wilayahnya meliputi daerah- daerah otonom Kabupaten Sambas, Pontianak, Ketapang, Sanggau, Sintang, Kapuas-Hulu dan Kota Besar, yaitu sejak 1 Januari 1956, inilah kemudian dijadikan Hari Ulang Tahun Pemerintah Daerah Provinsi Kalimatan Barat.
Pertanyaan cerdas dan smartnya sebelum 1 Januari 1956 peristiwa hukum tata negara terhadap wilayah hukum Kalimantan Barat, yakni proses inskontiyusional atau “rekayasa politik” dengan menggunakan instrument hukum yang inskonstitusional membubarkan DIKB sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri yang dirikan berdasarkan kesepakatan Kesultanan/Raja Raja dan para tokoh tokoh adat lintas etnis pada tanggal 28 Oktober 1946 sebagai Dewan Borneo Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa pada tanggal 12 Mei 1947 Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi Swapraja Sambas, Swapraja Pontianak, Swapraja Mampawah, Swapraja Landak, Swapraja Kubu, Swapraja Matan, Swapraja Sukadana, Swapraja Simpang, Swapraja Sanggau, Swapraja Tayan, Swapraja Sintang, Neo-swapraja Meliau, Neo-swapraja Pinoh, dan Neo-swapraja Kapuas Hulu. Dengan Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat adalah Sultan Swapraja Pontianak, Sultan Hamid II yang pada awalnya sejajar dengan negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang sementara berkedudukan di Yogyakarta kemudian sejak 27 Desember 1949 DIKB bergabung kedalam sebuah negara Republik Indonesia RIS berdasarkan pasal 2 b Konstitusi RIS 1949, dan dibubar secara inkonstitusional melalui tindakan politik dengan asas hukum berlaku surut dan menggunakan produk hukum yang secara hukum tata negara tidak berlaku di wilayah hukum DIKB serta hanya dijadikan pedoman untuk pembagian wilayah DIKB sebagai suatu kenegaraan yang berdiri sendiri produl hukum dari wilayah negara diluar DIKB, melalui berbagai rangkaian tindak politik “berbaju hukum” setingkat keputusan menteri dalam negeri, akhirnya dibubarkan dengan produk hukum setingkat undang-undang, yakni Undang -Undang Nomor 25 Tahun 1956, Tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Barat, yang selalu dijadikan konsideran mengingat terhadap pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat, sejak 1 Januari 1956.
Berdasarkan paparan sejarah hukum tata negara di atas dan terlepas dari cara melenyapkan DIKB sebbagai satuan kenegaraan berdiri sendiri yang terdaftar di protokol Internasional, fakta sejarah memberikan pemahaman kepada kita, bahwa kesediaan Sultan Hamid II mendukung dan kesediaan bergabung dengan NKRI adalah dukungan terhadap kemerdekaan dan daulat penuh NKRI, walaupun melalui pintu masuk melalui negara RIS sejak 27 Desember 1949, keputusan Politik Sultan Hamid II haruslah dicatat sebagai jiwa nasionalisme Sultan Hamid II, bahwa didalam jiwanya adalah NKRI, semiotika hukumnya ditandai dengan kode yang abadi, yakni lambang negara hasil rancangannya yang didalam mengandung tiga semiotika hukum, yaitu identitas NKRI dari jumlah sayap, eko dan bulu leher sang elang Rajawali Garuda Pancasila, yakni identitas 17 Agustus 1945, tanda kedua adalah semiotika hukum perisai Pancasila sebagaimana perisai yang dikalungan dileher Elang Rajawali Garuda Pancasila sebagai representasi dasar negara, fhilosofis bangsa dan ideologi negara, semiotika hukum ketiga yakni jatidiri bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika yang diusulkan Soekarno kepada Sultan Hamid II sejak awal dari dua tahap perancangan lambang negara Republik Indonesia, bhina ika tunggal ika, berjenis jenis tetapi tunggal, yang merupakan representasi bergabungnya dua dua konsep kenegaraan, yakni bhinneka keberagaman itulah federalis alias persatuan, dan konsep kenegaraan kesatuan itu unitaris, dan dua dua bergabung dalam satu wadah negara yang namanya dalam secara de fakto dan de jure Negara Republik Indonesia Serikat, bukankah fakta sejarah hukum lambang negara Elang Rajawali Garuda Pancasila pada mulanya dimaksudkan sebagai lambang negara RIS untuk melaksanakan tugas Presiden Soekarno kepada Sultan Hamid II dan buah karya yang dipilih oleh Kabinet RIS 11 Februari 1950, disposisi Soekarno 20 Maret 1950 kepada yang mulia Sultan Hamid II, dan akhirnya dibuat skala ukuran dan tata warna oleh Sultan Hamid II yang mana gambarnya dilampirkan secara resmi oleh negara Republik Indonesia dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara berdasarkan pasal 6 dan kemudian dipakai oleh NKRI sampai saat ini, secara konstitusional penegasannya diabadikan dalam materi muatan Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen pasal 36 A yang nota bene adalah usulan elemen masyarakat Kalimantan Barat Tahun 2000 dan deskripsi Lambang Negara diabadikan dalam materi muatan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 mulai dari pasal 46 sampai dengan pasal 57.
“Bagi saya generasi muda perlu tau sejarah. Jadi jangan kita dengar omongan orang… Kita perlu pelurusan sejarah. Jadi, pesan saya kepada pembengkok sejarah, berhentilah, membekokkan sejarah Kalimantan Barat! Kasihan generasi mendatang. Tapi percayalah, saya punya prinsip. Yang benar itu, pada saatnya akan berada di puncak dan tidak bisa diganggu gugat. Dia akan berada di atas. Yang benar itu.. kita siap-siap aja, kalau kita salah, minta maap aja, tarik semuanya itu.. Maka dari itu saya pesan untuk anak-anak muda, terutama penulis. Tulislah yang benar. Yang benar, jelas baik (Fakta). Tapi yang baik, belum tentu benar. Opini..” Max Yusuf Alkadri (Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II, 1967-1978).
Tidak ada keraguan lagi Sultan Hamid II adalah sang pahlawan Bangsa: “Mungkin ini adalah yang dapat saya sumbangkan untuk bangsa saya dan mudah mudahan sumbangan saya (Lambang Negara) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita”. Sampai kapanpun dan berapapun banyaknya orang yang menuduh dirinya sebagai penghianat, Garuda Pancasila akan selalu terpampang jelas di atas, selalu kita hargai dan hormati, sadar atau tidak sadar, demikian juga namanya sebagai perancangnya.
Sultan Hamid II, adalah seorang negarawan sejati, yang tidak mengenal rasa dendam kepada siapapun termasuk lawan-lawan politiknya. Ketika Bung Karno sedang sakit diakhir hayatnya, Sultan Hamid II mengunjunginya dan berbisik kepadanya: “Saya Hamid, bung. Maafkan kesalahan saya dan kesalahan bung saya maafkan”. Dan bung karno pun meneteskan air mata. Hanya seorang negarawan besar yang akan akan melakukan hal seperti itu.
Sultan Hamid II adalah sang pahlawan bangsa menjadi inspirasi bagi generasi mileneal karena karyanya abadi dibangsa ini itulah Sang Elang Rajawali Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.