Oleh: Paulus Florus*
Dampak Covid-19 terhadap perekonomian pasti ada. Orang/keluarga miskin pasti bertambah. Tapi debat di media massa tentang penambahan orang miskin, dan kritik terhadap usaha Pemerintah dalam menanganinya, menurut saya, terlalu melebih-lebihkan. Seakan-akan negara kita ini segera bubar. seakan-akan usaha Pemerintah semuanya salah. Semuanya akan gagal.
Mari berpikir lebih realistis dan bersikap optimis.
Pertama, semua kita terdampak secara ekonomi. Penghasilan berkurang, bahkan tidak ada sama sekali. Tapi ini juga membawa hikmah: belajar kembali hidup sederhana, hemat dan bijaksana, Sadar bahwa hidup kita ada naik dan ada turunnya. Tidak mungkin selalu mulus sesuai impian.
Kedua, kesehatan adalah kekayaan pribadi kita yang paling penting. Tidak perlu egois mau mengumpulkan uang terus menerus. Tidak ada gunanya uang bila tidak sehat. Kalau masih punya makanan, tidak perlu berpura-pura miskin melarat untuk bisa mendapatkan bantuan.
Ketiga, dibandingkan dengan beberapa negara/bangsa lain yang lebih parah deritanya, kita pantas bersyukur atas Pemerintah kita yang peduli dengan kesulitan rakyat. Memang tidak ideal, belum sempurna, tidak mampu mengatasi semua masalah. Itu Jelas. Tetapi sebagai rakyat, kita tidak sepatasnya lalu berpasrah total kepada Pemerintah. Bila dapat bantuan Rp. 600.000 sebulan, itu sudah pantas disyukuri. Usaha pribadi tetap harus jalan. Kitalah yang terutama harus mengatasi kesulitan hidup sendiri.
Keempat, kemiskinan bukan hanya ekonomis. Ada banyak aspek lain yang saling kait mengait yang juga ikut menyebabkan kemelaratan. Misalnya pikiran pesimis, kemalasan, ketakutan berubah, pengetahuan sempit, keterampilan kurang, sifat egois, kebiasaan boros, kecanduan, ketidakmampuan mengatur waktu, dsb.
Mari bersikap optimis, penuh harapan. kreatif, gembiran dan bersyukur. MARI BERUBAH. (*Penulis adalah pemikir dan kolumnis Kalbar, Pimpinan CU Bahtera)