Oleh: Khairul Fuad
Manuskrip yang sering dipertukarkan dengan istilah naskah lama atau kuna, masih membiuskan pesona untuk didekati dengan beragam cara-pandang. Ibarat efek-domino jika sekali cara-pandang dibuka, memantik cara-pandang berikutnya. Dari mulai kajian teks, kondisi bahan teks, sampai pemeliharaan (preservasi) teks, termasuk atmosfer sosial-politik kemasyarakatan dapat diteroka melalui manuskrip.
Nusantara tidak ragu lagi turut menebarkan pesona yang eksotik melalui manuskrip. Tidak hanya pesona alam yang aktual, tetapi juga kecermatan pemikiran pendahulu secara intelektual. Gugusan-gugusannya selalu menarik untuk diperhatikan, baik secara makrokosmos maupun mikrokosmos. Yang pada gilirannya, kenusantaraan selalu menuntun kepada arah satu tuju, yaitu spiritualitas.
Oleh karena itu, BRIN dengan riset dan inovasi, kali ini menurunkan skuad peneliti untuk mengetahui khazanah pengetahuan melalui manuskrip tanah seribu masjid, yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB). Skuad tersebut dikomandani Zulkarnain Yani, dan didukung penuh oleh Agus Heryana, Rohim, Nining Nur Alaini, Khairul Fuad berasal dari BRIN, dan Lalu Muhammad Ariadi berasal dari Institut Agama Islam Hamzanwadi NW Pancor NTB.
Sedianya skuad ini berupaya menelusuri kantong-kantong manuskrip tanah seribu masjid yang sangat eksotis. Lanskap geografis yang memesona dengan hamparan pantai meluas samudera dan gugusan-gugusan perbukitan yang dibelah oleh jalan aspal yang mulus. Termasuk, nama seribu masjid memberikan gambaran kehidupan masyarakat NTB dengan parameter keagamaannya. Kemungkinan besar, hal ini menandakan bahwa gugusan Nusantara tidak lepas dari tali vertikal sebagai pemahaman keberadaan di dunia.
Setelah beberapa hari mengaspal dengan suguhan panorama eksotika tanah seribu masjid, tim peneliti menjumpai manuskrip di Bayan Kabupaten Lombok Utara dan Sembalun Kabupaten Lombok Timur. Di kedua tempat itu ditemukan manuskrip berupa daun lontar dan dluwang (kertas) khusus di Sembalun. Manuskrip daun lontar Bayan diletakkan di sebuah bangunan tradisional berdinding anyaman bambu beratap jerami.
Begitu juga, manuskrip Sembalun dimasukkan ke dalam kotak kaca pengganti tempat yang telah rusak, dan diletakkan di tempat tinggi di sebuah rumah. Hanya saja, untuk membuka manuskripnya diawali terlebih dahulu dengan ritual, dalam hal ini potong ayam sebagai norma etika setempat yang harus dihormati. Menariknya, pembukaan kotak manuskrip justru dilakukan di rumah lain di dalam lokasi kompleks rumah adat Sembalun dan dihadiri para pemangku adatnya.
Terkait preservasi, masyarakat setempat mempunyai cara-cara tersendiri dalam memelihara manuskripnya. Berdasarkan pengakuan, air menjadi media perawatan untuk menghilangkan debu yang menempel pada manuskrip berbahan lontar. Meskipun, cara seperti berisiko sebab mudah menimbulkan kelembaban sehingga berpotensi tumbuh jamur. Penggunaan air ini dilakukan saat diadakan acara ritual adat, seperti potong rambut, khitanan, dan pemberian nama dengan istilah setempat, gawe urip.
Di sisi lain, preservasi juga memanfaatkan potensi lingkungan melalui tumbuhan sekitar. Di Bayan digunakan daun komak dalam istilah setempat untuk membersihkan lontar dan arang hitam dari serabut kelapa kering waktu itu, untuk memperjelas tulisannya beraksara kawi. Daun tersebut diremas-remas untuk menghasilkan semacam cairan yang kemudian dioleskan ke permukaan lontar. Acara ritual adat dengan piranti lontar juga cukup ampuh upaya preservasi karena akan diketahui jika lontar itu mengalami kerusakan. Kerusakan itu disalin kembali di lontar yang baru dan upaya lebih kepada preservasi teks lontar.
Di tempat lain, Sembalun dengan eksotika perbukitan, tim peneliti justru menjumpai manuskrip yang berharga berbahan kertas Eropa, tapi masih butuh observasi mendalam. Dalam pembacaan sekilas, manuskrip tersebut tampaknya berisi tentang keagamaan, seperti tauhid dan tasawuf. Menariknya lagi, dijumpai manuskrip berupa mushaf al-Qur’an yang diperkirakan berusia lama. Kondisi biasanya memang tidak menggembirakan, terdapat beberapa lembar yang rusak karena saking lama usianya atau bisa jadi dipicu faktor lain.
Kondisi nyata lapangan seperti ini, tampaknya perlu berbagi pengetahuan terkait preservasi manuskrip di kantong-kantongnya atau pemiliknya. Tidak berlebihan jika pihak terkait pemerintahan NTB sebagai pemangku wilayah, dapat mengupayakan transformasi pengetahuan tersebut. Harapannya, tidak hanya preservasi semata, tetapi melestarikan ingatan kolektif demi eksplorasi pengetahuan yang berpotensi besar pemanfaatan di era digital sekarang ini. Mengingat manuskrip sebetulnya masa depan, hanya saja berlabel masa lalu.
Mataram, 4 Mei 2024