Oleh: Ambaryani
Awalnya, saya tak ada bayangan macam mana bentuk buah kemantan. Saat adik ipar saya Sri Buti yang tinggal di Riam Panjang Kapuas Hulu, mengirim pesan lewat Wa, kalau dia ada kirim buah lewat suaminya Adi yang pas ada kegiatan di Pontianak.
Kalau buah mawang, saya tahu seperti apa bentuknya. Sudah 2 kali saya makannya. Mawang melekat di ingatan, sebab ada tragedi saat memakannya.
Saat saya masih kuliah, ibu kos yang asal Sekadau mendapat kiriman buah mawang. Dan saya dapat tempias 3 biji buah mawang. Ibu kos tak memberi penjelasan detil soal mawang saat itu.
Saya kira, mawang sama seperti buah mangga pada umumnya. Dikupas seperti biasa. Karena penasaran dan sudah tergiur dengan aroma harum mawang, saya dan adik saya mengupasnya. Pas dimakan, lidah, mulut dan permukaan bibir gatal semua.
Begitu saya konfirmasi pada ibu kos, ternyata cara kami mengupasnya salah. Harusnya dikupas, dikuliti tebal-tebal, supaya tak ada rasa gatalnya.
Kali ini kemantan. Saya ingat-ingat, apa nama buah ini kalau di kampung saya, Satai Sambas. Setelah satu malam buah itu sampai di rumah, baru saya ingat.
Buah pakel, begitu saya dan orang kampung menyebutnya. Terakhir, saat masih SD saya jumpa buah itu dulu. Kami tak punya pohon buahnya, tetangga yang punya. Kalau sudah musim buah, pulang sekolah, saya dan teman-teman minta pada tetangga. Dapat 1 hingga 2 buah per orang. Kami sudah girang bukan kepalang dulu.
Dan sekarang, setelah 23 tahun lalu terakhir jumpa sekarang baru merasa lagi. Aromanya semerbak. Harum sekali.
Menuil-nulil hidung, seakan melambai-lambai untuk segera ‘dikusi’, dikupas. Rasanya asam-asam manis. Rasa asamnya agak memudar kalau setelah diiris tipis, kemudian dicampur dengan sedikit garam. Aduhai rasanya. Seger.
Umak yang pada dasarnya suka dengan buah ini sampai khilaf. Makan terlalu banyak. Padahal pantang. (*)