Oleh: Leo Sutrisno
Jika di Indonesia ada istilah ‘pendidikan kewarganegaraan’=PKN, di Eropa ada istilah ‘pendidikan kewargaan digital’ (Digital citizenship education).
Pada awal Januari 2019 yang lalu, Masyarakat Eropa, menerbitkan DIGITAL CITIZENSHIP EDUCATION HANDBOOK – Pedoman Pendidikan Kewargaan Digital. Tujuannya adalah membekali lembaga sekolah dan siapa saja yang berminat memberdayakan anak-anak agar dapat hidup selamat di dunia digital.
Dalam pengantarnya disebutkan bahwa, dewasa ini, anak-anak hidup dalam dunia yang berubah cepat. Dengan tenologi telekomunikasi dan teknologi informasi anak-anak tidak hanya hidup lebih nyaman tetapi juga memasuki dimensi kehidupan sehari-hari yang sama sekali baru, yaitu berdaring (being online).
Dunia digital tidak mengenal batas-batas lagi, baik batas fisik (batas geografi) maupun non-fisik (batas budaya, msialnya). Dunia digital membuat dunia ini menjadi sebuah ruang besar sebagai ‘rumah bersama’ untuk semua orang. Karena itu, anak-anak ini tidak cukup hanya dilindungi tetapi juga diberdayakan. Anak-anak harus punya kompetensi yang memadai sebagai ‘warga digital’.
Warga digital didefinisikan sebagai seseorang, dengan kompetensi yang memadai, dapat: aktif, positif dan bertanggung jawab terlibat ber-masyarakat baik di dunia nyata (offline) maupun di dunia digital (online), dalam lingkup lokal, nasional serta global. Warga digital yang kompeten mampu merespons dengan baik setiap tantangan baru yang berkaitan dengan kegiatan belajar, bekerja, bersantai, serta berpartisipasi di masyarakat lokal, nasional atau global baik secara ‘offline’ maupun secara ‘online’.
Hidup di dunia digital mencakup tiga aspek, yaitu : ‘being online’ (berdaring), ‘well-being online’ (santun berdaring) dan ‘rights online’ (hak berdaring). . Setiap orang warga digital memiliki tanggung jawab yang sama untuk mempersiapkan kompetensinya di ketiga aspek ini.
Berdaring
Warga digital yang kompeten dapat mudah memperoleh akses masuk lingkungan digital. Mereka juga dapat berperanserta menangani berbagai bentuk perbedaan unggahan digital. Mereka terbuka terhadap berbagai unggahan minoritas dan keragaman pendapat.
Selain itu, mereka, secara personal dan profesional, mampu menghadapi tantangan masyarakat kaya-teknologi dengan percaya diri dan inovatif. Dengan demikian, mereka melek media dan informasi. Artinya, mereka bukan hanya sekedar ‘mampu’ menggunakan satu atau beberapa media tetapi juga selalu bersikap kritis terhadap penggunaan media dan informasi.
Santun berdaring
Warga digital yang santun berdaring dapat menghargai perasaan dan perspektif liyan. Selain itu, mereka juga bersikap dan berpikir positif. Memang, memiliki kompetensi dalam berdaring belum menjamin dapat hidup santun di dunia digital. Mereka mesti juga mengedepankan aspek kesehatan dan kesejahteraan manusia. Diharapkan, warga digital dapat menjaga keberadaan dunia digital yang positif, koheren dan konsisten
Hak berdaring
Warga digital yang menyadari haknya selalu mengambil keputusan yang bertanggung jawab dalam berpartisipasi aktif-positif dalam berinteraksi. Mereka juga selalu menjaga privasi dan keamaman dirinya dan warga lain selama berdaring.
Mereka juga menyadari bahwa dirinya adalah konsumen. Karena dalam dunia digital tersedia beragam program aplikasi baik yang positif maupun yang negatif, mereka selalu memilih aplilakasi yang tidak berdampak negatif pada lingkungannya.
Sekolah mempunyai tugas memberdayakan para siswa agar selamat menjadi warga digital. Itu berarti menginternalisasi kompetensi-kompetensi dari ketiga aspek hidup di dunia digital tersebut. Semoga dapat diimplemenasikan.
Semoga!