Fatamorgana Cuan Judi Online: Kapan Berakhir?

teraju
5 Min Read

teraju.id, Jakarta – 1.200 triliun. Itulah estimasi perputaran uang di balik tabir judi online di Indonesia sepanjang tahun 2025. Jika uang ini dijejerkan setara dengan 45 kali keliling bumi! Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah mengamininya. Candu digital ini bukan sekadar permainan iseng, melainkan sebuah pusaran gelap yang menjerat jutaan jiwa dan diduga melibatkan tangan-tangan penting.

Rentetan fakta yang terkuak dalam fakta persidangan dan video Tempo kian memperjelas betapa rumitnya gurita judi online ini. Video tersebut, yang menyoroti kasus pemblokiran situs judi, bukan hanya mengungkap modus operandi, tapi juga menyeret nama pejabat tinggi negara, termasuk mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi.

Aroma “Kopi” dan Peran Orang Dekat Menteri

Nama Budi Arie Setiadi disebut terlibat dalam praktik “penjagaan” situs judi online. Sebuah dugaan yang menusuk jantung upaya pemberantasan. Konon, ada penyerahan uang “kopi” sebesar 50.000 dolar Singapura sebagai imbalan pemblokiran situs judi “kecil” demi mengamankan situs-situs “besar”. Uang itu, disebut-sebut, tak ditolak saat diserahkan di rumah dinas sang menteri.

Di balik layar, muncul nama Zulkarnain Apriliantoni alias Tony Tomang/Tony Kujanso, orang dekat Budi Arie yang bukan pegawai Kominfo namun punya peran sentral. Tony lah yang memperkenalkan pengusaha properti Cencen Kurniawan kepada Budi Arie. Cencen kemudian membawa flash disk berisi puluhan ribu situs judi kecil untuk diblokir, dan juga terlibat dalam penyerahan uang pelicin itu. Sumber uang dan data situs judi ini berasal dari Kohling alias Halim, bos Cencen. Ironisnya, proses pemblokiran ini juga melibatkan sosok bernama Adi Kismanto alias Valen. Meski hanya lulusan SMK, Valen direkrut sebagai tenaga ahli di Kementerian Kominfo, yang seharusnya menyeleksi sarjana. Dia punya peran penting dalam mengumpulkan dan menyaring ribuan situs judi yang akan diblokir.

Ketika kasus mulai mencuat, video itu mengungkap bagaimana Budi Arie melakukan “gerilya”. Ia dilaporkan menghubungi banyak pihak, dari politikus hingga aparat keamanan, demi menjaga namanya tak terseret lebih jauh. Berbagai upaya dilakukan, termasuk mengirimkan tangkapan layar percakapan yang menunjukkan bahwa Tony bersaksi Budi Arie tak menerima uang judi. Bahkan, utusan sang menteri disebut sempat menemui seseorang bernama Kristian yang kemudian membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), membuat Budi Arie terkejut karena namanya disebut berkali-kali.

Kasus judi online ini, sebagaimana diuraikan dalam video, sejatinya terbagi dalam lima klaster besar. Ada Koordinator seperti Tony, Alwin Kimas, Adi Kismanto, dan Agus Muhrijan, yang menjadi orkestrator di balik layar. Kemudian, ada sembilan Pegawai Kominfo, termasuk Denden, yang menjadi eksekutor teknis. Selanjutnya, Agen/Marketing berperan sebagai jembatan penghubung antara pemilik situs judi dan para pegawai Kominfo. Tentu saja, ada pula Penyetor Uang, yakni para pemilik situs judi yang siap merogoh kocek dalam-dalam, serta Penampung Uang/Pengepul yang mengelola aliran dana haram ini. Hingga kini, status hukum Budi Arie masih sebagai saksi, dan bandar-bandar utama yang disebut DPO (Daftar Pencarian Orang) seperti Jonathan, inisial AJ, C, dan F, masih belum tersentuh. Perputaran uang terus meningkat, dan situs-situs judi masih beroperasi, seolah tak terjamah.

Membentengi Diri, Mengobati Luka

Menghadapi gurita judi online yang semakin merajalela, pendekatan yang holistik mutlak diperlukan. Tidak cukup hanya dengan tindakan kuratif, tetapi juga harus diperkuat dengan pendekatan preventif yang membentengi masyarakat dari jerat adiksi.

Untuk membangun imunitas sosial sebagai langkah preventif, edukasi harus masif dan kontinu. Ini bukan sekadar ceramah, melainkan kampanye kreatif yang menyasar seluruh lapisan masyarakat, dari anak-anak sekolah hingga orang dewasa. Narasi yang kuat perlu dibangun tentang bagaimana judi online bukanlah jalan pintas menuju kekayaan, melainkan jalan tol menuju kemiskinan dan kehancuran. Selain itu, literasi digital yang kritis juga tak kalah penting. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk mengidentifikasi jebakan iklan judi, memahami risiko keamanan data, dan melaporkan aktivitas mencurigakan. Program-program literasi digital harus diajarkan sejak dini, menjadikan internet sebagai sarana positif, bukan lahan basah bagi kejahatan.

Sementara itu, untuk memutus mata rantai dan mengobati korban sebagai langkah kuratif, penegakan hukum yang tegas dan transparan adalah kunci. Aparat penegak hukum harus bertindak tanpa pandang bulu, mulai dari pemain hingga bandar besar, termasuk siapa pun yang terlibat di balik layar, tak terkecuali pejabat negara. Transparansi dalam proses hukum akan membangun kembali kepercayaan publik.

Perputaran uang triliunan rupiah di judi online adalah panggilan darurat. Tanpa tindakan serius yang komprehensif, jarum jam akan terus berputar, menggerus masa depan bangsa demi fatamorgana cuan yang pada akhirnya hanya menyisakan kerugian dan penyesalan. Ini bukan hanya pertarungan hukum, tapi juga pertarungan moral dan sosial untuk menyelamatkan bangsa dari jurang kehancuran. (f/dari berbagai sumber)

Share This Article
Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *