Oleh: Yusriadi
Pukul 18 lewat. Gelap mulai menyelimuti bumi Jangkang. Saya dan Suherman pamit pada Pak Lintar, Kepala Dusun Bongap. Bongap di bawah Desa Empiyang, Kecamatan Jangkang.
Malam itu kami akan melanjutkan perjalanan menuju Kolo, dusun tetangga Bongap. Kami akan mewawancarai sebuah keluarga di sana.
“Paman antar sampai simpang,” kata Pak Lintar. Dia membahasakan dirinya Paman pada saya, sejak pertemuan pertama, bulan lalu.
Sebelumnya, beliau sudah memberikan petunjuk agar kami sampai ke Kolo dengan mudah. Rumah kepala dusun dan rumah keluarga yang kami tuju.
Tetapi, setelah saya wawancara di Simpang Kolo, Pak Lintar berubah pikiran. Dia memutuskan mengantar kami ke Kolo.
“Paman ikut ke Kolo, ngantar kalian,” katanya.
“Puji tuhan,” bisik saya dalam hati.
Sesungguhnya, sejak gelap menyelimuti sudah ada bayangan mengenai kesulitan yang akan dihadapi di Kolo.
Kami datang ke sebuah kampung terpencil. Kampung yang gelap. Sebagai orang asing, bertanya nama orang. Sudah seharusnya penduduk curiga. Sudah seharusnya mereka menyelidiki kami dan hati-hati. Kalau mereka curiga atas kehadiran kami dan tidak bersedia ditanyai, itu pun wajar.
Tapi, tugas yang harus dipenuhi membuat saya kukuh. Apa pun harus dijalani. Apa pun harus dihadapi.
Pak Lintar yang baik hati mengandarai motor di depan. Kami mengikuti beliau dengan perlahan. Kadang beliau nenunggu kami.
Saya tidak lagi merasa pandai mengedarai motor di jalan tanah yang licin. Setelah pengalaman terjatuh di Balai Sepuak -Simpang 3 Trans, minggu lalu. Sebelumnya, saya merasa lihai bak Rossi.
Sekitar 4 kilometer kami sampai di Kolo. Gelap malam membuat pandangan terbatas untuk melihat rumah-rumah penduduk. Tetapi, dalam gelap, sempat terlihat beberapa rumah terbuka, beberapa warga duduk bersama.
Pak Lintar sempat mampir di sebuah rumah, di tanjakan. Rumah kepala dusun. Namun, yang dicari tidak ada. Ada warga yang memberitahu, Pak Dusun sedang pergi. Semuanya dalam bahasa setempat. Bahasa Bekidoh.
“Ada tanding volli di Empiyang,” Pak Lintar memberitahu saya.
Lalu kami memutuskan langsung ke rumah warga. Di atas bukit kecil, Pak Lintar berhenti dan menyapa seorang ibu.
“Ini, orang yang kita cari,” kata beliau.
Alhamdulillah. Semua terasa mudah. Kami mengikuti ibu itu ke rumahnya.
“Maaf, gelap. Beginilah kami…,” kata tuan rumah sambil menyorongkan lampu emergensi yang redup. Sebuah pelita juga dinyalakan.
“Tak apa, Bu,” saya menimpali.
Ya, rumah gelap, bukan salah tuan rumah. Kampung Kolo memang belum ada listrik. Soal listrik itu urusan pemerintah. Ada PLN.
Jika suatu kampung belum ada listriknya, seharusnya pemerintah yang merasa bersalah, karena hari segini belum bisa memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Pemerintah harusnya merasa berdosa karena hajat hidup masyarakat belum dapat dipenuhi. Mereka harusnya kasihan nasib anak-anak yang belajar diterangi pelita.
Demikian pula, jika suatu kampung belum ada jalan, seharusnya pemerintahlah yang turun tangan memberikan bantuan. Dengan demikian mobilitas penduduk terjadi. Lalu lintas barang menjadi mudah dan harga menjadi murah.
Tapi, apa yang seharusnya berlaku belum terwujud. Belum di Kolo, belum juga di banyak tempat di pedalaman.
Entah apa masalahnya, saya belum menggalinya. Semoga persoalan yang dihadapi madyarakat cepat teratasi.
Saya hanya berharap infrastruktur dasar yang menyangkut kebutuhan masyarakat segera ditangani.
Sanggau, 19 Mei 2017.