teraju.id, Jakarta – Citra Dyah Prastuti, seorang wartawan yang kini memimpin ruang redaksi Kantor Berita Radio (KBR) di Jakarta, mendapat penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau.
“KBR sejak berdiri dikenal dengan liputan demokrasi, toleransi dan hak asasi manusia. KBR punya program ‘Kongkow bersama Gus Dur’ dari 2005 sampai Gus Dur meninggal pada 2009. Gus Dur bicara soal toleransi lewat program tersebut. Citra Dyah Prastuti mempertahankan tradisi ini dengan segala kesulitannya,” kata Andreas Harsono dari Yayasan Pantau.
Citra Prastuti mulai karir wartawan KBR pada 2002, setahun sesudah lulus dari Universitas Indonesia. Dia meliput Aceh ketika operasi militer dilancarkan dari Jakarta pada 2003. Citra juga berangkat ke Ambon membuat liputan soal suratkabar yang ikut bikin panas suasana.
Citra terlibat liputan atau menugaskan peliputan banyak peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, dari upaya menemukan kuburan massal pembantaian 1965 sampai pembunuhan pengacara Munir Thalib, dari diskriminasi terhadap Ahmadiyah sampai penutupan gereja-gereja. Citra menyunting program Saga –sebuah program feature radio KBR yang banyak dapat penghargaan. Pada 2012, Citra bikin liputan soal anak-anak Timor Timur yang diambil oleh berbagai pihak dari Indonesia –militer, sipil, organisasi Islam maupun Kristen– dan dibawa ke Indonesia. Mereka dicabut dari masyarakat Timor Timur. Citra juga sering bikin pelatihan buat wartawan khusus liputan hak asasi manusia.
KBR adalah media radio berita yang diproduksi PT Media Lintas Inti Nusantara. Ia menyediakan berita audio sejak 1999 dan dipakai sekitar 600 radio berbagai kota di Indonesia. KBR bisa didengar lewat internet di website KBR.ID juga lewat aplikasi telepon genggam.
Pada 2006, beberapa saat sesudah berita kelaparan di Yahukimo, Papua, KBR bikin program ‘Kabar Tanah Papua’ dengan harapan bila ada jurnalisme independen, kelaparan dan kematian tersebut bisa dicegah. Filep Karma, seorang tahanan politk Papua, memuji program tersebut. Ia memberi banyak manfaat bagi suara warga Papua. Sayangnya, program in berhenti pada 2012.
Pada 2014, Citra diangkat direktur produksi PT Media Lintas Inti Nusantara merangkap pemimpin redaksi KBR. Dia mempertahankan kebijakan redaksi KBR. Pada 2016, ketika kampanye homophobia muncul di Indonesia, KBR juga terus-menerus menyiarkan pandangan yang masuk akal soal seksualitas.
Citra sendiri bergulat dengan kanker payudara ganas sejak April 2016. Dia jalani operasi pengangkatan payudara, kemoterapi dan terapi hormon. Kanker membuat Citra sering menganjurkan kenalan perempuan periksa kesehatan. Dia tetap memimpin KBR ketika mereka meliput berbagai demontrasi terhadap Gubernur Jakarta Basuki Purnama maupun pemakaian pasal penodaan agama buat kegiatan politik.
Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura) dan Andreas Harsono. Mereka menilai Citra Dyah Prastuti memiliki keberanian dalam menjaga editorial KBR.
Yayasan Pantau adalah organisasi yang bekerja di bidang riset dan pelatihan jurnalisme sejak 1999. Penghargaan Oktovianus Pogau tak diberikan uang maupun seremonial. Ia diberikan guna merangsang diskusi soal keberanian dalam jurnalisme. Yayasan Pantau ingin penghargaan ini berumur selama mungkin tanpa dibebani pendanaan.
Elisa Sekenyap, sahabat Oktovianus Pogau dari Suara Papua, mengatakan, “Citra mewakili cita-cita sahabat saya Oktovianus, yang telah pergi tapi keberanian dan keinginannya untuk menyuguhkan fakta di Papua Barat, salah satu daerah paling direndahkan di Indonesia, masih diteruskan. Ia bukan saja diteruskan di kalangan wartawan Papua namun juga produser Citra Dyah Prastuti di Jakarta.”
Background Oktovianus Pogau
Oktovianus Pogau, lahir di Sugapa, pada 5 Agustus 1992 dan meninggal di usia 23 tahun, pada 31 Januari 2016 di Jayapura.
Pada Oktober 2011, dia melaporkan pelanggaran terhadap ratusan orang Papua ketika mereka bikin Kongres Papua III di Jayapura buat Jakarta Globe. Pogau wartawan pertama yang melaporkan penembakan polisi dan militer Indonesia ketika membubarkan acara yang berlangsung damai tersebut. Tiga orang meninggal luka tembak dan lima orang Papua dipenjara dengan vonis makar.
Kegelisahan karena tak banyak media Indonesia memberitakan pelanggaran tersebut mendorong Pogau bikin Suara Papua pada 10 Desember 2011, persis pada hari hak asasi manusia internasional.
Pogau seorang penulis sekaligus aktivis yang menggunakan kata-kata untuk berdiskusi dan mengasah gagasan-gagasan politiknya. Dia bersimpati kepada Komite Nasional Papua Barat, organisasi pemuda Papua, yang menggugat pemerintahan Indonesia terhadap Papua Barat. Dia dianiaya polisi ketika meliput demonstrasi KNPB di Manokwari pada Oktober 2012. Organisasi wartawan tempatnya bernaung menolak lakukan advokasi. Alasannya, Pogau tak sedang melakukan liputan namun melakukan aktivitas politik.
Pogau juga sering menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat. Dia juga protes pembatasan pada wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata. Ia secara tak langsung membuat Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 minta birokrasi Indonesia hentikan pembatasan wartawan asingmeliput Papua Barat. Sayangnya, perintah Jokowi belum dipenuhi. (rilis yayasan pantau).
Coen Husain Pontoh, salah seorang juri Yayasan Pantau yang mengusulkan pemakaian nama Pogau, mengatakan, “Dia berasal dari etnik minoritas, yang lebih penting dia berani mempertaruhkan nyawanya untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang tidak berani dilaporkan oleh wartawan lain menyangkut kekerasan militer dan polisi di Papua serta kondisi Papua sesungguhnya.”
Keberanian dalam jurnalisme serta keberpihakan pada orang yang dilanggar hak mereka membuat Yayasan Pantau menilai Oktovianus Pogau sebagai model bagi wartawan Indonesia yang berani dalam meliput pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai aspek.
***
Siaran Pers Terkait
Penghargaan Oktovianus Pogau 2017 buat Febriana Firdaus: