in

Sebab Engkau Pasir dan Engkau Akan Kembali Menjadi Pasir

leon waltermann jerman

Oleh: Leon Waltermann*

Dia menunggu di antrean sebelah kiri. Di sebelah kanan seorang biksu tengah mengurus bagasinya, kotak-kotak kayu tua seperti dilemparkan dari masa lalu. “Mengapa seorang biksu membawa banyak barang, padahal di dunia yang singkat ini, dia tidak boleh memiliki apa pun?” batinnya dan ia menggeleng-gelengkan kepala.

Si biksu melihat ke arah dia dan pandangan mereka bertemu. Dia merasa tertangkap sedang mengamati biksu itu. Untuk membuat situasi menjadi tidak aneh, dia tersenyum dengan menurunkan kepalanya sedikit. Biksu itu tersenyum kembali dan mulai mendekati dia.

“Mengapa kamu hanya membawa begitu sedikit barang?” Tanya biksu.

Dengan berhati-hati dia menjawab karena takut salah berbicara. “Saya tidak perlu banyak barang,” ucapnya sambil tersenyum dan menurunkan kepalanya sedikit lagi.

“Sayang sekali! Tiket ini termasuk 30 kilo bagasi.” Jawabnya dengan suara ringan dan senyum tipis.

“Iya, benar.” Dia menjawab singkat semakin kikuk mengetahui biksu berbicara sesuatu yang berbeda dengan prasangkanya dan memancing penasaran. Berapa umurnya? Mau ke mana ia? Apa isi kotak-kotak itu? Pertanyaan yang banyak itu membuatnya merasa bersalah.

Antreannya pelan-pelan maju dan mereka mendekati meja check-in. Dia mengintip-intip ke arah biksu karena menyangka masih ada yang belum diucapkan oleh si biksu. Saat menghadapi petugas check-in kebetulan biksunya sedang juga mengangkat kotak-kotak ke atas conveyor. Banyak sekali kotaknya dan tampaknya juga cukup berat. “Ini tidak mungkin termasuk 30 kilo gratis!” ucapnya lagi dalam hati sembari terus mengamati.

Terganggu oleh pikirannya itu, dia lupa antrean sudah maju dan sebentar lagi gilirannya. Setelah dia mempersiapkan kata-kata untuk berbicara dengan petugas dan mengeluarkan paspor dari bagasi, biksunya tiba-tiba mendekati dia dan bertanya “Satu kotak saya yang tersisa ini tidak bisa lagi masuk ke bagasi. Kamu membawa sangat sedikit barang. Bolehkah saya titip kotak satu ini?”

Antrean sebelah kiri maju lagi dan sambil masih memegang paspornya dia bingung harus berinteraksi dengan siapa dulu. Dipandang oleh tiga orang petugas kursi sebelah kiri, petugas kursi sebelah kanan dan biksu dengan ekspresi muka yang menunggu balasan, dia menjawab “Baiklah. Tidak apa-apa.” Jawabnya untuk mengakhiri situasi. Ia mengambil kotak kayu yang tampak tua seukuran 30 cm kubik ke dekapannya sebelum kemudian menyerahkan ke petugas.

Setelah semuanya beres dia berjalan ke gate sambil menenangkan diri. Ia tidak lagi melihat si biksu karena sudah lebih dulu jalan di depan. Sambil langkah kakinya otomatis mengikuti kerumunan, ia terus membuang satu-persatu kemungkinan yang semuanya buruk yang muncul di otaknya tentang kotak itu. Penyelundupan. Obat. Teror. Revolusi. Protes. Bakar diri. Semua cerita yang pernah dibacanya di surat kabar mengikuti langkah-langkahnya. Tiba-tiba, niat baik yang ia putuskan dengan singkat dan sederhana, mengundang pikiran-pikiran mengerikan dalam waktu yang cepat pula. Niat itu menimbulkan penyesalan yang artinya itu tidak lagi baik.

Di ruang tunggu, telapak tangannya mulai basah oleh keringat dan kecemasan. Ia menelepon ayahnya yang berjarak ribuan kilometer. Tidak sempat menanyakan kabar, ayahnya bertanya kepada petugas imigrasi setempat. Pesan dari ayahnya bahwa hukum di negara asing bisa sangat merugikan, membuatnya lemas. Pada saat itu, ia tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Ia merasa bodoh dan menyesal. Didekatinya pasangan turis berkebangsaan Amerika. Diceritakan semua yang terjadi dengan runut terkait biksu dan kotak misterius yang dititipkan padanya. Pasangan itu tidak terlalu menangkap ceritanya. Namun di wajah mereka tergambar rasa kasihan. Di akhir monolog panjangnya, pasangan turis Amerika itu menyodorkan alamat email dan berkata, jika terjadi apa-apa, ia bisa menghubungi mereka. Ia mengangguk dan berterima kasih. Ia berpikir, kebaikan pun kini tidak lagi cukup untuk menolongnya.

*

Walaupun sudah penuh, boarding berjalan lancar dan dia menemukan kursinya dengan cepat. Sambil duduk di kursi, dia mengamati kesibukan di pesawat yang mulai bergetar. Tapi badannya bergetar lebih hebat. Beberapa tahun terakhir, ia mengalami serangan panik terutama jika berada di pesawat terbang. Serangan itu dipicu oleh kombinasi ruangannya yang sempit dan pandangan penumpang yang terburu-buru, juga lampu-lampu meredup dan bunyi alarm tanda-tanda. Namun yang paling menakutkan untuknya adalah jendela bulat kecil yang mengingatkannya terhadap kesempitan pesawat yang sama dengan kesempitan di dalam kapal selam. Terpenjara di udara sama saja dengan terpenjara di dasar laut. Perpaduan antara ruang sempit di tengah keluasan yang memberikan suasana kontras yang mengerikan. Ditambah lagi ingatan tentang kotak dan biksu yang terus membuntutinya. Dua-duanya membuat ia kemudian bergantung pada Lorazepam, obat anti cemas yang selain menghilangkan cemas juga menghilangkan tanda-tanda hidup lainnya, membawa peminumnya pada situasi antara yang hidup dan mimpi, yang nyata dan ilusi. Inilah saatnya. Sebutir ditelannya tanpa air.

Tanpa sadar matanya pelan-pelan mengecil seperti dihipnotis oleh gerakan orang-orang yang melewati kursinya. Sampai kemudian dia tertidur dengan sangat pulas. Mungkin bisa kita sebut itu terlalu lelap. Suara-suara di pesawat semakin menjauh dan dia memasuki kegelapan. Hening.

Ketika bangun, ia merasa tenggorokannya kering. Tidak ada ludah yang bisa ditelan. Dengan mata tertutup dia merintih. Dia terbaring. Bukan karena istirahat, tapi karena dia terlalu lemah untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Terbaring entah di mana, dia tidak tahu. Dia pun berpikir, “Begini ya rasanya mati.” Dia terbaring seperti itu dan tidak bergerak dalam beberapa waktu lamanya. Bisa satu jam, bisa juga satu hari.

Tiba-tiba angin mulai bertiup dan memenuhi mulutnya dengan pasir. Rasa pasirnya sangat pekat. Mirip dengan makanan yang gosong. Tapi justru bukan rasanya yang membuat dia terkejut, melainkan teksturnya. Sangat kental. Walaupun hampir tidak ada cairan di mulutnya, pasirnya terasa seperti bubur. Dia pun menutup mulutnya. Ketika butiran-butiran pasir mengenai gigi, bunyinya seperti papan tulis digaruk kuku. Pasir itu pun masuk ke hidungnya.

Dia mulai batuk dan muntah sampai pasir yang tertelan keluar. Baru setelah semua pasir keluar dan rasa tersedak reda, dia menyadari dia disapu badai. Ketika badai pasirnya sudah berakhir, dia mendongakkan wajah dan memandang ke sekitar. Tidak ada apa-apa selain pasir, cakrawala, dan matahari yang tersisa dalam diam. Pasir sedikit berbukit-bukit di utara, timur, selatan, dan barat. Pemandangannya sama saja. Ia melihat hanya pasir sejauh matanya memandang. Semakin haus, semakin lelah ia menyerah. Dengan pasrah ia menghadapi takdirnya. Antara sadar dan tidak, semua peristiwa di masa lalu muncul, acak, seperti slide foto dan film.

Setahun yang lalu ia berangkat ke kejauhan dengan uang yang dihadiahi ibunya. Ia ingin jadi pejalan yang pergi sejauh mungkin dari rumahnya. Menjelejahi alam yang misterius dan hal-hal yang lebih misterius dari alam. Hanya saja, ia berada antara sekelompok orang asing, yang pergi ke tanah asing, melakukan tindakan-tindakan asing, pulang menjadi orang yang lebih asing. Ketika slide masih terus berputar, sebuah tangan dari dunia lain seperti menyentuhnya.

Bangun dengan tetes keringat di seluruh badannya, dia digoyang oleh pramugarinya. “Maaf, Anda dimohon untuk bangun dan meninggalkan pesawat ini.” Katanya dengan senyum.

Mengamati lingkungannya dia menyadari semua kursi sudah kosong. Tanpa menjawab, sambil membersihkan mukanya dengan tisu dari keringat, dia bangun dari kursinya dan keluar dari pesawat.

Gang-gang di salah satu bandara transit terbesar di dunia ini cukup sepi, kecuali beberapa petugas kebersihan yang sedang mencuci lantainya. Di tengah malam, dengan kekosongan seperti itu, ia terpaku pada lantai bandara yang sangat bersih sampai berkilau-kilau. Di ruang pengambilan bagasi lantainya sama-sama bersih, tetapi selain dirinya tidak ada orang yang bisa mengagumi kebersihannya. Jikapun ada, mereka mungkin tidak peduli. Melewati conveyor satu per satu, dia menyadari tinggal satu saja yang masih berjalan.

Dengan segera dia meraih dua tas miliknya. Dengan begitu bagasinya sudah lengkap. Namun ia masih melihat pada conveyor yang berjalan pelan seperti ada yang kurang. Satu bagasi masih berkeliling di conveyor sendirian. Ia sadar itu adalah kotak kayu yang dititipkan padanya. Lalu ia pun teringat biksu. Dia angkat kotaknya dengan meregangkan ototnya. Untuk kotak dengan ukuran antara besar dan kecil, kotak itu ternyata ringan. Isinya bisa jadi apapun. Kemudian dengan hati-hati dia meletakkannya di lantai, tepat di depan kakinya. Ia pun jongkok dengan susah payah. Salah satu keahlian yang didapatkannya ketika mengembara di Asia Tenggara. Jongkok. Meskipun bingung apa yang harus dilakukan, dan di mana harus ia temukan biksu itu, ada dorongan kuat dalam dirinya untuk melihat kotak itu. Melihat isinya. Setelah mengambil nafas, dengan sabar dan tidak terburu-buru dan masih sesekali memutar kepalanya seperti mau memastikan tidak ada yang mengamati, ia pun membukanya. Kotak itu hanya dikunci oleh sebuah ganjal dari kayu juga. Ketika ganjal itu dibuka, wangi kayu tersebar, terhirup hidungnya. Lalu wangi yang lain muncul. Seperti wangi gurun. Wangi pasir. Kotak itu kosong dan gelap. Tampak lebih dalam dari yang seharusnya. Dengan ragu ia masukkan tangannya ke kotak. Jarinya menyentuh kayu yang dingin sebelum kemudian menemukan sesuatu yang lembut. Pasir. Ia menemukan pasir. Antara terkejut dan penasaran, ia menggali, jari-jarinya menyapu sudut-sudut kotak. Ketika ia beranikan mengangkatnya, ia menemukan bulir-bulir pasir di sela-sela kuku jari. Gelombang angin seperti yang ia rasakan di gurun menerpa wajahnya. Ia tidak peduli lagi dari mana angin seperti itu muncul di bandara. Rasanya tiba-tiba ia begitu dekat dengan kotak itu. Ia ingin memilikinya. Kecemasan di awal dengan segera berubah menjadi keyakinan. Ia mendekap erat kotak itu dan berdiri. Dengan dua tas di punggung ia berjalan ke pintu keluar. Ia sempat menengok untuk mencari sekali lagi biksu itu. Namun pikirannya sudah memiliki kesimpulan sendiri. Seperti takdir. Sambil berjalan, ia mulai menyusun berbagai cerita yang akan disampaikan pada ayah ibunya. Cerita yang dimulai dari kotak itu.

Ia pun menghilang di balik pintu, lantai bandara masih berkilau-kilau meski tidak ada seorang pun yang mengaguminya.

(*Penulis: Leon Woltermann- Mahasiswa Kajian Asia Tenggara di Universitas Hamburg, Jerman. Selain menekuni bahasa dan sastra Indonesia, kini tengah mempelajari budaya dan bahasa Cina dan Arab, terutama dalam hubungannya dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia.

Naskah asli pada link: https://kibul.in/cerpen/sebab-engkau-pasir-dan-engkau-akan-kembali-menjadi-pasir/?fbclid=IwAR3tGo2QLnUFqQ_Q3zcSL6vwNxV0kikPwn5l6vRCr3LAC7wRxyyFqYD6UY4

Written by teraju.id

duta-literasi

Duta Literasi; Sebuah Predikat Perlu Bukti

mahendra-petrur-sultan-hamid-II

Media Perdjoengan teraju.id Hadirkan Wawancara Khusus Mahendra Petrus dengan RRI Soal Sultan Hamid Tidak Terlibat APRA-Westerling dan Layak Diangkat sebagai Pahlawan Nasional