teraju.id, Gaza— Di tengah remang kota Gaza yang terus diselimuti gemuruh perang dan suara sirene, sebuah rumah di kawasan Tal al-Hawa hancur lebur diterpa rudal Israel. Bukan markas militer. Bukan tempat persembunyian pejuang. Itu adalah rumah seorang dokter—biasa, tenang, dan penuh cinta. Di situlah Dr. Marwan al Sultan, Direktur Rumah Sakit Indonesia di Gaza, menghembuskan napas terakhirnya bersama keluarganya, 2 Juli 2025. Ia tidak sedang memegang alat bedah. Ia tidak sedang merawat pasien. Ia hanya ingin tidur.
Serangan udara itu datang tanpa aba-aba, menghantam kamar tidur yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi seorang ayah dan keluarganya. Yang tersisa kini adalah puing-puing, debu, dan denting isak tangis warga Gaza yang kehilangan lebih dari sekadar dokter—mereka kehilangan penopang harapan hidup.
Menurut laporan Palestinian Centre for Human Rights (PCHR) dan MER-C, sekitar pukul 14:15 waktu setempat, sebuah rudal menghantam apartemen yang mereka sewa sementara setelah sebelumnya dievakuasi dari Gaza Utara. Serangan ini menewaskan sembilan orang, termasuk kerabat mereka yang juga sedang mengungsi bersama. Organisasi Healthcare Workers Watch (HWW) mencatat bahwa Dr. Marwan adalah tenaga medis ke-70 yang gugur dalam 50 hari terakhir akibat serangan terhadap rumah sakit, ambulans, dan hunian medis.
Dr. Marwan bukan nama asing di Gaza. Sebagai salah satu dari hanya dua ahli jantung tersisa di Gaza Utara, ia telah menjadi ujung tombak penanganan pasien kardiovaskular yang meningkat akibat stres, malnutrisi, dan kurangnya layanan medis. Di tengah blokade yang melumpuhkan, keterbatasan obat, dan rumah sakit yang sering kali kehilangan listrik, Dr. Marwan tetap berdiri. Ia pernah berkata dalam sebuah wawancara, “Kami bukan hanya bekerja untuk menyelamatkan nyawa, kami bekerja agar rakyat Palestina tahu mereka masih punya tempat bergantung.”
Kini, tempat bergantung itu telah runtuh. Komunitas medis di Gaza porak poranda. Ribuan pasien jantung tak lagi memiliki dokter spesialis yang memahami kasus mereka. Banyak yang menangis bukan karena kehilangan figur publik, melainkan karena kehilangan seseorang yang pernah memijat dada mereka saat serangan jantung, yang tetap menjahit luka meski peluru masih berdesing di luar.
Kementerian Kesehatan Gaza menyebut kematian Dr. Marwan sebagai “pembunuhan sistematis terhadap layanan medis”. MER-C menyebutnya “pukulan telak terhadap harapan rakyat sipil”. Dan dunia? Dunia menyaksikan, mencatat, lalu mungkin akan melupakannya seperti tragedi-tragedi sebelumnya.
Namun bagi warga Gaza, nama Dr. Marwan akan terus hidup. Ia adalah simbol dedikasi tanpa pamrih. Ia tetap tinggal ketika semua bisa memilih pergi. Ia memilih melayani ketika hidupnya dalam ancaman. Ia adalah dokter yang pernah berkata: “Saya tak bisa menyembuhkan perang, tapi saya bisa menyembuhkan dampaknya satu pasien demi satu pasien.”
Lantas quo vadis Gaza setelah kepergian Dr. Marwan? Ke mana arah mereka akan menuju? Dalam kekosongan ini, muncul kebutuhan mendesak: perlindungan tenaga medis, penguatan sistem kesehatan darurat, dan yang terpenting—gencatan senjata yang sungguh-sungguh. Tanpa itu, setiap rumah sakit di Gaza hanya akan menjadi rumah duka berikutnya.
Dr. Marwan mungkin telah tiada, tapi pertanyaan besar itu belum dijawab: Berapa banyak dokter lagi yang harus gugur agar dunia benar-benar melihat?
Catatan: Artikel ini ditulis untuk menghormati jasa Dr. Marwan al Sultan dan memperkuat seruan global agar dunia tak menutup mata atas penderitaan sipil di Palestina.