Oleh: Farninda Aditya
“Eh Sekadau, tempat kau ni, belilah”.
Begitu respon seorang pengunjung pada temannya. Ia mengambil buku karya Suherman berjudul 3 Kisah di Ujung Sekadau.
Sampul buku yang menunjukkan Suherman sedang kesusahan membawa motornya di jalan tanah merah itu, memang memberi kesan menarik. Motor hampir oleng. Ia harus mendorongnya, sebab jika berani, ia akan berkubang di tanah becek itu! Kanan, kiri kebun sawit. Tak terlihat rumah penduduk.
“Ini Sekadau mana ni?”, teman yang orang Sekadau katanya tadi, membalas respon.
“Tempatku tidak seperti ini”, lanjutnya.
Seperti yang saya ketahui dari Suherman, tulisan tersebut adalah kisah perjalananya saat melakukan kegiatan survei KB dan Kependudukan untuk BKKBN. Tidak ada sinyal. Jalan menanjak, menurun. Juga di beberapa dusun non muslim.
Berbulan Suherman di sana.
“Tempatku masih ada sinyal”, si cewek bertutur syukur.
Dilihat dari wajahnya, ia sangat senang sekali melihat judul Sekadau pada buku Suherman. Walau, ia tidak membeli buku seharga Rp40.000 itu, ia sudah menunjukkan kekaguman.
Ini baru tentang satu respon. Beberapa lainnya juga menunjukkan ekspresi yang sama saat melihat buku tersebut.
“Sekadau mana tu?” kata seorang pemuda.
Dia membaca sinopsis. Wajahnya terpana.
Buku-buku Club Menulis memang bertema lokal, tak heran buku-buku tersebut berhasil menarik pengunjung untuk memastikan, bahwa judul buku berhubungan dengan tempat tinggal mereka.
“Eh, Jawai, Jawai”, sekelompok mahasiswi berbisik-bisik, saat melihat buku Khatijah berjudul Misteri Jawai Selatan.
Begitu juga saat ada yang melihat buku Mita,dkk. berjudul Kesan Mendalam dari Hulu Pengkadan Kapuas Hulu.
Lemi, mahasiswi Untan tersebut cukup lama berhenti di Club Menulis. Ia mengaku bahwa Pengkadan adalah tempat asal Ibunya.
Merekam ekspresi ini, menunjukan bahwa Club Menulis telah berhasil menunjukkan rekamannya melalui tulisan.
Bagaimana, sudah ke Kalbar Book Fair? yuk ke stan Club Menulis.