Oleh: Masri Sareb Putra
Saya bukan jual buku. Saya jual ilmu –kata saya kepada mahasiswa di kelas saya mengajar.
Yang mencermati dengan saksama ajaran saya, dan mencatat penjelasan dari Power Point, paling mencerap 80%. Itu artinya, B+, atau A kurus nilainya. Jika mau sempurna, maka pelajari dari buku. Komplet banget. Hingga detail dan contoh-contohnya.
Begitu biasa saya menjual ilmu yang dikemas dalam sejilid buku. Buku memang mengikat ilmu pengetahuan, apa saja, yang diabadikan di dalam lembar-lembar kertas yang dijilid dengan rapi itu.
“Pak, mau dong ilmunya!” serempak mahasiswa mengacungkan jari.
“Ketua kelas. Mana ketua kelas?” tanya saya.
Sang ketua menjawab. “Saya, pak!”
“Atur, dan catat kawan-kawan yang ingin mendapat ilmu!”
Dan saya memang tidak langsung menjual ilmu, yang dikemas dalam buku, ke mahasiswa. Tidak diperkenankan oleh lembaga. Lagi pula, saya dosen yang suka ntraktir mahasiswa. Saya bilang, “Ngajar itu hobi, nulis profesi.”
Waktu ulang tahun, pernah ada 4 kelas saya ngajar, saya belikan untuk seluruh kelas roti dan minuman dari kantin. Mahasiwa kira, saya banyak duit. Padahal, gak juga!
Sampai hari ini, banyak mahasiswa saya dulu –tetap berteman dengan saya. Jika bertemu, “Pak, benar apa yang bapak katakan dulu!”
“Apa?” tanya saya, lupa.
“Cinta sementara, tapi pertemanan abadi!”
Masyaallah! Bukannya pelajaran yang diingat. Tapi guyonan, kata-kata mutiara, bumbu penyedap waktu kuliah, agar gak ngantuk.
Dan kami tertawa!
Saya haikul yakin. Mahasiswa tetap menyimpan buku-buku dosennya. Seperti saya 30 tahun lalu– menyimpan buku dosen-dosen yang harus saya beli –biar tahan gak jajan. Yang kini masih sangat sangat berguna –minimal idenya. Sebagai mahasiswa, saya bangga dosen saya menulis dan menerbitkan buku.
Buku gak ada basinya!
Dan, anehnya. Dulu, waktu di kelas, banyak yang saya belum dan tidak mengerti penjelasan dosen. Kini, setelah bekerja dan sejajar pengetahuan dan pengalaman dengan mereka –para dosen itu– saya baru mafhum.
“O, ya, ya, ya, ya…! Itu maksudnya!”
Setelah jauh, dan tak ada, kita kadang baru mengerti kata-kata sarat hikmat dan kebijaksanaan, dari seseorang. Dan sekonyong-konyong, kita merindukannya kembali. Cest la vie –itulah hidup.
Saya sering teringat dosen-dosen saya dahulu. Semakin mengagumi mereka. Dan menyesal, mengapa dulu gak mengais habis ilmu mereka? Beberapa dosen saya telah pula gak ada.
Kadang, kita merasa ada, ketika tiada. Dan sebaliknya. Namun, waktu yang iri itu terus berlari. Ia tidak bisa diputar kembali.
Carpe diem! * (Penulis adalah pegiat Literasi Dayak, menetap di Jakarta)